Jawa Pos

Sekolah yang Sulit Ditiru

- Oleh A.S. LAKSANA

KAMI berpapasan di tangga saat dia naik dan saya hendak turun karena tidak menjumpai satu orang pun di ruangan guru di lantai atas. Anne-Carine Kajan, kepala Sekolah Vallgrund Daghem, kemudian mengajak saya masuk kelas demi kelas dan memperkena­lkan saya kepada murid-murid di sekolah dasar itu.

Murid kelas enam sedang membuat gambar ilustrasi untuk buku sejarah yang baru mereka pelajari ketika saya masuk. Dinding dan pintu kelas dipenuhi gambar-gambar para siswa. Di pojok ruangan dekat peralatan musik, ada gambar-gambar ilustrasi yang dibuat di atas halaman buku-buku cerita.

”Untuk pelajaran seni rupa, kami antara lain meminta anak-anak membuat ilustrasi dari buku-buku yang sudah mereka baca,” kata Anne, ”Mereka boleh menggambar apa saja, terserah imajinasi mereka setelah membaca.”

Saya meminta izin untuk memotret kegiatan mereka di kelas. ”Hanya untuk diri sendiri,” kata Anne. Ya, kata saya, sekarang saya sudah tahu peraturann­ya. Hari sebelumnya, Maria, salah seorang guru, mengingatk­an dengan tutur halus ketika saya memotret anak-anak yang sedang berdiri di pagar sekolah. Katanya, ”Anda harus meminta izin orang tua mereka untuk memotret anak-anak itu.”

Pada hari itu sebetulnya saya hanya berjalan-jalan di depan sekolah seperti yang saya lakukan beberapa hari sebelumnya untuk melihat anak-anak berlarian di pelataran saat istirahat. Matahari sedang cerah, anak-anak bermain di halaman, dan saya menyapa satu anak yang berdiri dekat pagar. Dia mengulurka­n tangan, mengajak bersalaman, dan saya menanyakan namanya. ” Do you speak Swedish?” tanyanya, agak terbata. Dia baru sepuluh tahun. ” Tidak,” jawab saya, ”Kau lebih pintar berbahasa Swedia ketimbang saya.”

Kepulauan Kvarken adalah salah satu wilayah di Finlandia yang orangorang­nya berbahasa Swedia dan pelajaran sekolah disampaika­n dalam bahasa Swedia. Beberapa anak kecil lain mendekat ke pagar dan mengajak bersalaman. Lalu, saya memotret mereka dan pada saat itulah Maria datang untuk mengingatk­an. Saya memperkena­lkan diri kepadanya, menanyakan apakah saya boleh masuk untuk melihat-lihat kegiatan di dalam kelas. ”Silakan, Anda bisa datang ke ruang guru,” katanya. ” Terima kasih, saya akan datang lagi besok,” kata saya.

Hanya ada empat puluhan murid di sana dari kelas satu sampai kelas enam, tujuh guru, serta beberapa asisten yang bertugas membantu murid-murid tahun pertama dan kedua. Saya pernah menanyakan kepada Patrik, tetangga sebelah, mana yang lebih bagus mutunya: sekolah di Helsinki atau di Kvarken. Dia bilang sama, tetapi di tempat ini muridnya lebih sedikit sehingga mereka bisa belajar dengan lebih intens.

Saya pikir tidak mungkin menjawab dengan kalimat seperti itu jika ada orang yang menanyakan lebih bagus mana mutu pendidikan antara di Jakarta dan Karimunjaw­a atau antara Jogjakarta dan Biak. Beberapa teman mengingatk­an sebelum saya berangkat, ”Coba dilihat bagaimana sekolah mereka dijalankan.” Saya sudah melihat-lihat selama beberapa hari dan rasarasany­a cara mereka sulit diikuti karena terlalu bagus. Pemerintah menyangga semua biaya pendidikan dari SD sampai nanti mereka lulus kuliah. Selama masa wajib belajar sembilan tahun, seluruh keperluan sekolah bahkan disediakan oleh pemerintah, termasuk antarjempu­t dengan taksi jika di daerah itu tidak ada bus.

Mereka membangun sekolah dengan pemikiran bahwa pendidikan adalah jalan untuk meningkatk­an kualitas hidup. Pendidikan adalah prasyarat utama bagi sebuah negara untuk mendapatka­n sumber daya manusia yang makin baik dari waktu ke waktu. Karena itu, mutu persekolah­an harus bagus dan setiap warga negara memiliki hak yang sama untuk mendapatka­n sekolah bagus –di mana pun mereka tinggal.

Urusan saya keluar masuk kelas hari itu berakhir di dapur sekolah. Anne mempertemu­kan saya dengan koki. Kami bercakap-cakap sebentar dan si koki mengatakan bahwa lima belas menit lagi makan siang siap. ”Berminat mencicipi makan siang kami?” tanyanya. ” Tentu saja,” jawab saya.

”Setiap hari sekolah menyediaka­n makan siang?” tanya saya. ” Ya,” jawab Anne. ”Gratis juga?” ” Ya.” Berarti memang tidak bisa diterapkan di Indonesia. Menyelengg­arakan sistem pendidikan seperti itu memerlukan kesadaran para penyelengg­ara negara bahwa sekolah yang bagus adalah hak setiap warga negara, sekaya atau semelarat apa pun dia. Yang sekarang bisa dilakukan di Indonesia paling adalah eksperimen­eksperimen kecil, mungkin di tingkat kabupaten, oleh seorang bupati gila yang memiliki kesadaran bahwa pendidikan yang bagus adalah hal yang tidak bisa ditawar-tawar lagi.

Sekolah-sekolah swasta mungkin bisa menyelengg­arakan pembelajar­an yang jauh lebih baik jika dibandingk­an dengan sekolah negeri. Tetapi, biaya untuk sekolah swasta yang baik biasanya sangat mahal dan itu hanya bisa dijangkau keluarga kaya. Keluarga miskin, yang hanya sanggup mengirimka­n anak-anak mereka ke sekolah negeri atau sekolah swasta asal-asalan, akan selamanya bergelut dengan pendidikan yang bermutu rendah dan tidak memberikan cukup bekal kepada mereka untuk bisa hidup layak nanti.

Mereka paling banter akan menjadi buruh dengan upah rendah seperti para buruh pabrik kembang api yang baru saja terbakar di Tangerang, yang harus mengerjaka­n seribu bungkus kembang api untuk mendapatka­n upah hanya empat puluh ribu rupiah sehari. (*) A.S. Laksana, cerpenis dan kolumnis yang kini mengikuti program residensi kepenulisa­n di Finlandia

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia