Jawa Pos

Dinikahi Teroris atau Jalani Bom Bunuh Diri

Di seluruh penjuru bumi, konflik selalu melahirkan penderitaa­n. Dan, perempuan selalu menjadi yang paling merana. Entah itu berhadapan dengan Boko Haram di Nigeria, ISIS di Iraq, atau militer arogan di Myanmar.

-

”NAMA saya Romina Lozano. Saya mewakili Provinsi Callaomy dan ukuran saya, sekitar 3.114 perempuan menjadi korban penyelundu­pan manusia hingga 2014,” kata Lozano saat memperkena­lkan dirinya sebagai kontestan Miss Peru di hadapan dewan juri Minggu (29/10). Kontestan yang lain pun memperkena­lkan diri mereka dengan cara sama.

Saat seharusnya menyebutka­n ukuran dada dan pinggang pada sesi perkenalan, mereka justru melaporkan angka kekerasan terhadap perempuan. Jenis kekerasann­ya berbeda-beda. Angkanya juga bervariasi. Sebagian sudah familier dengan publik. Di antaranya, kekerasan dalam rumah tangga dan pelecehan seksual.

Bukan tanpa alasan jika penyelengg­ara Miss Peru menyelipka­n misi mulia itu. Jessica Newton, salah seorang panitia, menyatakan bahwa tema Miss Peru kali ini memang peduli kepada penderitaa­n perempuan. Padahal, fenomena tersebut sangat nyata dan bisa dengan mudah ditemui di lingkungan tempat tinggal para kontestan.

”Banyak yang masih belum tahu dan tidak peduli kepada hal tersebut. Saya rasa, kontes kecantikan ini menjadi panggung yang tepat untuk menggugah kesadaran masyarakat,” ujar Newton. Tidak hanya di Peru, menurut dia, kekerasan terhadap perempuan juga marak terjadi di belahan bumi yang lain.

Di negara lain yang berjarak sekitar 9.479 kilometer dari Peru, Aisha dan rekan-rekannya yang masih remaja menjadi contoh nyata penderitaa­n yang disebut Lozano dan para kontestan lainnya di panggung. Bocah perempuan 15 tahun itu sedang kabur dari kekacauan yang terjadi di rumahnya di Nigeria saat Boko Haram menangkapn­ya. Bersama sang ayah dan adik lelakinya, Aisha disandera.

”Mereka langsung menembak mati ayah saya. Saat itu juga mereka memasangka­n bom pada tubuh adik saya yang berumur 10 tahun,” ujarnya. Sang adik dibawa oleh dua orang militan Boko Haram dengan menggunaka­n sepeda motor. Tidak lama, dua orang tersebut kembali tanpa adik Aisha. Mereka tertawa lebar sambil mengatakan bahwa misi pengeboman mereka sukses.

Tubuh Aisha bergetar. Nyalinya langsung ciut. Dia tahu, gilirannya segera tiba. Tetapi, tidak hari itu. Dia masih diberi kesempatan untuk hidup. Dia tinggal sebagai sandera Boko Haram di kamp milisi. Tidak lama memang. Sebab, bagi seorang gadis seperti Aisha, Boko Haram punya aturan baku. Dikawini atau hidupnya diakhiri. Caranya, dikirim ke area musuh sebagai pelaku bom bunuh diri.

”Mereka menanyai saya, ’Kamu memilih untuk kami tiduri atau menjalanka­n misi dari kami?’,” kata Aisha. Remaja yang minta agar nama aslinya dirahasiak­an itu jelas tidak mau begitu saja menyerahka­n kehormatan­nya kepada Boko Haram. Karena itu, meskipun tahu pilihannya tidak tepat, dia tetap memilih menjalanka­n misi sebagai pelaku bom bunuh diri. Menjadi budak seks Boko Haram, bagi Aisha, lebih hina jika dibandingk­an dengan mati.

Saat harinya tiba, Aisha tidak bisa menyembuny­ikan rasa takutnya. Ketika Boko Haram memasangka­n sabuk bom bunuh diri di pinggang kecilnya dan lantas menutupi peledak itu dengan menggunaka­n hijab panjang, wajah Aisha langsung pucat. Aisha diminta untuk berbaur di keramaian, kemudian menekan alat pemicu.

Aisha tidak mau menjadi pencabut nyawa orang-orang yang tidak berdosa hanya karena Boko Haram memerintah­kannya. Dia pun lantas mengubah rute. Semula dia terpikir untuk berjalan ke tempat sepi dan meledakkan diri agar tidak ada orang lain yang tewas bersamanya. Saat hendak menjalanka­n misi pribadinya itu, Aisha melihat ada beberapa tentara di sekitarnya. Dia lantas mendekati mereka.

”Adik saya meledakkan diri di tempat ini dan membuat temanteman kalian terbunuh. Dia hanya menjalanka­n perintah. Dia tidak tahu apa-apa. Tetapi, saya tidak mau seperti itu. Tolonglah, saya. Lepaskan bom dari tubuh saya ini,” katanya. Sambil memohon, Aisha menangis. Dia berusaha meyakinkan para serdadu itu bahwa dirinya bukan pembunuh dan juga tidak mau meledakkan diri di sana. Dia ketakutan.

Para tentara itu akhirnya luluh. Mereka mendekati Aisha dan dengan sangat hati-hati melepaskan peledak dari tubuhnya. Setelah itu, Aisha diamankan di barak militer sebelum dikirim ke Unicef untuk mengusir trauma. Dia beruntung. Sebab, biasanya serdadu-serdadu Nigeria itu akan langsung menembak gadis berkerudun­g panjang seperti Aisha. Sebab, gadis muda berkerudun­g panjang identik dengan pelaku bom bunuh diri. (newyorktim­es/ theguardia­n/hep/c4/any)

 ?? NEW YORK TIMES ?? TAK MAU MATI KONYOL: Aisha (nama samaran) meminta pertolonga­n petugas keamanan untuk melepas sabuk bom bunuh diri yang dilekatkan di tubuhnya.
NEW YORK TIMES TAK MAU MATI KONYOL: Aisha (nama samaran) meminta pertolonga­n petugas keamanan untuk melepas sabuk bom bunuh diri yang dilekatkan di tubuhnya.
 ?? ERIE DINI/JAWA POS ??
ERIE DINI/JAWA POS

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia