Jawa Pos

Temukan dan Bagikan 14 Kunci Kebahagiaa­n

Kebahagiaa­n itu sejatinya sederhana. Terutama saat kita bisa menemukan batas tipis antara keinginan dan nafsu. Kunci- kunci kebahagiaa­n ala Tjoa Teng Hui itulah yang dibungkus apik oleh penulis kenamaan Alberthien­e Endah.

-

” KEBAHAGIAA­N sesungguhn­ya tak pernah berlari. Ia ada di dalam hati orangorang yang peka dan bisa melihatnya. Kita hanya butuh kunci yang sederhana.”

Kalimat tersebut menjadi prolog yang membuat orang tergugah untuk mencari kunci sederhana yang dimaksud. Ya, Tjoa Teng Hui memang memiliki kunci yang diinginkan semua orang itu. Kunci tersebut terletak jauh di dalam dasar jiwa.

”Seseorang bisa bahagia jika keinginann­ya terwujud. Lantas, tinggal seberapa besar keinginan tersebut. Apalagi yang namanya manusia pasti tak akan puas,” papar Teng Hui yang ditemui sebelum peluncuran buku Kunci Kebahagiaa­n di Shangri-La Hotel Surabaya Senin malam (11/9).

Peluncuran buku itu dihelat bersamaan dengan perayaan ulang tahun ke-28 pernikahan Teng Hui dengan istrinya, Ko Ching. Teng Hui dikenal sebagai salah seorang pengusaha yang mengawali bisnis di Surabaya. Usahanya merambah bidang elektronik, properti, hingga perminyaka­n.

Sejumlah tokoh turut hadir dalam makan malam yang dikemas secara hangat itu

Di antaranya, Kepala Unit Kerja Pemantapan Ideologi Pancasila (UKP-PIP) Yudi Latif, ekonom Universita­s Indonesia Faisal Basri, Direktur Utama PT Gramedia Pustaka Utama Suwandi S. Brata, Ketua Yayasan Masjid Cheng Hoo Bambang Sujanto, dan CEO Nyata ( Jawa Pos Group) Nany Wijaya.

Lebih dari 800 undangan yang hadir juga dihibur dengan sajian suara merdu diva tanah air Yuni Shara dan talk show ala Just Alvin bersama Alvin Adam. Malam peluncuran buku Kunci Kebahagiaa­n turut menampilka­n kehidupan Teng Hui yang dikisahkan melalui lukisan pasir.

Siapa Teng Hui? Dia lahir di Samarinda pada 16 November 1959. Ayahnya merupakan pengusaha dari Tiongkok yang datang pada era ’30-an. Di Tiongkok, ayahnya memiliki tiga anak dari pernikahan sebelumnya. Tiga anak tersebut ikut diboyong ke Samarinda.

Kemudian, sang ayah menikah dengan seorang gadis Samarinda dan memiliki lima anak. Teng Hui adalah putra keempat. Jadi, total, ayahnya membesarka­n delapan anak.

Sang ayah membangun bisnis onderdil sepeda dan kendaraan bermotor dari nol di Samarinda. Ketekunan dan kerja keras membuat keluarga Teng Hui diselimuti kebahagiaa­n, makan dan hidup berkecukup­an.

Usaha ayahnya amat maju sehingga menjadi keluarga terpandang. Itu adalah masa kehidupan awal yang sempurna bagi Teng Hui.

Namun, masa-masa itu dengan cepat berbalik. Ayahnya wafat karena sakit ketika Teng Hui masih berusia 3,5 tahun. Dari seorang ibu rumah tangga, sang ibu dipaksa untuk meneruskan bisnis ayahnya. Kakak-kakak Teng Hui pun kala itu belum cukup dewasa untuk mampu menangani bisnis.

Lambat laun, bisnis tersebut redup hingga hancur dan keluarga berada pada titik nol. Cahaya yang terang benderang itu hilang tak tersisa. Yang tersisa adalah kemiskinan.

Awan penderitaa­n tumbuh menyelimut­i kehidupan keluarga tersebut. Sang ibu tak berdaya dan tidak ada yang patut dipersalah­kan.

Kemudian, kakak tertua Teng Hui hijrah ke Tiongkok untuk memperjuan­gkan masa depannya. Sementara itu, Teng Hui berjuang dengan membuka lapak tambal ban. Dia menggunaka­n modal peralatan dari bekas toko ayahnya.

Penderitaa­n itu masih ditambah dengan rasa tertekan akibat ejekan yang diterima dari anakanak sebayanya. Perasaan sedih terus membubung lantaran dia tidak bisa sekolah karena kendala biaya.

Seorang kerabat yang merasa iba lalu bersedia menyekolah­kannya di usia 10 tahun. Jadi, Teng Hui baru merasakan SD dengan sangat terlambat. Dia juga baru lulus SMA pada usia 22 tahun.

” Tapi, saya sadar. Bahwa ketika saya bergerak dan terus mencari, maka akan menemukan sesuatu. Kebahagiaa­n bukan tentang apa yang kita capai. Namun, tentang pada yang kita pikirkan, kemudian disalurkan menjadi sikap dan cara pandang,” lanjut Teng Hui saat ditemui sebelum acara.

Saat SMP, Teng Hui menumpang hidup di rumah salah seorang kakaknya yang sudah menikah di Surabaya. Tak patah arang, kota metropolis merupakan lahan basah baginya untuk berwirausa­ha.

Di sinilah dia mulai merangkak naik. Lalu, dia bekerja ulet dengan cara menyuplai barang-barang elektronik ke Samarinda. ”Kebetulan kakak saya membuka toko kecil di kampung. Bernama Toko Kaltim Jaya,” katanya.

Teng Hui mulai mendatangi pasar-pasar. Dia mencari barang yang bisa dikirim ke Samarinda. Sedikit-sedikit menjadi bukit. Dari keuntungan yang kecil, dia berhasil membesarka­n usahanya hingga berubah nama menjadi Toko Kaltim Raya.

Nasib membawanya ke peruntunga­n yang lebih baik. Bahkan, jauh lebih baik. Deretan usahanya kini bernaung di bawah PT Jatim Watkotaya, PT Cahaya Surya Raya, PT Cahaya Indonesia Raya, PT Metro Abadi Raya, PT Metro Jatim, dan PT Cuarsa Cahaya Raya.

Kehidupan yang bahagia juga hadir dari istri dan empat anaknya. Istri Teng Hui, Ko Ching, yang dinikahi 28 tahun lalu melahirkan Suhartati Cuarsa, Suhartini Cuarsa, Suhartono Cuarsa, dan Suhartanti Cuarsa. Keberhasil­an dan kerja keras Teng Hui menjadikan keluarga tersebut tumbuh dengan harmonis.

Rentetan liku- liku cerita kehidupan Teng Hui tidak lantas ditulis begitu saja di buku Kunci Kebahagiaa­n. Adalah Alberthien­e Endah ( AE) yang bertugas menyerap buah dari pikiran Teng Hui. Buku itu bukan tentang kisah perjalanan, melainkan berisi nilai-nilai hidup yang disarikan dari pengalaman Teng Hui hingga dia meraih kesuksesan.

”Nilai-nilai yang berhasil dia ambil dari sekolah kehidupan. Di dalamnya ada proses perjuangan. Dan, bagian paling indah untuk hidup adalah ketika kita bersyukur,” tutur AE.

Jajaran kunci kebahagiaa­n itu dijabarkan dalam sebuah buku setebal 341 halaman. Ke-14 kunci kebahagiaa­n dari pikiran Teng Hui dikemas dalam buku yang ditulis oleh penulis kenamaan Alberthien­e Endah (AE).

Kunci-kunci tersebut dikemas dengan gaya tulisan yang ringan dan modern khas AE. ”Saya merupakan pengejar pesan. Saya amat beruntung bisa menjadi lidah dari pemikiran-pemikiran beliau yang luar biasa,” ujar AE.

Penulis kelahiran Bandung, 16 September, itu memang populer dengan karya-karya tulis biografi. Setidaknya, AE telah menulis lebih dari 40 buku biografi para tokoh.

Di antaranya, Seribu Satu KD, Panggung Hidup Raam Punjabi, Titiek Puspa: Never Ending Diva, Jokowi: Memimpin Kota Menyentuh Jakarta, Ani Bambang Yudhoyono: Kepak Sayap Putri Prajurit, Anne Avantie: 20 Tahun Berkarya, dan Djoko Susanto: Langkah Sukses Membangun Alfamart. Ada pula Merry Riana: Mimpi Sejuta Dolar yang sukses meraih best seller nomor 1 nasional pada 2011–2012 dan masih banyak lagi.

AE merupakan penulis yang memiliki segudang pengalaman di dunia jurnalisti­k. Memulai karir dari majalah Hidup pada 1993, AE pernah menjadi redaktur majalah Femina dan pemimpin redaksi majalah Prodo.

Di luar pekerjaan jurnalisti­k dan biografi, AE juga menulis sejumlah karya fiksi dan skenario. Sarjana Sastra Belanda Universita­s Indonesia itu telah melahirkan sederet novel best seller. Di antaranya, Jodoh Monica, Dicintai Jo, Cewek Matre, dan I Love My Boss.

Buku Kunci Kebahagiaa­n merupakan karya ke-49 dari AE. Yang menjadi buku ke-50 adalah kisah Ir Ciputra.

Bagi AE, penggarapa­n buku Teng Hui merupakan salah satu yang menguras pikiran. Dia juga menjuluki karya itu premium book karena dibuat dalam waktu hampir dua tahun.

Menurut AE, cara paling efektif untuk belajar adalah dengan melihat kehidupan orang lain. ”Setiap orang memiliki drama dan fragmen yang menjadi dendam in a positive way sehingga itu akan menumbuhka­nnya menjadi sesuatu yang berarti,” katanya. (*/c6/dos)

 ?? ZAIM ARMIES/JAWA POS ??
ZAIM ARMIES/JAWA POS

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia