Makna Polemik ’’Senjata Ilegal’’
PERNYATAAN Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo soal adanya upaya memasukkan 5.000 senjata (api) memang terasa seperti deja vu 1965. Semua jadi sensitif karenanya. Menko Politik Hukum dan Keamanan (Polhukam) Jenderal (pur) Wiranto mengatakan ini hanya masalah miskomunikasi. Selesai? Bisa ya, bisa tidak. Perlu ada audit pengadaan senjata agar tak jatuh ke tangan pihak yang tak berhak.
Audit senjata ini sangat penting. Sebab, selama ini Indonesia sangat bagus dalam mengendalikan senjata ( gun control). Di kawasan Asia Tenggara mungkin termasuk yang terbaik, selain Singapura dan Malaysia. Ini didukung dengan sensitivitas tinggi publik kita. Dalam beberapa kasus mengeluarkan, apalagi meletuskan senjata, di depan publik akan muncul reaksi yang sangat drastis. Biasanya berakhir dengan ’’kekalahan’’ pihak arogan bersenjata itu secara opini.
Dari pernyataan Wiranto, pengadaan senjata 500 (bukan 5.000) pucuk digunakan untuk latihan siswa intelijen. Dia juga menyebut pengadaan senjata itu legal dan sudah mengikuti aturan yang berlaku. Namun, tentunya ini perlu diklarifikasi adalah betulkah ada kebutuhan senjata sebanyak itu. Mekanisme klarifikasi ini bisa dilakukan secara tertutup di DPR atau cara lain yang tak mengganggu sifat dasar kerja intelijen yang rahasia. Jangan sampai keber- adaan senjata yang tak sesuai dengan kebutuhan menimbulkan kerawanan. Terlebih, tahun politik 2019 kian dekat. Ada kekhawatiran bila nanti terjadi penyalahgunaan senjata akan mem pe nga ruh i stabilitas nasional.
Sudah banyak contoh bahwa lembaga intelijen bisa menjadi alat rezim. Sistem totaliter zaman Orde Baru juga banyak disebut memanfaatkan (menyalahgunakan) intelijen untuk keperluan di luar keamanan negara. Sesuai namanya, Badan Intelijen Negara (BIN), yang dilayani semestinya hajat negara, bukan hasrat kekuasaan. Meski kita mafhum, proses pengisian jabatan pimpinan intelijen terkait dengan bagi-bagi kekuasaan di awal rezim sekarang.
Polemik ini tak boleh berlalu tanpa kegamblangan. Siapa tahu ’’senjata ilegal” yang dimaksud panglima TNI berbeda dengan yang dijelaskan pemerintah. Bila ini terjadi tentunya akan membuat publik bertanya-tanya ada apa dengan pemerintah dan TNI. (*)