Masih Perlu Dewan Pengupahan
MEKANISME penentuan upah minimun kabupaten/kota (UMK) 2018 memiliki dua kiblat. Kalangan pekerja menginginkan survei kebutuhan hidup layak (KHL) sebagai dasar. Sementara itu, pengusaha lebih cenderung mengikuti Peraturan Pemerintah (PP) No 78 Tahun 2015.
Zulfikar Ardiwardana, dosen Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Gresik (UMG), menyatakan bahwa perbedaan pendapat merupakan hal yang wajar. Pekerja dan pengusaha sama-sama memiliki dasar yang kuat.
Versi pekerja, misalnya. Menurut Zulfikar, KHL mewakili kebutuhan para buruh. Setiap daerah mempunyai hasil survei yang berbeda. ”Kebutuhan hidup di sini (Gresik, Red) dan Papua pasti beda,” ujarnya.
Mekanisme tersebut berbeda dengan PP No 78 Tahun 2015. Yang dihitung hanya inflasi dan produk domestik bruto (PDB). Aturan itu terkesan mengesampingkan peran dewan pengupahan. ”Padahal, itu (dewan pengupahan, Red) punya peran sangat vital,” jelasnya.
Alumnus Fakultas Hukum Universitas Airlangga (Unair) Surabaya tersebut menyatakan, tiga elemen harus duduk bersama. Yakni, pengusaha, pekerja, dan pemerintah. Dengan demikian, penentuan besaran kenaikan upah bisa dibahas melalui mekanisme yang tepat. ”Pengusaha dan pekerja sebagai pihak yang paling berkepentingan. Pemerintah berperan menjembatani melalui regulasi,” tuturnya.
Ketua Program Studi Hukum UMG Dodi Jaya Wardana menjelaskan, penggunaan PP No 78 Tahun 2015 sejatinya sudah tepat. Hanya, ada beberapa hal yang perlu dikaji ulang. Salah satunya, keterlibatan dewan pengupahan.
Menurut dia, dewan pengupahan bisa jadi jalan tengah. Setiap pihak bisa memberikan argumen yang berbeda. Yang jelas, hasil kesepakatan harus dihormati dan bersifat mutlak. ’’Pengusaha dan pekerja harus menerima hasil keputusan dewan pengupahan,” ungkapnya. ( adi/c20/dio)