Otonomi, Ketimpangan, dan Elite Lokal
PENELITIAN Indef Agustus 2017 menyoroti persoalan ketimpangan yang kian buruk selama pelaksanaan otonomi daerah. Isinya, otonomi daerah justru menjadi faktor pendorong terjadinya ketimpangan.
Kebijakan otonomi daerah merupakan antitesis praktik pemusatan kekuasaan yang melahirkan sistem otoriter dan koruptif sejak Orde Baru. Sentralisme kekuasaan politik, militer, dan ekonomi dalam satu tangan yang telah berjalan selama 32 tahun telah gagal mendorong tercapainya agenda pembangunan yang adil dan merata.
Karena itu, desentralisasi diperkenalkan sebagai langkah drastis untuk mengatasi berbagai macam faktor existing seperti kondisi geografis Indonesia yang memang sangat luas, heterogenitas SARA, serta tuntutan kemerdekaan di tingkat daerah yang merasa dieksploitasi Jakarta selama berpuluh-puluh tahun. Jika dibandingkan dengan sentralisasi yang telah gagal, desentralisasi dianggap sebagai kebijakan yang lebih cocok dengan karakteristik Indonesia.
Namun, kebijakan desentralisasi yang telah berlangsung selama hampir 19 tahun, atau seiring dengan usia rezim Orde Reformasi, tidak banyak membawa kabar gembira sebagaimana gagasan awalnya. Kemiskinan tetap menjadi masalah yang serius. Pelayanan dasar masyarakat tidak secara signifikan membaik. Korupsi berkembang dan merajalela sebagaimana hasil operasi tangkap tangan (OTT) KPK. Terakhir, wali kota Tegal ditangkap KPK atas sangkaan penerimaan suap.
Masalah lain adalah birokrasi daerah yang bergerak lamban dan terkooptasi oleh kepentingan politik elite lokal. Rancangan dan alokasi anggaran pembangunan lebih banyak melayani birokrasi dan proyek pengusaha dengan pejabat lokalnya jika dibandingkan dengan program konkret untuk memperbaiki kondisi warga. Eksploitasi sumber daya alam memicu kerusakan parah lingkungan hidup. Mandulnya hukum yang berhadapan dengan modal dan berbagai sinisme lain yang terlontar membuat kebijakan desentralisasi dipandang tidak efektif. Tawanan Elite Lokal Kegagalan kebijakan desentralisasi ditentukan banyak faktor. Salah satunya politik lokal yang dibajak dan dikuasai kelompok predatorian yang membawa karakteristik dan watak warisan Orde Baru.
Pilkada langsung yang dimulai sejak 2005 tidak banyak melahirkan pemimpin yang kredibel. Merujuk pada data KPK (2016), ada 361 kepala daerah, baik gubernur, bupati, dan wali kota maupun wakilnya, yang terlibat praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Kemudian, jika merujuk pada laporan tren korupsi ICW (2016 dan 2017), keterlibatan sektor swasta dalam korupsi di daerah relatif besar, yakni 196 tersangka (2016) dan 86 tersangka (2017), dengan APBD sebagai sumber daya lokal yang paling banyak dikorupsi. Pada daerah yang kaya sumber daya alam, eksploitasi yang masif terjadi melalui channel suap dalam rangka memperoleh izin untuk mengeruk SDA daerah.
Pada konteks swasta, pelakunya bukan hanya korporasi kecil, melainkan korporasi raksasa bermodal kuat. Berkembangnya korupsi pada era desentralisasi sedikit banyak menunjukkan adanya regenerasi pelaku korupsi, meskipun KPK tiada henti menangkap, mencokok, dan memproses secara hukum pelaku kejahatan-kejahatan korupsi di daerah. Ibarat kue yang lezat, APBD di banyak daerah menjadi sasaran yang sangat empuk bagi para tikus berdasi.
Dalam konteks desentralisasi, kepala daerah merupakan pemegang kendali utama kebijakan penganggaran di daerah. Pada banyak kasus korupsi yang terungkap, berbagai macam proyek yang tertuang dalam dokumen APBD merupakan hasil pembahasan di ruang gelap kekuasaan dengan birokrasi sebagai mesin utamanya, dengan menafikan produk musyawarah pembangunan. Pemicunya, adanya kolusi antara elite lokal dan pengusaha. Masih Ada Harapan Meskipun kebijakan otonomi daerah membuka ruang besar bagi kritisisme publik, ada sisi menggem birakan dari pelaksanaan desentralisasi, khususnya pemilihan kepala daerah langsung. Lahirnya kepemimpinan lokal yang berkarakter, berwibawa, humanis, dan berorientasi pada pelaya nan rakyat merupakan pengecualian yang positif.
Sekalipun jumlahnya minoritas, terutama jika dibandingkan dengan pemimpin lokal yang terlibat korupsi, mereka adalah pemimpin sebenarnya yang diharapkan masyarakat. Munculnya bermacam inovasi pelayanan masyarakat, komitmen atas transparansi, kemauan besar untuk bertanggung jawabatasapayangmerekaputuskan, dan kegigihan dalam bekerja untuk mewujudkan masyarakat yang sejahtera merupakan ciri utama kepemimpinan lokal yang berhasil.
Mereka itu mungkin saja lahir dari partai yang berbeda-beda, meskipun secara pasti tidak dilahirkan oleh partai dalam sebuah proses internal. Para pemimpin lokal yang berhasil itu banyak yang mulai dikenal di kancah nasional. Bahkan, sebagian di antara mereka telah dikenal luas di level global yang ditunjukkan lewat berbagai penghargaan yang mereka peroleh.
Pada Pilpres 2014, masyarakat telah menentukan sendiri sejarah mereka dengan mengembangkan model regenerasi kepemimpinan nasional yang berangkat dari pemimpin lokal. Tiga sumber utama kepemimpinan nasional (presiden) yang selama ini sangat menentukan, yakni institusi militer, pengusaha kakap, dan ketua umum partai politik, tidak berdaya melawan tuntutan perubahan.
Kepada merekalah bangsa ini masih bisa berharap bahwa agenda reformasi masih mendapatkan tempat untuk dilanjutkan. (*)