Cerita Bares sang Ahli Gambar
Otobiografi ini sengaja dibuat Sudjojono guna menangkis dan menebas kabar burung dan cerita bohong mengenai ucapan, pikiran, dan tindakannya pada waktu lalu.
GAJAH mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan belang, Sindudarsono Sudjojono mati meninggalkan ratusan lukisan dan sebuah otobiografi.
Seperti gading gajah Sumatera, lukisan-lukisan pendiri Persatuan Ahli-Ahli Gambar Indonesia itu adalah objek-objek artistik langka bernilai ekonomi tinggi. Sekaligus menjadi buruan pembutuh dan penjaja karya seni rupa Indonesia dari dalam dan luar negeri.
Kita ingat, pada 6 April 2014, lukisannya berjudul Pasukan Kita yang Dipimpin Pangeran Diponegoro (1979) terjual dengan harga 58.4 juta dolar Hongkong (sekitar Rp 101 miliar) di Balai Lelang Sotheby’s, Hongkong. Harga itu rekor tertinggi untuk penjualan lukisan modern di kawasan Asia Tenggara.
Celakanya, itu justru kian memicu perburuan gelap, bahkan pemalsuan liar, karya seni lukis Sudjojono di tanah air. Sehingga meninggalkan belang hitam tebal dalam khazanah seni lukis Indonesia modern dan historiografi seni rupa Indonesia mutakhir.
Tetapi, berbeda dengan belang sejarah itu, otobiografi ini merupakan pedang intelektual Sudjojono. Sengaja dia buat guna menangkis dan menebas kabar burung dan cerita bohong mengenai ucapan, pikiran, dan tindakannya pada waktu lalu.
Terutama perihal ikatan politiknya dengan Partai Komunis Indonesia (hlm. 98–117) dan hubungan asmaranya dengan Rose Sumabrata (hlm. 118–128) yang kontroversial pada 1950-an.
Cinta Sudjojono kepada Rose adalah sejenis cinta terlarang, khususnya di mata elite PKI. Sebab, keduanya saat itu sudah beristri dan bersuami dengan sejumlah anak.
Sudjojono beristri Sasmiati (kelak menjadi Mia Bustam) dan memiliki delapan anak. Sedangkan Rose bersuami Sumabrata dan mempunyai tiga anak.
Terapi, biarpun salah di mata orang lain, cinta sang ahli gambar kepada penyanyi seriosa itu begitu dahsyat. Tak tertahankan, lagi tak tergantikan.
Apalagi, cinta itu tidak bertepuk sebelah tangan. Konsekuensinya, Sudjojono harus menceraikan Sasmiati dan PKI. Begitu juga, Rose mesti bercerai dengan Sumabrata.
Setelah itu, kata Sudjojono, ’’dengan tenang kami nikah secara Kristen” (hlm. 125). Sudjojono dan Rose menikah di Jakarta, 14 Juli 1959. Sejak saat itu Rose yang beroleh-ganti nama Pandawangi dari Sudjojono menjadi belahan jiwa penuh-seluruh Sudjojono hingga sang maestro berkalang tanah di Jakarta pada 25 Maret 1986.
Selain soal-soal pribadi dan politik, Sudjojono bercerita tentang proses kreatif sejumlah lukisannya. Juga pergulatan eksistensialnya sebagai guru sekolah rakyat dan seniman yang progresif-revolusioner.
Ada yang menyedihkan, ada yang menggembirakan, ada yang memalukan, ada yang membanggakan dalam cerita itu. Namun demikian, kata Sudjojono, ’’saya berusaha berbuat sewajar dan sebares (sejujur) mungkin.’’ (hlm. 7)
Karena itu, saya pun harus jujur mengatakan bahwa upaya Redaksi (Alexandra Pandanwangi S., Candra Gautama, Germania Menangdjuang, Sunarsih La Rangka, dan Wicky S.) patut diacungi jempol. Menyunting otobiografi ini dari naskah ketikan 49 halaman penuh coretan menjadi buku yang enak dibaca dan perlu dikoleksi, serta menambahkan 12 tulisan lepas Sudjojono dan sejumlah foto pameran, patung, relief, keramik, dan sketsa lukisan Pertempuran antara Sultan Agung dan JP Coen karya sang maestro.
Sayangnya, Redaksi justru membuat otobiografi ini sedikit retak dengan keteledoran mencantumkan data yang keliru terkait sejumlah reproduksi lukisan Sudjojono.
Yaitu, ’’Ibuku’’, Pastel on Paper, 1935 (hlm. 9. Seharusnya: cat minyak di kanvas), ’’Sayang Aku Bukan Anjing”, Oil on Canvas, 1940 (hlm. 78. Seharusnya: 1944), ’’Pengungsi’’, Oil on Canvas, 1947 (hlm. 95. Seharusnya: 1957), ’’Kita Merdeka Sekarang’’, Oil on Canvas, 1976 (hlm. 163: Seharusnya: Untitled). Begitu pula halnya dengan lukisan Affandi, ’’Dia Datang, Menunggu, dan Pergi’’, Oil on Canvas, 1947 (hlm. 162: Seharusnya: 1944).
Apa yang saya sebut seharusnya itu berdasar rujukan perbandingan dari buku Seabad S. Sudjojono (2013), Affandi: Volume II (2007), Indonesian Odyssey (2008), dan archive.ivaaonline.org/artworks/detail/5975.
Selain itu, ada baiknya kita membaca buku Nashar, Nashar oleh Nashar (2002) dan Mia Bustam, Sudjojono dan Aku (2013), sebagai perspektif bandingan atas kebaresan Sudjojono. Itu agar pembaca terhindar dari pemutlakan sejarah sosok berstatus-kultus seperti sang maestro Sudjojono. (*)