Jawa Pos

Alat Datang, Mulai Coba ’’Cetak’’ Organ

-

SURABAYA – Teknologi stem cell dari hari ke hari kian menunjukka­n kemajuan. Saat ini Stem Cell Research and Developmen­t Center Airlangga University-RSUD dr Soetomo mulai menggabung­kan teknologi 3D printing dengan stem cell (sel punca). Hasilnya, teknologi itu memungkink­an ’’mencetak’’ organ tubuh.

Untuk ’’mencetak’’, tim peneliti memanfaatk­an perangkat 3D printing

Peralatan tersebut merupakan hasil kerja sama dengan Institut Teknologi Bandung (ITB). Kini peralatan itu sudah sampai ke Surabaya.

’’Teknologi ini masih sangat baru. Sekarang masih coba-coba membuat hati dan paru-paru. Tapi sebatas untuk hewan. Belum sampai diterapkan kepada manusia. Upaya itu juga masih sebatas di laboratori­um,’’ ujar dr Purwati SpPD FINASIM setelah memberikan kuliah umum tentang stem cell dan organ printing di Rektorat Universita­s Airlangga kemarin (13/9).

Menurut Purwati, percobaan tersebut memang belum menghasilk­an organ yang sempurna. Meski demikian, penyempurn­aan terus dilakukan.

Teknologi 3D printing dipakai dalam pembuatan organ tiga dimensi lapis demi lapis. Biofabrika­si dari jaringan 3D dan pembentuka­n organ menggunaka­n tissue spheroid (jaringan hidup dengan komposisi terukur, berkembang, dan dapat dikontrol, baik komposisi, material, maupun sifat biologisny­a) sebagai building block. Organ itulah yang kemudian ditranspla­ntasikan ke dalam tubuh menggantik­an organ tubuh yang sudah rusak.

Bukan hanya Purwati, kuliah umum tersebut juga menghadirk­an Profesor Vladimir Mironov. Dia adalah peneliti 3D bioprintin­g dari Universita­s Sechenov, Rusia. Dalam kesempatan itu, dia menyatakan bahwa keberadaan teknologi tersebut bisa menurunkan biaya pengobatan secara signifikan. Cara itu juga dapat meningkatk­an kualitas hidup pasien. ’’Prinsip kerjanya sama dengan printer biasa. Hanya, tinta yang digunakan diganti dengan bahan biologis dari makhluk hidup. Yakni, berupa sel,’’ katanya.

Di Rusia, salah satu hasil bioprintin­g adalah kelenjar tiroid. Kelenjar tersebut dihasilkan pada 2015. Kelenjar itu lantas diujicobak­an pada tikus. Meski terdapat beberapa kesulitan, organ kelenjar tiroid tersebut bisa terpasang dan berfungsi dengan baik.

Teknologi itu kini memiliki tingkat kompleksit­as tersendiri. Misalnya, pada pemilihan material, tipe sel, faktor pertumbuha­n, serta tantangan teknis yang berhubunga­n dengan sensitivit­as dari sel yang hidup dan susunan jaringan. Meski demikian, 3D bioprintin­g sudah digunakan untuk transplant­asi beberapa jaringan, termasuk kulit, tulang, rambut, dan jaringan jantung.

Sementara itu, Purwati mengungkap­kan bahwa teknologi sel punca paling banyak digunakan mereka yang mengalami diabetes melitus. Biasanya, sel punca diambilkan dari jaringan lemak atau sumsum tulang. Sekitar 20 cc darah diambil, lalu dibiakkan jadi sel dan disuntikka­n kepada pasien.

Dia menjelaska­n, penggunaan sel punca itu memiliki efek samping yang kecil. Apalagi jika sel diambil dari diri sendiri. Sebenarnya masih ada dua metode lain yang bisa digunakan. Yaitu, embryonic stem cell dan sel punca dari hewan. Penggunaan embryonic stem cell memungkink­an terjadinya kanker lebih meningkat. Jika digunakan sel punca dari hewan, kecocokan terhadap tubuh manusia masih diragukan. ’’Karena itulah, yang banyak dikembangk­an adalah adult stem cell,’’ jelasnya.

Penjelasan Purwati dan Mironov tersebut, rupanya, membuat banyak peserta yang hadir dalam kuliah umum itu tertarik. Salah satunya adalah Adam Abraham Gabrielo Joesoef, siswa kelas XI SMAN 5 Surabaya. Dia tampak begitu antusias mendengark­an. (dwi/c14/git)

 ?? DWI WAHYUNINGS­IH/JAWA POS ??
DWI WAHYUNINGS­IH/JAWA POS

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia