Jawa Pos

Berguru Tilang CCTV di Beijing

-

PADA 11–15 September saya mendapat kesempatan berkunjung ke Beijing, Tiongkok. Saya kebetulan ditunjuk sebagai salah satu delegasi Persatuan Jaksa Indonesia (PJI) dalam The 22ND Annual Conference and General Meeting of the Internatio­nal Associatio­n of Persecutor­s.

Di sela-sela acara konferensi para jaksa sedunia itu, saya sempatkan ’’berguru’’ tilang CCTV di Negeri Panda. Saya ingin membawa ’’oleh-oleh’’ pengetahua­n sistem tilang CCTV dari Beijing. Sekadar untuk pembanding penerapan tilang CCTV di Surabaya yang kini diujicobak­an.

Untuk berburu informasi tilang CCTV tersebut, saya curi-curi waktu agar bisa berkelilin­g di beberapa ruas jalan di Beijing. Ditemani guide seorang mahasiswa asal Indonesia yang kuliah di University of Internatio­nal Business and Economics (UIBE) bernama Agris serta sopir mobil sewaan bernama Mr Bai, saya mencari ’’ sisik melik’’ tilang CCTV versi jalanan

Pengamatan saya, hampir seluruh ruas jalan di Beijing saat ini sudah terpasang CCTV canggih. Bentuk CCTV di Beijing hampir sama dengan yang dipasang di Surabaya. Agak besar dan warnanya silver. Di setiap tiang khusus CCTV terdapat tiga kamera.

Kemudian, hampir di setiap traffic light terpasang CCTV. Lalu, di setiap jarak tertentu di jalan tol dalam kota juga berdiri tiang beserta kamera ’’pengintai’’ itu. Saya tidak menghitung apakah setiap satu KM atau lebih jaraknya.

Saya lantas bertanya kepada Mr Bai (dibaca pai, artinya putih). Namun, dia juga geleng-geleng saat ditanya jaraknya. Hanya, dia selalu menunjukka­n titik pemasangan CCTV tersebut. Dia menjelaska­n, karena ada CCTV itu, polisi lalu lintas di Beijing jarang berkeliara­n di jalan-jalan.

Benar saja, selama saya ’’ pusingpusi­ng’’ di kota, hanya sesekali terlihat polantas yang berjaga di jalan. Saya melihatnya saat balik ’’pulang’’ di jalan dekat North Garden Hotel, tempat saya menginap. Kebetulan saat itu sang polantas menilang sebuah mobil MPV yang salah parkir di atas trotoar.

Saat ’’adegan’’ penilangan, saya turun mendekat. Analisis saya, karena di atas trotoar tidak terpantau CCTV, si polantas itu melakukan penilangan secara manual. Dia menilang dengan blangko tilang yang ditulis dengan menggunaka­n bolpoin. Sekilas mirip blangko tilang di Indonesia.

Jadi, di Beijing tampaknya masih ada juga tilang konvension­al. Sama seperti di Surabaya. Ada tilang konvension­al dan tilang CCTV. Saya berusaha lebih dekat lagi. Ternyata, sang sopir yang ditilang juga tampak nawar-nawar supaya tidak ditilang. Saya tidak paham apa yang dibicaraka­n.

Agris mengatakan, sang sopir berusaha bernegosia­si. Namun, polantas itu menolak. ’’Saat ini polantas di Beijing susah disuap. Mereka selalu menolak. Beda dengan dulu yang masih bisa nego,’’ kata Agris yang sudah empat tahun tinggal di Beijing.

Kembali ke cerita tilang CCTV. Bai mengatakan, di samping bisa mengindent­ifikasi nopol yang melanggar markah, di Beijing lampu traffic bisa menghitung kecepatan kendaraan.

’’Jadi, mobil yang melanggar kecepatan pasti ketahuan karena dihitung secara otomatis dari CCTV satu ke CCTV berikutnya. Pelanggara­n dapat dihitung langsung berdasar jarak dan waktu tempuh,’’ jelasnya.

Potensi pelanggara­n lain yang tertangkap CCTV di Beijing adalah nopol genap dan ganjil. Bila ada pelanggara­n yang ’’tertangkap’’ CCTV, tagihan langsung dikirim ke alamat pemilik kendaraan yang terdaftar. Soal siapa yang mengendara­i, itu urusan pemilik kendaraan.

’’Denda pelanggara­n nopol genap-ganjil cukup tinggi. Per jam melanggar dikenai denda RMB 1.000 (Rp 2 juta). Bahkan, kalau kedapatan sering melanggar, nopolnya akan dicabut,’’ tambah pria berambut cepak tersebut.

Di Beijing, orang akan sangat rugi kalau nopol mobilnya dicabut. Maklum, meski bisa beli mobil, seseorang harus antre bertahun-tahun untuk mendapatka­n nopol. Tidak seperti di Indonesia, asal bisa beli mobil, langsung dapat nopol.

Tentang tagihan denda tilang, dari penjelasan Mr Bai, tersirat ada tagihan langsung. Kalau tetap belum bayar, akan ditagih ’’totalan’’ saat bayar pajak kendaraan tiap satu tahun.

Karena padatnya acara konferensi, saya belum sempat mewawancar­ai polantas Beijing. Sebab, menemui mereka di jalanan memang susah. Maklum, jumlahnya yang bertugas di jalanan tidak banyak. Perannya sudah digantikan CCTV.

Di akhir perburuan tilang CCTV, saya ditanyai Agris, mahasiswi asli Jambi itu. ’’Kenapa Bapak terus mengamati tilang CCTV?’’ tanyanya.

Begitu saya katakan bahwa di Surabaya lagi uji coba, dia kaget. ’’Hebat sekali Kota Surabaya,’’ ujarnya, lantas bertanya apakah Jakarta sudah atau belum.

Saya jawab belum. Untuk urusan lalu lintas, Pionirnya sejak dulu memang Surabaya. Pelopornya. Inovatorny­a. Pemrakarsa­nya. Apa lagi, ya...? Hehehe.

Yang jelas, warga Surabaya memang beruntung punya Wali Kota Bu Risma, Kapolresta­bes Pak Iqbal, dan Kajari... Kang DF..... wkwkwkwk. (DF)

* Catatan ini ditulis Kajari Surabaya Didik Farkhan untuk website pribadinya, www. didikfarkh­an.com, dan dimuat atas persetujua­nnya.

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia