Biennale Jatim 2017 Mengungkap Fakta dalam World is a Hoax
SURABAYA – Leburnya batas antara informasi fiksi dan nyata menjadi tajuk utama Biennale Jawa Timur 2017. Pameran seni rupa dua tahun sekali yang diadakan sejak 2005 itu menjadi ajang unjuk gigi para seniman Jawa Timur (Jatim).
Memasuki pergelaran ketujuh, 27 seniman menampilkan karyanya yang bertema World is
a Hoax. Biennale Jawa Timur 2017 diadakan pada 9–22 Oktober 2017 di Galeri Prabangkara, Taman Budaya Jawa Timur. Pengunjung akan diajak memutari sketsel demi sketsel yang mengulas berbagai hal tentang hoax.
’’ Hoax adalah kata yang bermakna miring, negatif, dan bisa menimbulkan situasi chaos. Dalam media sosial, tercipta berbagai tipu daya yang membuat informasi bisa berkeliaran bebas tanpa dasar, arah, dan logika,’’ ujar Asy Syams, salah seorang kurator, pada malam pembukaan Senin (9/10).
’’ Ibaratnya, dunia ini panggung sandiwara. Pikiran kita dikontrol informasi. Nggak usah jauh-jauh ngomongin soal hoax di medsos. Bahkan, omongan di keluarga kita ternyata hoax. Tapi, selama ini kita nggak tahu karena telanjur menganggap itu benar,’’ lanjutnya.
Ucapan Asy Syams tertuang dalam karya yang diusung Waft-Lab. Karya Superstition
Superstar milik Waft-Lab berhasil membuat pengunjung terperangah ketika melangkahkan kaki ke dalam sketselnya. Peta Indonesia disandingkan dengan berbagai ungkapan konyol yang sering didengar masyarakat Indonesia dan diberi benang-benang merah untuk menghubungkan suatu wilayah dengan ungkapan tersebut.
Di hadapan sketsel, sebuah meja panjang dihias berbagai ornamen hoax yang sering disebut dalam keluarga, tapi kelogisannya masih dipertanyakan. Misalnya, potongan rambut dalam stoples untuk menemani ungkapan bahwa anak gadis yang nggak dapat menyapu rumah dengan bersih udah dipastikan mendapat jodoh berewokan.
Selain itu, pengunjung bakal dikejutkan dengan
kemunculan lelaki misterius bermasker hitam yang ditutup belasan gambar mata merah. Gerakannya yang lincah dan aktif berkeliling venue ditemani pengeras suara untuk mengumumkan sayembara Pemilihan Wakil Tani. Sayembara tersebut dituangkan Indra P. ’’Impoe’’, seniman muda yang baru aja lulus dari Universitas Surabaya pada 2015. Dalam karya berjudul Evolusi Tani Sayembara
9 Wali Tani itu, dia menghadirkan sembilan tantangan yang harus dipecahkan pengunjung. Sebut aja makan tanah dua sendok atau mencukur habis rambut, alis, dan kumis. Siapa pun yang berhasil akan mendapatkan sertifikat sebagai wali tani dan fotonya dipajang di wajah 9 Wali. Karyanya merujuk pada Revolusi Tani pada 1970 yang hingga kini membuat para petani bergantung dengan bantuan pemerintah. ’’Karya-karya seperti inilah yang menjadi keistimewaan tersendiri bagi Biennale 2017. Tidak ada batasan dalam berkarya sehingga lebih banyak seni rupa kontemporer. Artinya, karya-karya di sini bisa jadi alat baca bagi masyarakat untuk lebih memahami seni, mengapresiasi, dan introspeksi,’’ jelas Asy Syams.
’’Acara ini juga jadi ajang yang diharapkan bisa membuat seniman lebih dikenal masyarakat sehingga bisa mendatangkan income bagi mereka. Lebih keren lagi kalau Biennale bisa jadi pintu masuk bagi para seniman yang berusia kurang dari 35 tahun ke residensi atau pameran lain,’’ lanjutnya.
Harapan itu diamini Saifullah Yusuf atau Gus Ipul, wakil gubernur Jawa Timur, yang malam itu membuka Biennale Jatim 2017. ’’Saya berharap Biennale bisa membuat masyarakat menemukan inspirasi, dan mengapresiasi para seniman,’’ tuturnya. (raf/c14/rat)