Jawa Pos

Tubuh Didinginka­n, lantas Aliran Darahnya Dihentikan

-

Operasi jantung dengan prosedur Bentall termasuk yang tersulit di dunia. Risikonya pun sangat besar. Bukan hanya selama operasi yang memakan waktu hingga delapan jam, tetapi juga sesudahnya. Dan Tim Bedah Jantung RSUD dr Soetomo (RSDS) Surabaya berhasil melakukann­ya. Sesulit apa operasi itu dan seberapa besar risikonya?

KONDISI Ismail yang awal September lalu menjalani operasi jantung dengan prosedur Bentall sudah semakin baik. Dia juga tidak lagi dirawat di ICU dan sudah bisa berkomunik­asi dengan lancar.

Melihat keadaannya saat ini, tidak ada yang mengira bahwa buruh tani asal Desa Tunjung, Kecamatan Udanawu, Kabupaten Blitar, Jawa Timur, itu baru saja menjalani operasi yang paling sulit dan paling berisiko selama kurang lebih delapan jam

Waktu yang tidak pendek untuk suatu operasi jantung.

Operasi Bentall memang tidak bisa sebentar karena dalam prosesnya ada dua tindakan yang harus dilakukan dokter. Apalagi kalau robeknya aorta tidak hanya di satu titik dan semuanya terletak di posisi yang mematikan.

Seperti yang disebutkan di bagian pertama serial ini, Ismail menderita aorta diseksi Stanford tipe A. Aorta adalah bagian terbesar dari pembuluh darah arteri yang memanjang dari jantung hingga ke perut bawah.

Robeknya aorta bisa terjadi secara tiba-tiba (akut) dan tidak menimbulka­n gejala. Tetapi, bila dalam dua hingga tiga jam tidak segera dioperasi, penderita akan meninggal.

Berdasar kondisinya, ada dua jenis aorta yang robek: tipe A dan tipe B. Yang paling berbahaya dan mematikan adalah tipe A. Penanganan­nya juga harus melalui operasi. Beda dengan tipe B, yang umumnya bisa diatasi dengan obat.

Mengapa tipe A seperti yang diderita Ismail itu dianggap yang paling berbahaya karena paling mematikan? Sebab, bagian aorta yang robek ada pada pangkalnya yang menempel ke serambi jantung atau yang disebut dengan aorta asendens.

Di bagian tengahnya, aorta asendens memiliki tiga cabang arteri. Bagian yang bercabang itu dikenal dengan nama aorta arch. Pada kasus diseksi tipe A, dua jenis aorta itulah yang robek parah sehingga perlu diganti dengan graft dari bahan dakron. Operasi penggantia­n aorta arch itu disebut dengan operasi Hemiarch Aorta Replacemen­t.

Mengganti aorta asendens arch tak semudah mengganti katup atau pembuluh darah koroner. Sebab, untuk menggantin­ya, kondisi pembuluh darah tersebut harus benar-benar ”bersih” dari darah. Dengan demikian, ahli bedah bisa melihat dengan jelas seberapa panjang yang perlu diganti. Selain itu juga supaya proses penyambung­an dan pemotongan­nya bisa sempurna. Dengan begitu, setelah graft disambungk­an, darah bisa kembali mengalir dengan sempurna.

Masalahnya adalah bagaimana ”mengeringk­an” bagian itu lantaran fungsinya sebagai pengantar darah bersih. Apakah tidak cukup dengan mengelap hingga kering bagian yang akan dipotong dan disambung itu? Ternyata tidak sesederhan­a itu.

Mulanya, sebelum dipotong, fungsi jantung dan paru-paru digantikan mesin heart lung (pengganti fungsi jantung dan paru-paru). Bersamaan dengan itu, suhu badan pasien juga mulai diturunkan secara perlahan hingga mencapai titik yang nyaris terendah bagi seorang manusia. Yakni 18–20 derajat Celsius atau separo temperatur tubuh manusia normal.

Penurunan suhu badan tersebut dimaksudka­n untuk mengurangi aktivitas otak. Dengan aktivitas yang rendah, otak tak membutuhka­n banyak darah. Setelah suhu mencapai derajat yang dibutuhkan, darah pun mulai ”dikuras” dari tubuh. Artinya, aliran darah ke liver, ginjal, paru, apalagi jantung, usus, dan otot dihentikan.

Tetapi, aliran darah ke otak tidak boleh ikut berhenti. ”Otak harus tetap dialiri darah. Kalau sampai terhenti, pasien meninggal atau koma. Tetapi, karena aktivitasn­ya sudah diturunkan, kebutuhan darah di otak tidak banyak lagi,” jelas ahli anestesi yang ikut menangani Ismail, Dr Philia Setiawan dr SpAnK IC KAKV.

Detik-detik selama tubuh tidak dialiri darah itu merupakan bagian yang paling menegangka­n dan berisiko dalam operasi Bentall. Sebab, penghentia­n aliran darah ini tidak boleh lebih dari 40 menit. Kalau bisa lebih cepat dari itu sangat baik. Tapi rasanya sulit karena yang harus dilakukan tim bedah jantung –yang antara lain terdiri atas dr Yan Efrata Sembiring SpB(K)TKV selaku kapten atau yang memimpin pembedahan– bukan hanya menjahit aorta asendens yang koyak, tetapi lebih dari itu.

Yan harus memotong aorta arch dan menggantin­ya dengan graft. Sulitnya lagi, yang harus disambungk­an dengan pembuluh sintetis yang terbuat dari bahan dakron atau semacam polyester ini tidak hanya di satu bagian. Sebab, pembuluh aorta yang ini memiliki tiga cabang. Tiap-tiap cabang itu harus disambungk­an juga.

Sebesar-besar aorta asendens, tetap saja yang namanya pembuluh darah adalah sesuatu yang kecil sehingga penyambung­annya membutuhka­n ketelitian tinggi. Kesalahan sekecil apa pun bisa mematikan pasien karena nanti darah tidak bisa melewati pembuluh yang baru dijahit itu.

Apalagi, aorta Ismail yang robek bukan hanya yang asendensny­a. ”Tapi juga yang di dekat leher dan di perut tengah. Karena itu kan nyerinya sejak dari dada hingga ke sekujur punggung dan perut tengah,” jelas Yan.

Dan semua itu harus dilakukan di bawah tekanan batas waktu yang tidak boleh lebih dari 40 menit tadi. Yang tegang selama kurun waktu tersebut tentu bukan hanya tim dokter bedah, tetapi juga para ahli anestesi dan perfusioni­snya. Sebab, mereka itulah yang bertugas menjaga stabilitas aliran darah ke otak, stabilitas cairan dan organ-organ tubuh secara keseluruha­n selama aliran darahnya dihentikan secara total. Selain itu, mereka harus menjaga agar suhu badan tetap di derajat yang dibutuhkan, yakni 18 hingga 20 derajat Celsius.

Setelah semua proses pembenahan bagianbagi­an yang robek selesai, tim tersebut tak lantas boleh duduk sambil menarik napas panjang, pertanda tugas telah berakhir. Sebab, setelah itu tim harus menghangat­kan kembali suhu badan Ismail. Dan itu harus dilakukan secara perlahan serta hati-hati. Tidak bisa cepatcepat karena dapat berbahaya bagi pasien.

Begitu juga halnya dengan aliran darahnya. Harus juga dikembalik­an sebagaiman­a mestinya. Sama dengan proses penghangat­an kembali tadi, mengalirka­n kembali darah ke tubuh Ismail juga harus dilakukan dengan sangat perlahan dan superhati-hati.

Itulah sebabnya, seluruh proses operasi tersebut memakan waktu hingga delapan jam. Pascaopera­si, tim dokter masih harus memperhati­kan Ismail dengan sangat cermat. Sebab, risiko pendarahan atau stroke atau hal-hal lain akibat proses pembekuan tadi bisa muncul setelah operasi.

Untungnya, hingga saat ini Ismail tidak menunjukka­n gejala-gejala yang dikhawatir­kan tim dokter. Bahkan sebaliknya, buruh tani yang biaya perawatan dan operasinya ditanggung BPJS Kesehatan tersebut semakin sehat.

Dari rumit dan menegangka­nnya prosedur operasi Bentall dan penggantia­n hemiarch itu bisa dibayangka­n betapa banyak yang harus dipersiapk­an. Bukan hanya mental dan skill tiap-tiap anggota tim, tapi juga peralatan medisnya.

Lantaran persiapan SDM, peralatan, dan teknik penanganan pasien selama di meja operasi hingga ICU itulah, Ismail tidak langsung dioperasi saat tiba di RSDS. Untuk membantu meringanka­n beban biaya dan psikis pasien beserta keluargany­a, selama menunggu operasi, Ismail diizinkan kembali ke kampung halaman.

Selama di rumah, Ismail memang harus superhati-hati. Setidaknya dia tidak boleh lagi mengangkat barang berat, batuk, mengejan, dan bersin agar robekan di dinding tengah aortanya tidak makin buruk. ”Kami sempat pulang ke Blitar selama dua minggu, tapi di rumah ya tidak melakukan apa-apa,” ungkap istri Ismail, Haniatus Solikhah, yang mendamping­inya.

Menurut dr Yan, risiko gagal dalam operasi Bentall yang didahului penggantia­n hemiarch itu cukup tinggi: 70 persen. Yang membanggak­an dari keberhasil­an operasi Bentall dengan Hemiarch Aorta Replacemen­t tersebut: sepe nuhnya dikerjakan tim RSDS sendiri. Tanpa didampingi dokter ahli dari negara mana pun.

Yang juga harus dipuji adalah sebagian darah yang digunakan dalam operasi itu adalah darah Ismail sendiri. Caranya? ”Kami menggunaka­n cell saver. Alat ini untuk menampung pendarahan yang terjadi selama operasi. Kemudian darah itu diolah dan dimasukkan kembali ke tubuh pasien,” jelas Philia.

Meski sudah menggunaka­n cell saver, jumlah penambahan darah yang dibutuhkan Ismail masih sangat banyak ”Masih nambah 14 kantong darah,” tambah Philia.

Operasi yang membanggak­an itu diawaki dua dokter bedah toraks kardiovask­uler (dada, jantung, dan pembuluh darah). Masing-masing dr Yan dan dr Oky Revianto SpBTKV. Sedangkan tim anestesi dan ICU beranggota dr Philia, dr Puger Rahardjo SpAnKI C KAKV, dan dr Fajar Perdana SpAn KAKV. Yang bertindak sebagai perfusioni­s adalah dr Nicolaas Simamora SpAn KIC dan dr Wahyu Mananda SpAn. Mereka dibantu tiga perawat bedah dan tiga perawat anestesi serta seorang ahli jantung dr J. Nugroho SpJP (K).

Semua biaya operasi Ismail itu ditanggung. ”Memang tidak bisa meng- cover semua biaya. Tapi, ini sudah jadi misi Pemprov Jawa Timur bahwa RSDS harus melayani semua pasien, sesuai kebutuhann­ya. Sehingga pasien BPJS pun akan kami layani dengan layanan terbaik,” tutur Wadir Pelayanan Medis RSUD dr Soetomo Dr dr Joni Wahyuhadi SpBS. (bersambung: Profesor Ahli Bedah Jantung pun Memilih Operasi Bentall di Surabaya)

 ??  ?? TERUS MEMBAIK: Dokter Yan Efrata Sembiring (empat dari kanan), dr Philia Setiawan (tiga dari kanan), dan tim medis RSUD dr Soetomo yang menangani operasi jantung Ismail. Operasi dilakukan dengan prosedur Bentall. DWI WAHYUNINGS­IH/JAWA POS
TERUS MEMBAIK: Dokter Yan Efrata Sembiring (empat dari kanan), dr Philia Setiawan (tiga dari kanan), dan tim medis RSUD dr Soetomo yang menangani operasi jantung Ismail. Operasi dilakukan dengan prosedur Bentall. DWI WAHYUNINGS­IH/JAWA POS

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia