Doktor dan Doktor Kehormatan
BELUM lama ini ada pengumuman lowongan CPNS. Salah satu syarat untuk bisa mengikuti ujian adalah berijazah S-1, yang program studinya terakreditasi minimal B. Bila ternyata tanggal keluarnya ijazah tidak berada di antara lima tahun usia akreditasi prodi yang dikeluarkan Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BAN-PT), pelamar dinyatakan tidak memenuhi persyaratan administrasi. Tidak akan diundang untuk proses ujian tahap berikutnya. Dari titik ini, terlihat betapa rumitnya untuk menjadi sarjana yang ijazahnya diakui negara. Doktor Kehormatan Hampir bersamaan waktunya, ter-publish rektor salah satu PTN di Jakarta dipecat karena terlalu cepat meluluskan ratusan doktor. Mereka ditengarai lulus dengan cara bimsalabim. Berkaitan dengan gelar doktor belum lama ini, Menpora Imam Nahrawi dianugerahi gelar doktor kehormatan atau honoris causa (HC) oleh UIN Sunan Ampel Surabaya pada 14 September 2017. Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar juga resmi menyandang gelar doktor HC dari Unair Surabaya (3/10).
Pemberian gelar doktor kehormatan dalam waktu yang hampir bersamaan di kampus negeri di Jatim tak pelak menimbulkan kesan betapa mudahnya gelar doktor kehormatan didapatkan. Salah satu persyaratan mendapatkan gelar doktor HC adalah seseorang telah dianggap berjasa dan atau berkarya luar biasa bagi ilmu pengetahuan dan umat manusia. Lebih lengkapnya, terpapar dalam pasal 3 Peraturan Mendikbud Nomor 21 Tahun 2013 tentang Pemberian Gelar Doktor Kehormatan Doktor Kuliahan Saya adalah pengajar bergelar doktor. Gelar doktor yang melekat pada nama saya itu tidak istimewa. Sebab, hal itu merupakan tuntutan undang-undang. Pengajar di strata pascasarjana harus bergelar doktor, sedangkan yang mengajar strata sarjana minimal harus bergelar magister. Seorang dosen yang mengambil studi doktoral itu menempuh jalan yang berliku. Bagi seorang pengajar, berani mengambil keputusan untuk studi S-3 itu berkonsekuensi dengan berkurangnya penghasilan. Sebab, studi S-3 secara otomatis dibebaskan dari kewajiban mengajar dan kegiatan tridarma lainnya. Dengan demikian, tunjangan sertifikasi dosen (walaupun kecil, tapi sangat berarti) dihentikan.
Untuk meraih gelar doktor, sese- orang melewati berbagai tahapan. Kuliah dan harus lulus ujian setiap mata kuliah dengan tugas yang tidak sedikit yang membutuhkan waktu dua hingga tiga semester. Menyusun proposal dan diuji, menyusun hasil penelitian dan diuji, menyusun kelayakan disertasi dan diuji, ujian tertutup dan ujian terbuka sebagai puncak ujian seorang calon doktor.
Setiap tahap memerlukan energi pikiran dan biaya yang bila diukur dari penghasilan seorang pengajar cukup besar dan banyak. Hal itu semua membutuhkan pengertian dari istri atau suami dan anakanak untuk menggunakan dana rumah tangga demi membiayai kuliah S-3. Belum bila tidak lulus. Harus mengulang saja, ada biaya lagi tentunya. Keribetan lain yang menyedot energi, waktu, tenaga, dan pikiran pastilah dirasakan saat berkonsultasi dengan promotor/ kopromotor, harus memperbaiki draf disertasi, dan memadukan keinginan promotor serta kopromotornya.
Waktu tempuh untuk menjadi doktor pun bervariasi, tiga sampai lima tahun. Bahkan, ada yang lebih. Tidak jarang ada juga peserta program doktor yang harus pindah perguruan tinggi lain karena habis waktu. Tentu saja itu membutuhkan biaya yang sangat besar. Betapa susahnya seseorang untuk mendapatkan gelar doktor secara prosedural.
Di sisi yang lain, seorang pejabat negara, penguasa, ataupun pengusaha begitu mudahnya mendapatkan gelar doktor kehormatan. Gelar doktor menjadi terasa ”murah” bila dibandingkan dengan susah payahnya seorang pengajar yang berstudi untuk mendapatkan gelar doktor agar memenuhi syarat akademis sebagai pengajar.
Dalam UU Pemilu, tidak ada satu ayat pun yang mensyaratkan seorang presiden bergelar sarjana, cukup berijazah SMA. Demikian pula halnya di UU tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD. Untuk menjadi anggota DPR, DPD, atau DPRD, syarat ijazahnya cukup SMA. Bila kemudian banyak politikus mendapatkan gelar doktor itu untuk apa? Bila niatnya menjadi politikus, gelar doktor itu bukan syarat mutlak. Syarat mutlak politikus adalah jam terbang berpolitik, bukan jam terbang belajar di bangku sekolah.
Lagi pula, menjadi anggota DPR, DPD, atau DPRD tidak dihitung berdasar ijazah yang digunakan. Ijazah SMA dan ijazah doktor tidak membedakan ruang gaji. Lain halnya di dunia akademis, ijazah doktor secara administrasi memenuhi syarat untuk mengajar pascasarjana. Selisih gaji pun tidak seberapa antara yang bergelar doktor dan magister.
Karena itu, memberikan gelar doktor kehormatan kepada para politikus, pengusaha, atau penguasa sesungguhnya tidak ada manfaatnya. Karena itu, walau secara yuridis berhak memberikan gelar doktor, perguruan tinggi harus sangat selektif dalam memberikan gelar doktor kehormatan. Agar tidak terjadi degradasi gelar doktor, yang seolah bisa didapat hanya karena telah menjadi menteri atau pengusaha. (*) *) Dosen hukum tata negara Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Malang (UMM)