Curhat lewat Keramik
Skrining Katarak Menikmati Pameran Spring Up
SURABAYA – Katarak berpeluang besar bisa disembuhkan. Namun, mayoritas warga enggan memeriksakan diri ke dokter. Kalau dibiarkan, katarak bisa mengakibatkan kebutaan. Dalam kondisi tersebut, lensa mata menjadi keruh sehingga semakin sedikit cahaya yang melewatinya.
Karena itu, masyarakat diharapkan lebih peduli terhadap kesehatan mata. Kemarin (12/9) ada 46 orang yang mengikuti skrining tahap awal untuk mendeteksi katarak di klinik mata Java Cataract and Refractive Center. Program tersebut merupakan kerja sama dengan Paguyuban Harapan Sentosa.
Salah seorang yang mengikuti skrining tersebut adalah Kasiati. Perempuan 68 tahun tersebut mengalami gangguan mata sejak dua tahun terakhir. Penglihatannya buram meski sudah menggunakan kacamata. ’’ Jadi nggak nyaman untuk melihat,’’ ujar perempuan asal Surabaya itu. ’’Kalau masak, ya tidak jelas,’’ tambahnya. Ketidaknyamanan tersebut memacunya untuk melakukan skrining. Hasilnya positif. Ada gangguan katarak pada mata kirinya.
Selain Kasiati, ada Martini, 62, yang mengikuti deteksi katarak. Martini merasa penglihatan dua matanya kabur sejak beberapa bulan terakhir. Meski tidak terlalu parah, kondisi itu tetap mengganggu aktivitas. Terkadang, dia harus berhenti sejenak untuk memastikan penglihatannya benar atau tidak. ’’Jadi, lebih baik ikut pemeriksaan ini saja dulu,’’ paparnya.
Sementara itu, dr Dicky Hermawan SpM menjelaskan bahwa katarak memang sering menyerang pasien lanjut usia (lansia), yakni sekitar 45 tahun ke atas. Ada banyak faktor penyebab katarak. ’’Faktor besar tetap pada usia. Tapi, ada faktor penyebab lainnya,’’ ungkapnya.
Faktor lain yang dimaksud, antara lain, intensitas mata terkena sinar matahari yang terlalu banyak, memiliki penyakit sistemik (contohnya, kencing manis), efek samping obat steroid, dan memiliki trauma. ’’Kalau katarak pada anak-anak sering disebabkan infeksi sejak dalam kandungan,’’ jelas spesialis mata RSUD dr Soetomo tersebut.
Katarak ditandai dengan gangguan penglihatan. Pandangan menjadi kabur atau tidak jelas. Tidak ada gejala lain. Pasien juga tidak merasakan sakit sama sekali. Mata pun tidak merah. ’’Jadi, banyak yang mengabaikan,’’ jelas Dicky. (bri/c15/jan) SURABAYA – Nama Spring Up diambil menjadi tema pameran keramik di Galeri Dewan Kesenian Surabaya (DKS), Balai Pemuda, kemarin (12/9). Lewat keramik, setiap seniman ingin ’’curhat’’ susah dan senang selama proses berkarya. Ada 30 keramik yang dipamerkan hingga Sabtu (16/9). Keramik-keramik itu merupakan karya 18 mahasiswa Sekolah Tinggi Kesenian Wilwatikta (STKW). Ada keramik yang diwarnai. Ada pula yang menampilkan warna asli bahannya, cokelat dari tanah liat. Keramik-keramik unik itu menjadi sajian seni yang menarik. Ada satu karya berjudul Hiber. Kata hiber dalam bahasa Sunda berarti terbang. Perajinnya, Dian Palupi Nur Umam, membuat keramik berbentuk burung. Bukan seekor burung dalam bentuk sempurna. Namun, Dian membentuk keramik burung origami. Visualisasi keramik seperti lipatan-lipatan kertas. Ada sayap yang berbentuk segi tiga di sisi kanan-kiri burung. ’’Saya suka main origami (seni melipat kertas, Red),’’ ujarnya. Burung menjadi salah satu bentuk favorit saat bermain origami. Perempuan 22 tahun tersebut memberikan sentuhan warna hijau pada karyanya. ’’Biar terlihat segar dan menarik,’’ ungkapnya. Selain Hiber, ada dua karya keramik lainnya milik Dian. Judulnya Nonggu dan Vinden. Dua karya yang memiliki karakteristik berbeda. Namun, keduanya sama- sama menyimpan cerita dari pembuatnya. Kata Nonggu merupakan plesetan dari menunggu. Dia menerjemahkannya dalam keramik berbentuk lonjong. Ada tiga tingkatan dalam deretan garis-garis vertikal.
Dia ingin bercerita bahwa setiap manusia pasti melalui proses untuk menuju impiannya. Tidak semua berjalan mulus. Ada tahap-tahap yang perlu dilalui. ’’Ada juga proses menunggu di setiap tahapan itu,’’ ungkap perempuan kelahiran Probolinggo, 25 Januari 1995, tersebut. Sementara itu, judul Vinden pada karya lainnya berarti temukan. ’’Saya pakai bahasa Belanda,’’ ungkapnya.
Judul itu diterjemahkan Dian dalam keramik berbentuk siput. Ia berwarna cokelat. Siput memiliki karakter pejalan lambat. ’’Pelan-pelan asal sampai tujuan dengan selamat,’’ kata Dian.
Kemudian, ada juga karya milik Wahid Adi yang tidak kalah menarik. Wahid mengatakan suka dengan hewan chameleon. Ia memiliki warna yang menarik. Dikenal pintar bersembunyi dari musuh. ’’Hewan favorit saya,’’ kata Adi.
Kesukaannya itu memunculkan ide dalam karya keramik. Adi membuat keramik yang bentuknya mirip chameleon. Dia menambahkan motif ukiran. Juga, ada potongan-potongan asimetris di beberapa sisi.
Semua keramik tersebut terbuat dari tanah liat. Ia melalui beberapa tahap sampai menjadi keramik. Ia akan melalui proses pembakaran selama 12 jam dalam suhu 1.000 derajat Celsius. Tahap itu, menurut Adi, paling krusial. Bentuk keramik bisa saja berubah dibandingkan konsep awal. ’’ Tapi, ini yang menjadi kejutannya saat membuat keramik,’’ tambah Adi. (bri/c15/jan)