Jawa Pos

Bila Mak Comblang Berkata

-

SASTRO sukaan mendatangi acara pemakaman ketimbang mantenan.

’’Kenapa? Karena kematian cuma sekali? Pernikahan bisa berkali- kali? Emang kamu mau nikah lagi sama siapa habis menikahi diriku? Kamu bakalan poligami?” kekasihnya Jendrowati bertanduk.

Sastro buru-buru menyergah, ’’Bukan. Bukan begitu.” Ia menahan tangan Jendro yang memukul-mukul pundaknya.

’’Begini lho, Jendro, Kekasihku, keluarga yang meninggal lebih butuh teman. Keluarga mempelai sudah riang gembira walau misalnya kita tidak datang. Yang hadir sudah seabrek. Ada musiknya segala...”

Jendro yang sangat menyenangi pesta nikah masih bersungut-sungut. ’’Bukannya aku cuma suka rebutan karangan bunga yang dilempar pengantin. Aku juga mau ke layatan. Tapi aku tidak tega melihat orang menangis,” ujar Jendro lirih.

Akhirnya musyarawah mufakat tercapai. Mereka berdua selalu datang pada hajatan nikah sekaligus penguburan, pembakaran dan lain-lain upacara berkabung. Susi, mak comblang mereka asal Sragen, biasanya turut serta.

Kok di pesawat kali ini Jendro banyak merengut padahal akan menghadiri kremasi ayah sahabat Sastro? Gegara bayi di sebelahnya terus-terusan menangis. Apa pun obrolan Sastro jadi keliru semua bagi Jendro. Sastro bicara ABCD sampai Z pun tetap sampah. ’’Aku paham kenapa bayi itu

kejer nangis terus,” bisik Jendro. ’’Ya,... sana kamu kasih tahu ibunya.”

’’ Ogah!” ketus Jendro makin bersungut-sungut. Gegaranya, tadi pramugari yang berusaha melobi si bayi agar stop menangis didamprat oleh ibunya. Pramugari itu menyodorka­n meme politisi Tanah Air yang terbaring di rumah sakit dengan alat bantu pernapasan. Eh, si bayi terpingkal-pingkal cuma sebentar, habis itu malah makin menangis. ’’Anak saya orangnya pilih-pilih meme. Saya ibunya, lebih tahu dari kamu!” si ibu judes ke pramugari.

Pramugari lain datang tergopoh-gopoh. Ia coba melipurlip­ur bayi itu dengan mainan gantungan kunci miniatur ge- dung KPK. Si bayi malah tambah kuat menangisny­a, pakai nendang-nendang. Waduh!

’’Anda kira KPK adalah Koentji? Bayi saya lebih tahu tentang Koentji di negeri ini!!!” lagi-lagi si ibu meradang.

Bisik Jendro dengan marah ke Sastro, ’’Sebenarnya kuncinya satu. Bayi itu mau sendawa. Mau cegukan. Namanya bayi habis minum susu kan harus diberdirik­an. Di dekap di dada. Hadaphadap­an ibunya. Punggung dan tengkuknya dipuk-puk...”

Usai acara kremasi lama sekali Sastro tak nongol. Jendro sudah curhat ke mak comblang mereka tentang Sastro yang menghilang. Ditenggela­mkan oleh Bu Susi menteri kelautan impossible, sebab Sastro bukan lelaki jahanam pencuri ikan.

Di suatu resto ikan laut Jendro melihat tokoh kekagumann­ya, Dahlan Iskan. Ia ingin bertanya padanya kalau-kalau tahu di mana pacarnya kini. Tapi rupanya sang tokoh masih belum bisa berpikir. Ia masih terbengong­bengong karena pas akan membayar makanan, kasir bilang sudah ada yang membayari.

’’Laki-laki separo baya, Pak. Ku- mis dan alisnya dari api. Cuma terus pergi. Ajudannya menolak menyebut identitas...,’’ jelas kasir. ’’Pas saya desak, bilang: Beliau Gundala Cucu Petir.’’

Hah? Jangan-jangan dia Sastro yang sedang menyamar. Kepada Susi bukan menteri kelautan, tapi Susi mak comblang, Jendro manyun. Bapernya, ’’Kurang apa aku, Sus? Aku calon ideal ibu rumah tangga. Aku jauh punya pengetahua­n tentang bayi ketimbang emak-emak nyebahi di pesawat itu.”

Susi menteri kelauuu... eh, Susi mak comblang dehem-dehem. ’’Setuju, tapi menurut Sastro kamu orangnya nggak sabaran. Menurutnya lebih indah perempuan nggak punya pengetahua­n tentang bayi, daripada nggak punya kesabaran.” (*)

 ??  ??
 ??  ??

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia