Membangun Jatim dengan Sukuk Inovatif
SELEPAS mengikuti Workshop on Islamic Finance 2017 di Bodrum, Turki, 23–24 September lalu, saya tercerahkan dengan berbagai perspektif baru. Workshop yang dihelat oleh Bank Sentral Turki (Turkiye Chumhuriyet Merkez Bankasi) itu mengangkat tema inovasi, regulasi, risiko, dan efisiensi dalam perbankan syariah ( Islamic banking). Bagi saya, tema itu terasa sebagai sebuah pengakuan bahwa permasalahan ekonomi keuangan syariah di muka bumi ini bersifat universal.
Memang dimaklumi kepesatan laju perkembangan ekonomi keuangan syariah di berbagai negara tentu berbeda. Arab Saudi masih memimpin dalam penguasaan aset keuangan syariah, disusul oleh Malaysia, Uni Emirat Arab (UEA), Kuwait, Qatar, Turki, Indonesia, Bahrain, dan Pakistan. Kemajuan ekonomi keuangan syariah di Inggris dan beberapa negara di Eropa juga mencatat perkembangan signifikan.
Inovasi menjadi faktor krusial untuk mendongkrak laju pertumbuhan ekonomi keuangan syariah. Selain teknologi di bidang jasa keuangan ( fintech) yang potensinya sangat besar, inovasi dalam produk dan instrumen keuangan syariah juga menyisakan banyak tempat untuk dimanfaatkan.
Salah satu produk yang paling sering dikaitkan dengan inovasi keuangan syariah adalah obligasi syariah (sukuk). Inovasi dalam memoles sukuk diakui menjadi faktor pendorong gencarnya penerbitan sukuk.
Diversifikasi dalam sukuk terus berkembang, termasuk adanya struktur baru yang dinilai menguntungkan bagi investor dan penerbit. Dengan kata lain, inovasi sukuk telah semakin menjawab kebutuhan pasar ( market driven) dan mengakomodasi kebutuhan pembiayaan yang spesifik, termasuk penggunaan lebih dari satu akad.
Dari sisi pengaturan, implementasi Basel III telah mendorong munculnya sukuk yang memenuhi aspek-aspek penyesuaian standar permodalan. Darren Stubing dalam Global Financial Magazine (2015) mengungkap fakta bahwa perbankan syariah di UEA, Saudi, Turki, dan Malaysia telah menerbitkan sukuk-sukuk inovatif. Abu Dhabi Islamic Bank adalah yang pertama merilis jenis sukuk tersebut pada akhir 2012. Langkah merilis sukuk inovatif tersebut diikuti Malaysia, Saudi, Inggris, Hongkong, Indonesia, dan Pakistan.
Inovasi dalam sukuk umumnya menyangkut pada akad-akad yang digunakan, aset yang menjadi underlying, kemudahan menjual kembali kepada penerbit ( redemption), hingga karakter khusus yang disematkan pada sukuk, seperti sukuk yang ’’ramah’’ lingkungan ( green sukuk). Istilah sukuk inovatif memang belum lazim dibanding istilah hybrid sukuk yang sering kita dengar. Mengutip Rifki Ismal, pejabat di Departemen Ekonomi dan Keuangan Syariah, Bank Indonesia, hybrid adalah suatu perpaduan beberapa akad di dalam suatu struktur sukuk, misalnya perpaduan akad sale and lease back, musyarakah dan ijarah, serta perpaduan akad lainnya.
Saya menyebut sukuk inovatif lebih sebagai harapan terhadap berkembangnya sukuk yang semakin menarik bagi investor. Secara khusus saya berharap Jawa Timur (Jatim) dapat menjadi pionir terbitnya sukuk-sukuk yang inovatif.
Jatim sebagai provinsi yang memiliki ribuan pesantren menyimpan potensi besar. Selain itu, banyaknya tokoh agama, ulama, dan pemikir ekonomi Islam ( Islamic scholar) serta penggiat ekonomi keuangan syariah diharapkan mampu menelurkan pemikiran kreatif untuk memperkaya khazanah instrumen keuangan syariah yang dapat mengakselerasi pembangunan ekonomi daerah.
Rerata aset perbankan syariah terhadap total industri perbankan Jatim dalam empat tahun terakhir masih di kisaran 5 persen, namun ekonomi keuangan syariah tidak hanya diperankan oleh perbankan syariah, tapi juga institusi dan pelaku keuangan syariah lainnya. Aktivitas ekonomi yang diperankan pesantren dan komunitasnya melalui baitul maal wat tamwil (BMT), koperasi pondok pesantren (kopontren), LKMS, dan institusi keuangan syariah lainnya. Belum lagi besarnya potensi dana umat dan simpanan uang di bank.
Jatim di bawah kepemimpinan Soekarwo telah melakukan banyak langkah inovatif dalam pembiayaan proyek pembangunan. Kerja sama pemerintah dengan swasta atau yang beken dengan istilah public private partnership (PPP) pada proyek SPAM Umbulan merupakan salah satu contoh keberhasilan inovasi pembiayaan.
Sementara itu, pengembangan skema pembiayaan pembangunan melalui penerbitan obligasi daerah memerlukan rintisan panjang dan butuh kesiapan khusus. Terlebih lagi menerbitkan sukuk daerah yang inovatif. Inovasi dalam keuangan syariah boleh jadi lebih lambat dibandingkan dengan industri keuangan konvensional. Seberapa besar ukuran industri keuangan syariah, faktor budaya dan konservatisme agama bisa ditilik lebih lanjut sebagai faktor yang me- mengaruhi hal ini.
Obligasi memang tidak bisa ’’head-to-head’’ dilawankan dengan sukuk karena sukuk memiliki karakter, operasi, dan model yang berbeda. Meski demikian, indikator umum surat berharga tetap berlaku, seperti ada tidaknya kepastian return, ada collateral atau tidak, jaminan dari third party guarantee, jenis proyek yang dibiayai, serta profil risiko yang juga berlaku untuk sukuk sebagaimana obligasi.
Sukuk pemda di Jatim cukup potensial karena: (i) underlying proyek dan aset pemda cukup banyak, (ii) sukuk masih diyakini sebagai instrumen investasi yang prospektif ( return tinggi dan likuid), serta (iii) investor daerah yang banyak. Meski demikian, mewujudkan lahirnya instrumen sukuk daerah yang inovatif di Jatim tentu butuh kajian mendalam, kerja keras, dan kerja sama berbagai pihak serta dukungan regulasi.
Indonesia Shari’a Economic Festival (ISEF) keempat di Surabaya pada 7–11 November 2017 dan mengangkat tema Fostering Inclusive Economic Growth and Improving Resiliency Through Closer Collaboration and Coordination diharapkan menjadi ajang untuk memperkuat kerja sama dan kolaborasi berbagai pihak sebagai landasan pengembangan ekonomi keuangan syariah nasional. (*)