Panggung Lain Butet
Di atas panggung seni peran, Butet Kartaredjasa bersama dunia main-main dan guyon adalah hal tak terpisahkan. Main-main dan guyon Butet tak bermula dari proses asal-asalan. Selalu terukur dan serius tanpa kehilangan kelakar. Demikian halnya saat ia berada
SEJAK 2015, diam-diam, Butet sudah asyik dengan aktivitas meng olah keramik dan mengulik teknik warna di atasnya. Setiap berada pada masa jeda produksi teater dan syuting di Jakarta, ia rutin beraktivitas di sebuah pabrik keramik di kawasan Karawaci, Banten. Di sana, Butet kembali aktif melukis dan menemukan keasyikannya saat berjumpa dengan media baru bersama dunia lamanya.
Desain, gambar, dan lukisan sama sekali bukan ranah baru bagi Butet. Sebelum tekun dengan seni peran, Butet adalah penulis sekaligus pembuat sketsa dan vinyet yang muncul di berbagai media massa. Keterampilan di arena dua dimensi itu ia dapat sejak menjadi siswa di Sekolah Menengah Seni Rupa (SMSR) Jogjakarta, lalu berlanjut saat menjadi mahasiswa di Fakultas Seni Rupa Institut Seni Indonesia (ISI) Jogjakarta.
Di Karawaci, Butet menghadapi keramik yang begitu dekat dengan dunia tiga dimensi. Godaan melesapkan diri untuk main-main pada bentuk yang bervolume ia akui ada. Namun, seperti di atas panggung seni pertunjukan, main-main Butet tidak pernah asal main. Ia memilih untuk pelan-pelan mengenali keramik tanpa kehilangan nyali untuk bereksperimen.
Mencoba tinta keramik yang masuk dalam kategori food grade, menggunakan malam batik, hingga merespons retakan keramik akibat pembakaran menjadi bagian penting dari proses kreatif Butet kali ini. Ada banyak kejutan pada proses itu dan improvisasi menjadi cara meresponsnya. Ia menyebut respons atas kejutan-kejutan dalam proses itu mirip dengan mati lampu saat sebuah adegan berlangsung di atas panggung teater.
Hingga kini sudah lahir 150 karya dengan berbagai bentuk yang ia ciptakan. Sekitar 120 karya di antaranya akan dipamerkan di Galeri Nasional Jakarta akhir tahun ini. Tidak semuanya berupa lukisan di atas keramik. Ada yang begitu terang menunjukkan main-main pada bentuk tiga dimensi, mozaik, dan instalasi ketimbang lukisan di atas keramik semata.
Banyak keramik dengan lukisan Butet yang disajikan dengan memadukan unsur lain seperti daun pintu, pelat besi, hingga kayu. Secara teknis, unsur di luar keramik itu muncul sebagai penyangga dan bidang untuk menempel kepingan-kepingan keramik. Namun, unsur-unsur tersebut kemudian diolah menjadi bagian dari karya itu sendiri hingga tak sekadar hadir sebagai konstruksi.
Nyali Butet untuk bereksperimen di panggung barunya itu disertai dengan kenekatan berbiaya tinggi. Setidaknya itu tampak dari serial 17 babi yang di antaranya menggunakan emas cair berkadar 12 karat. Emas cair itu ditorehkan Butet pada ujung kaki dan tubuh babi keramik sebelum masuk tungku panggang selama 24 jam agar benar-benar meresap.
Pada serial yang sama, main-main Butet tampak begitu terang. Ada babi berbulu zebra, babi kuning berlogo beringin, babi loreng, babi cokelat, dan babi-babi lainnya. Wujud babi pada serial ini muncul setelah Butet mendapati cetakannya ada di pabrik tempat ia mengolah keramik. Konon, wujud babi pada serial tersebut serupa dengan patung babi di masa Majapahit.
Selain babi, ada pula serial Gus Dur berisi 15 lukisan keramik yang sekilas tampak hanya sebagai alih media dari kanvas ke keramik. Serial ini terinspirasi dari lukisan Gus Dur karya Sigit Santoso. Di tangan Butet, lukisan tersebut diperlakukan layaknya naskah dalam teater yang dihadapi dengan kerja-kerja alih wahana. Objek Gus Dur dari lukisan Sigit Santoso tidak banyak berubah, namun muncul sebagai bentuk baru tanpa kehilangan yang asli.
Dua serial tersebut hanyalah bagian kecil dari karya Butet yang berangkat dari aneka tema. Ada yang sangat personal, religius, atau sekadar berisi sentilan kata-kata. Keragaman tema pada karya-karya ini mirip dengan situasi
gara-gara dalam pertunjukan wayang yang memungkinkan apa saja dan siapa saja masuk di dalamnya. Lukisan-lukisan keramik Butet tampak tidak diniatkan untuk benar-benar masuk dalam ranah seni keramik yang punya konvensinya sendiri. Tentu sulit menyandingkan karya keramik Butet dengan ciptaan F. Widayanto, Liem Keng Sien, Geoffrey Tjakra, atau keramikus-keramikus serius lainnya. Namun, lukisan keramik karya Butet tak terjebak dalam ranah kriya yang berhenti pada kerajinan walau wujudnya ornamental. Karya-karya Butet menunjukkan usaha untuk tak masuk ke dalam dua ranah tersebut. Ia muncul dengan menunjukkan spontanitas dan sebentuk nyali melakukan eksplorasi tanpa pretensi di sela kelakar.
Lukisan keramik boleh jadi adalah panggung lain bagi Butet. Namun, tampak jelas sebenarnya Butet tidak sedang melakukan perubahan ide kesenian yang rawan membuatnya tertelungkup di panggung itu. Seperti pada panggung-panggung seni perannya selama ini, panggung seni rupa Butet kali ini menunjukkan konsistensi pilihan jalan kreativitasnya sejak mula: main-main dan guyon.
Selain panggung lain yang menunjukkan konsistensi di jalan guyon dan main-main, proses kreatif Butet kali ini dapat pula dibaca sebagai siasat sebelum senja. Tekun dengan lukisan adalah pilihan masuk akal bila kelak tubuh tak lagi sanggup hadir dalam kerjakerja di atas panggung pertunjukan. Pada masa itu, sesepuh apa pun, semoga mainmain dan guyon masih ada padanya. (*) Hendromasto Prasetyo, pengamat seni-budaya. Tinggal di Jakarta