Jawa Pos

Kisah Terbongkar setelah Salah Masuk Rumah

-

’’Saya berontak, tapi ayah memukul dan mengancam,” terangnya.

Ancaman verbal yang dilontarka­n ayahnya memang klasik. Kalau Nia tidak menurut dan memberi tahu orang lain, termasuk ibunya, dia akan dibunuh. Namun, ancaman itu sudah cukup membuat Nia keder.

Ketiadaan seorang ibu di sampingnya membuat Nia semakin terpuruk. Tak ada orang yang benar-benar bisa menjadi tempat mencurahka­n isi hati.

Saat itu ibunya, Sutinem, memang jarang di rumah. Pekerjaann­ya sebagai babysitter membuatnya hanya pulang seminggu sekali. Selebihnya, Sutinem lebih banyak menghabisk­an waktunya di rumah majikannya.

Nia juga enggan menceritak­an kebiasaan buruk ayahnya itu kepada teman-temannya. Mulutnya pun menyimpan penderitaa­n dan aib selama enam tahun. Selama itu pula, dia harus terus melayani ayahnya. Hampir setiap hari Sundoyo meminta ’’jatah’’.

Tidak hanya disuruh melayani nafsu seksual, Nia juga sering dipukuli. Apalagi jika tidak menurut. ’’Badan memar itu sudah biasa, sudah makanan sehari-hari,” urai alumnus salah satu SMP swasta di Surabaya Selatan tersebut.

Padahal, dia baru sekitar dua tahun hidup dengan Sundoyo. Sejak dilahirkan, dia hidup dengan pakdenya di daerah Lamongan. Kakaknya, Putra, dititipkan di panti asuhan sejak masih berumur 2 tahun. ’’Hanya sekali ketemu kakak. Saat masih SMP,” katanya.

Nia pun mengaku sudah nyaman hidup bersama keluargany­a di Lamongan. Dia merasa pakde, bude, dan para keponakann­ya sangat mendukung dan menyayangi­nya.

Namun, saat masih duduk di kelas V sekolah dasar, nasibnya berubah. Pabrik penggiling­an padi yang dimiliki pakdenya gulung tikar. Pakdenya dikejarkej­ar utang dan lari ke Kalimantan. ’’Ibu khawatir saya ndak sekolah. Akhirnya saya diboyong ke Surabaya,” jelasnya.

Pada suatu malam, Sundoyo menjemputn­ya. Wajah yang menjemputn­ya saat itu memang tidak asing lagi di matanya. Memang, sebelumnya Sundoyo bersama ibunya beberapa kali menjengukn­ya. Tetapi, saat itu dia belum tahu apakah Sundoyo sudah menikah dengan ibunya atau belum.

’’Dulu bilangnya hanya mau diajak main ke Surabaya, nginep beberapa hari. Tapi, sampai sekarang ya ndak dikembalik­an,” sesalnya.

Justru Nia tidak mengenal ayah kandungnya sendiri. Ibunya pun tidak pernah bercerita secara detail. Dia hanya mengenal ayah kandungnya dari cerita saudara-saudaranya. Namun, pikirannya masih belum bisa menggambar­kan secara jelas bagaimana rupa ayahnya.

’’Ibu hanya bilang bahwa ayah kandung saya orang Flores,” tutur perempuan yang mengecat rambutnya dengan warna merah itu.

Ternyata, sang ayah tiri tak sebaik yang dipikirkan­nya. Setiap hari perempuan penyuka warna hitam tersebut melihat ayahnya mabuk. Hampir setiap hari perlakuann­ya kasar. Dalam lubuk hatinya, Nia ingin berontak. Namun, tubuhnya yang kecil tidak mampu menuruti kata hatinya.

Ketika sudah mendapatka­n pekerjaan tetap sebagai sopir seorang pengacara di Surabaya pun, perilaku sang ayah tiri tidak berubah. Sejak Nia kelas XI SMA, keluargany­a pindah ke rumah pemberian majikannya. ’’Setelah pindah ke rumah milik majikan, ayah malah semakin menjadijad­i,” ujarnya.

Kado pahit didapatkan Nia beberapa hari sebelum umurnya genap 17 tahun. Dia dinyatakan hamil. Saat itu ibunya sering bertanya, kenapa kok tidak bisa menstruasi. Di sisi lain, perutnya membuncit. Ayahnya yang mendengar hal itu langsung membawanya pergi. ’’Saat itu pamit sama ibu katanya mau beli makanan,” kenang pengagum musik dangdut tersebut.

Ternyata, Nia diajak ke apotek. Dia dibelikan obat penggugur kandungan. Dia juga harus minum jamu penggugur kandungan Cap Wayang. Nia diminta meminumnya berulang-ulang sampai kandungann­ya gugur. ’’Habis minum obat dan jamu, perut saya langsung panas. Ndak enak rasanya,” tuturnya sambil memegangi perutnya yang sudah kembali normal itu.

Dalam empat hari, kandungann­ya gugur. Dia masih ingat saat itu, awal Januari 2016, adalah hari pertamanya mengikuti kegiatan kerja lapangan di salah satu dinas Pemkot Surabaya. Saat di kantor, dia merasakan sembelit. ’’Saya langsung masuk ke kamar mandi,” ujarnya. ’’ Ternyata keguguran,” imbuhnya.

Jabang bayi yang sudah tampak bentuk kepala, tangan, dan kakinya itu pun dimasukkan ke kresek hitam. Nia langsung pamit pulang untuk membuang sang jabang bayi. Ditemani sahabatnya, dia membuang mayat bayi tersebut ke Kalimas. ’’Saya takut. Takut dosa,” katanya sambil matanya nanar.

Nia kemudian melapor ke ayahnya. Namun, ayahnya cuma diam. Seperti tidak pernah ada kejadian sama sekali. Setelah keguguran, ayahnya tidak meminta jatah lagi. Namun, ternyata itu hanya tomat. Tobatkumat. Tobat hanya hitungan hari. Setelah itu, kembali kumat maksiat. Nia pun hamil lagi.

Januari lalu, dia baru mengetahui bahwa kandungann­ya sudah menginjak usia tiga bulan. Kali ini, setelah tahu hamil, Nia sangat terpukul. Bingung. Dia pun mengajak teman-teman terdekatny­a untuk menenggak miras. Maksudnya, kandungann­ya bisa kembali gugur. ’’Karena efeknya sama, perut jadi panas,” terangnya.

Karena kantong tipis, saat itu mereka membeli miras yang murah. Sekelas cukrik. ’’Anakanak ini kan juga sering disetubuhi pacarnya, kalau telat datang bulan mesti larinya ya minum-minum itu,” tuturnya.

Namun, upayanya menggugurk­an kandungann­ya gagal. Aibnya malah terbongkar setelah pulang dari pesta miras. Petaka dimulai saat dia salah masuk rumah tetangga. ’’Maunya masuk ke rumah, lah dalah kok malah masuk ke rumah tetangga,” terangnya.

Dari situ, di bawah pengaruh alkohol, dia menceritak­an kisah pilunya selama ini. Cerita itu diteruskan kepada keluargany­a. Mendengar hal itu, kakak ibunya yang paling tua berinisiat­if melaporkan kasus tersebut ke Polsek Karang Pilang.

Tahu suaminya dilaporkan polisi, ibu Nia malah tidak terima. Sebab, Sundoyo selalu menghasut bahwa yang melakukan perbuatan itu adalah pacar Nia. Ibunya bersumpah akan sangat murka kalau sampai Nia melaporkan Sundoyo ke polisi. Bahkan, ancaman ibunya itu masih tertanam di ingatannya. ’’ Gak tak anggep dadi anakku,’’ tutur Nia yang menirukan ancaman ibunya.

Namun, polisi yang sudah mendapat laporan itu langsung membekuk Sundoyo. Setelah penangkapa­n tersebut, Nia tidak diizinkan tinggal bersama ibunya. Dia diungsikan ke rumah budenya yang letaknya tak jauh dari Polsek Sawahan.

Ibunya pun semakin tak acuh. ’’ Nggak ngurus kamu. Pokoknya aku cinta mati sama suamiku. Ndak makan pun ndak masalah,” kata Nia, kembali menirukan kalimat perpisahan yang diucapkan ibunya.

Meski Sundoyo sudah ditangkap, hari-hari Nia masih terasa berat. Bahkan, dia harus mengikuti ujian nasional dengan perut membuncit. Saat itu usia kandungann­ya sudah menginjak usia lima bulan. Beruntung, dia bisa menghadapi ujian itu dengan baik.

Nia pun dinyatakan lulus. Namun, sampai sekarang dia belum bisa mengambil ijazah. ’’Masih ada tunggakan pembayaran biaya sekolah, dulu memang jarang dikasih uang untuk bayar sekolah,” jelasnya.

Nia merasa lega untuk sementara ini. Ayah tirinya sudah divonis selama 12 tahun penjara oleh hakim Pengadilan Negeri Surabaya pada Juni lalu. Dia mengaku punya cita-cita untuk hidup lebih baik. Sambil menggendon­g anaknya yang masih kemerah-merahan itu, dia mengatakan ingin hidup berdua saja. ’’Pengin segera bisa kerja, tapi juga menunggu anak besar,” tandasnya. (*/c7/dos)

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia