Pilkada 2018 Miniatur Pilpres 2019
TAK KURANG dari 10 bulan, pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak 2018 kembali dihelat. Kali ini terdapat 171 daerah di tingkat kabupaten/kota dan provinsi yang akan menyemarakkan geliat pesta demokrasi lima tahunan tersebut. Yang menarik, 17 di antara 171 daerah yang mengikuti kontestasi elektoral berada di level provinsi.
Wajar bila kemudian pilkada 2018 disebut-sebut sebagai miniatur Pilpres 2019. Pertama, pilkada 2018 adalah parameter utama peta politik menuju Pilpres 2019. Sebab, dalam perhelatan pilkada serentak 2018, kontestasi elektoral akan terkuras sebanyak 68,3 persen dari jumlah daftar pemilih tetap. Dengan 68,3 persen lumbung suara yang akan diperebutkan itu, seluruh partai politik akan memaksimalkan mesin politik dan menggunakan strategi terbaiknya untuk memenangi pertempuran pilkada.
Kedua, dari 17 pilkada yang berada di level provinsi, tiga di antaranya terdapat provinsi babon: Jawa Barat, Jawa Timur, dan Jawa Tengah. Dalam peta kotestasi pilpres, tiga provinsi tersebut masuk kategori zona primer sebagai wilayah prioritas yang padat basis kantong suaranya. Pasalnya, jika merujuk data pemilih Pilpres 2014 yang jumlahnya 188.224.161 orang, pemilih dari 17 provinsi adalah 140.085.308 orang. Sedangkan pemilih di tiga Jawa sebanyak 91.067.296 orang atau setara dengan 48 persen dari jumlah pemilih presiden. Itu artinya, dengan memenangi perhelatan pilkada di tiga Jawa saja, kerja-kerja politik pada Pilpres 2019 dipastikan relatif lebih ringan.
Ketiga, Pilkada 2018 akan menjadi pertarungan antara poros partai pendukung Joko Widodo dan Prabowo Subianto, khususnya di tiga provinsi strategis (Jawa Barat, Jawa Timur, dan Jawa Tengah). Meskipun dua figur tersebut belum secara resmi mendeklarasikan diri untuk maju kembali di Pilpres 2019, keduanya kini memiliki tingkat elektabilitas di atas rata-rata.
Tentu, kekalahan politik pada Pilpres 2014 –khususnya di tiga Jawa– akan menjadi pelajaran tersendiri bagi masing-masing parpol dan para pendukung Jokowi dan Prabowo. Masih segar dalam ingatan kita saat Pilpres 2014, pasangan Jokowi-Jusuf Kalla unggul atas pasangan Prabowo-Hatta Rajasa di Jawa Timur dan Jawa Tengah. Sementara itu, PrabowoHatta Rajasa berhasil mengalahkan Jokowi-Jusuf Kalla di provinsi paling gemuk pemilihnya: Jawa Barat.
Di Jawa Tengah, Jokowi-JK memperoleh 66,65 persen suara, sedangkan Prabowo-Hatta 33,35 persen. Di Jawa Timur, pasangan Jokowi- JK unggul tipis dengan 53,17 persen suara, sedangkan Prabowo-Hatta memperoleh 46,83 persen. Adapun, di Jawa Barat, pasangan PrabowoHatta unggul dengan perolehan suara 59,78 persen, sedangkan Jokowi-JK 40,22 persen. Menyusun Strategi Sebagai miniatur Pilpres 2019, tentu dinamika politik menjelang pilkada serentak 2018 akan berlangsung cukup kencang. Karena itu, partaipartai harus menyusun strategi yang tepat untuk dapat memenangi pertarungan. Pertama, mengusung kader yang memiliki magnet elektoral tinggi. Kandidat dengan magnet elektoral itu akan memiliki pengaruh besar dalam hajatan demokrasi. Meskipun terlalu mengandalkan figur kurang sehat bagi pelembagaan partai. Hasil sejumlah riset menunjukkan bahwa figure ID hingga kini masih lebih dominan memengaruhi pemilih ketimbang party ID. Saking kuatnya pengaruh figure ID, sejumlah parpol berlombalomba menarik figur yang memiliki magnet elektoral untuk dicalonkan dalam pilkada meski tidak berasal dari kadernya sendiri.
Kedua, efektivitas mesin politik. Kerja mesin politik yang efektif merupakan hal kunci dalam pertarungan pilkada. Sebab, banyak figur bagus tapi karena tidak ditopang dengan kerja-kerja mesin politik yang efektif, sang kandidat terpaksa menerima hasil kekalahan. Tentu, mesin politik di sini bukan hanya partai politik. Relawan juga masuk di dalamnya.
Ketiga, membaca tren perilaku pemilih. Berdasar karakter istiknya, pemilih dikelompokkan menjadi tiga: pemilih rasional, pemilih psikologis, dan pemilih sosiologis. Pemilih rasional adalah mereka yang memilih berdasar gagasan, program, visi-misi, dan kinerja pasangan calon. Sementara itu, pemilih psikologis merupakan orang yang memilih berdasar faktor-faktor psikologis. Memilih karena faktor ganteng atau cantik dan hal-hal menarik lainnya. Adapun, pemilih sosiologis adalah mereka yang memilih berdasar faktor-faktor sosial, seperti ras, suku, dan agama.
Artinya, setiap calon memiliki dominasi basis pemilih. Baik basis pemilih rasional, pemilih psikologis, ataupun pemilih sosiologis. Membaca tren perilaku pemilih itu penting guna menyusun strategi pendekatan dan model kampanye yang tepat kepada pemilih.
Keempat, menggunakan media massa dan media sosial sebagai media kampanye. Media massa dan media sosial tentu sangat berpengaruh dalam menentukan preferensi pemilih. Pembaca media massa di luar Provinsi DKI Jakarta memang rata-rata masih di bawah 50 persen. Namun, posisi media sangat signifikan dalam mengubah persepsi publik. Ingat bahwa da lam per tarungan elektoral, orang yang berhasil menguasai opini media sudah bisa dikatakan menang satu langkah.
Sebagai race penentuan menuju tangga Pilpres 2019, kita berharap pilkada 2018 mampu memberikan pendewasaan politik yang lebih mendalam. Kita ingin ’’pilkada borongan” lima tahunan itu mampu memberikan kesejukan politik, bukan justru kegaduhan politik yang pada akhirnya menguras energi anak bangsa. (*)