Melawan Sesat Pikir 1965
PADA Sabtu (16/9), seminar bertajuk Pengungkapan Kebenaran Sejarah 1965/1966 batal terlaksana di kantor Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta. Tekanan dari pihak kepolisian bersama massa yang meng ang gap seminar itu acara Partai Komunis Indonesia (PKI) lantas memaksa penyelenggaraan seminar diundur sampai waktu yang tidak ditentukan.
Sehari berselang, demi menunjukkan dukungan terhadap kebebasan berekspresi, kalangan seniman beserta anak-anak muda prodemokrasi berinisiatif membuat sebuah acara solidaritas bertajuk ”Asik Asik Aksi: Darurat Demokrasi” di tempat yang sama. Acara selesai sekitar pukul 21.00. Namun, pada saat bersamaan, kantor LBH Jakarta ternyata sedang dikepung massa dari berbagai sisi jalan.
Ada dua implikasi menarik yang mencuat dari sepasang peristiwa di atas. Pertama, negara dipenuhi ketakutan sehingga memilih menuruti permintaan segelintir kelompok antikomunis dibanding mengakomodasi pengungkapan fakta sejarah yang menjadi hak seluruh warga negara. Begitu banyak forum diskusi ataupun seminar yang mengangkat beragam topik bahasan sanggup berjalan lancar di LBH Jakarta sebelumnya. Tapi, ketika kisah seputar 1965 diangkat menjadi tema utama, aparat langsung sigap bergerak memblokade jalan masuk serta mengancam membubarkan kegiatan.
Kedua, ketakutan negara paling jelas terlihat dari kenyataan bahwa banyak sekali warga masyarakat yang masih terbelenggu warisan indoktrinasi Orde Baru. Selama rezim itu berkuasa, negara terus mengklaim kebenaran tunggal dalam narasi seputar tragedi 1965 seraya giat membangun momok mengerikan bernama hantu komunis. Menurut logika Orde Baru, jika negara takut menghadapi sesuatu yang berpotensi mengancam legitimasinya, segenap warga negara wajib takut pula terhadap sesuatu tersebut. Alhasil, budaya sesat berpikir pun tertanam kuat dalam benak kebanyakan orang.
Di mata individu yang kerap terjebak kesesatan berpikir, segala jenis kegiatan bertema 1965 dewasa ini pasti memuat penyebaran paham komunis secara diam-diam.
Salah satu solusi praktis guna melawan budaya sesat berpikir menyangkut 1965 adalah melalui pelaksanaan kegiatan nonton bareng. Silakan menonton kembali film propaganda sejarah versi Orde Baru yang judulnya tersebut di atas secara beramai-ramai, terutama bagi generasi milenial yang belum sempat menyaksikannya. Setelah itu silakan menonton Jagal (The Act of Killing) dan Senyap (The Look of Silence), sepasang film dokumenter dengan tawaran narasi berbeda karya Joshua Oppenheimer. Begitu pemutaran selesai, penonton dapat melanjutkan kegiatan dengan berdiskusi satu sama lain. Berusaha membandingkan mana kejadian faktual yang tertuang dalam film.
Kondisi seperti itu akan memberikan porsi pengetahuan berimbang seraya memupuk daya pikir kritis setiap penonton. Jika rutin terlaksana (bersama dengan diskusi literasi atau forum kesaksian penyintas, misalnya), niscaya kesadaran kritis demikian mampu berkembang menjadi kebiasaan kolektif yang bersifat positif.
Bila mulai terpapar serta secara perlahan membiasakan berpikir kritis, sesungguhnya masyarakat tak akan kesulitan membedakan antara seminar pengungkapan sejarah atau pertunjukan seni prodemokrasi dan pertemuan konsolidasi antek PKI. (*) *) Generasi milenial yang lahir pada 1989, penggiat film, dan pemerhati sejarah