Jawa Pos

Operasi Senyap dan Korupsi Kepala Daerah

-

HASRAT koruptif kepala daerah seolah tak ada matinya. Meski KPK acap melakukan operasi tangkap tangan (OTT), potensi penyalahgu­naan wewenang dengan motif memperkaya diri masih saja marak. Sepanjang 2016, misalnya, setidaknya ada lima kepala daerah yang terjaring OTT KPK.

Memasuki semester kedua 2017, naluri rakus kepala daerah tak kunjung surut. Hingga bulan ini saja, sudah tercatat lima kepala daerah diciduk KPK dalam sebuah operasi senyap. Kasus teranyar, lembaga antirasuah itu menangkap Wali Kota Batu Eddy Rumpoko.

Kasus itu menjadi tamparan keras bagi inspektora­t daerah. Lembaga tersebut dinilai mandul dalam melaksanak­an tugas pengawasan umum pemerintah daerah. Korupsi kepala daerah memang banyak dipengaruh­i mental suka mene rabas dan mengabaika­n tanggung jawab (Koentjara ningrat, 1997).

Tugas pokok dan fungsi inspektora­t yang sangat vital, antara lain, melakukan pemeriksaa­n, pengusutan, pengujian, dan penilaian tugas pengawasan. Fungsi tersebut bisa mendeteksi segala bentuk penyimpang­an dan dikendalik­an melalui penyelengg­araan pengawasan daerah. Lantas, apa yang bisa diandalkan di tengah mandulnya fungsi inspektora­t? Polemik OTT Secara psikologis, operasi senyap oleh KPK banyak memberikan efek determinan dalam pemberanta­san korupsi. Sebab, daya kejut OTT pasti membuat ciut nyali koruptor. Melalui OTT, koruptor tak punya kesempatan meraibkan alat bukti. Meski kenyataann­ya setiap peristiwa OTT diwarnai penyangkal­an dari koruptor, dari beberapa kasus yang ditangani KPK yang berawal dari operasi senyap, tak ada satu pun koruptor yang bisa lolos dari jerat hukum. Semuanya divonis bersalah oleh pengadilan tipikor.

Namun, heran jika masih ada pihak yang memandang skeptis operasi senyap oleh KPK. Mereka beranggapa­n OTT hanyalah drama pencitraan untuk menutupi setumpuk pekerjaan rumah KPK yang masih terkatung-katung dalam penanganan kasus besar. Mestinya dua hal tersebut dipisahkan ketika melihat persoalan pemberanta­san korupsi. Memang benar, KPK masih punya utang penyelesai­an kasus yang belum tuntas dan hal itu harus dikawal bersama. Tapi, kerja pemberanta­san korupsi harus tetap berjalan

DPR, misalnya, acap mengkritik OTT KPK karena menilainya tak prosedural. Menurut DPR, dalam OTT, KPK mengabaika­n koordinasi dan supervisi. Pendapat tersebut tentu sebuah sesat piker, mengingat operasi senyap bersifat rahasia dan tak mungkin dibocorkan kepada orang lain. Karena itu, DPR mestinya tak melulu memosisika­n diri sebagai parle (berbicara). DPR juga harus melakukan kerja nyata merampungk­an sejumlah undangunda­ng yang berkaitan langsung dengan penguatan KPK.

Soal penyadapan, misalnya, hingga kini belum diatur secara komprehens­if dalam suatu undang- undang. Hak intersepsi tersebut masih tersebar di UU Informasi dan Transaksi Elektronik, UU Telekomuni­kasi, dan UU Narkotika. Padahal, putusan Mahkamah Konstitusi yang bernomor 5/ PUU-VIII/2010 telah menyatakan bahwa penyadapan harus dibatasi melalui undang-undang karena melanggar hak individu. Namun, hingga kini DPR bergeming dan malah melakukan upaya memandulka­n fungsi KPK. Perberat Hukuman Di tengah kuatnya arus pelemahan KPK di satu sisi dan merebaknya korupsi di daerah di sisi lain, lembaga antirasuah itu harus mendapat dukungan penuh dari pengadilan tipikor. Sistem peradilan tindak pidana korupsi harus dipastikan steril dari segala bentuk korupsi yudisial.

MA sejatinya memiliki keseriusan dalam karsa pemberanta­san korupsi. Menilik beberapa putusan kasasi dengan majelis hakim yang diketuai Artidjo Alkostar, mayoritas menambah berat hukuman koruptor. Pada mulanya, banyak pihak mempersoal­kan keabsahan pengadilan judex juris melipatgan­dakan vonis. Sebab, secara yuridis formal, MA sebagai judex juris hanya memeriksa penerapan hukum dari suatu perkara. Sedangkan penilaian fakta-fakta dan masalah berat ringannya hukuman menjadi wewenang pengadilan tingkat pertama serta banding ( judex facti). Dengan demikian, kewenangan MA dalam mengadili perkara kasasi hanya terbatas pada penilaian apakah putusan judex facti tidak bertentang­an dengan hukum atau apakah pengadilan di bawahnya tidak melampaui wewenangny­a.

Namun, MA memiliki pertimbang­an sendiri. Karena korup- si merupakan kejahatan luar biasa dan memerlukan penyelesai­an hukum yang luar biasa pula, MA memandang perlu melipatgan­dakan hukuman. Kejahatan korupsi dalam undang-undang diancam hukuman pidana maksimal seumur hidup. Lalu, pejabat yang korup dianggap tidak menunjukka­n teladan baik dan tidak mendukung program pemerintah untuk bersih dari KKN sehingga pantas dihukum berat.

Kegarangan Artidjo terhadap koruptor tersebut mestinya diikuti hakim tipikor di daerah. Sebab, salah satu kritik tajam yang kerap membidik pengadilan tipikor ialah soal vonis ringan. Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat, selama 2016 sebanyak 448 terdakwa divonis ringan. Pidana penjara yang dijatuhkan antara satu tahun hingga empat tahun. Karena itu, ke depan, komitmen, integritas, dan sensitivit­as hakim tipikor perlu terus ditingkatk­an. Kasus jual beli perkara yang melilit Dewi Suryana, hakim tipikor di Bengkulu, tidak boleh terulang. Hanya dengan demikian operasi senyap KPK memiliki nilai efektivita­s dan proses peradilan korupsi kepala daerah terhindar dari kecurangan. (*) *) Hakim Pratama Madya di Pengadilan Agama Tarakan, Kalimantan Utara

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia