Pernah Bekerja Menyortir Surat untuk Cukupi Kebutuhan Hidup
Otobiografi Arifin M. Siregar bertutur tentang perjuangannya dari bawah hingga menduduki berbagai jabatan penting di dalam dan luar negeri. Kwik Kian Gie mengenalnya sebagai sosok yang tangguh. Peluncuran Otobiografi Arifin M. Siregar Sekaligus Ajang Reun
KABAR itu sudah didengar Rachmat Saleh sejak lama. Ada anak muda Indonesia cerdas yang berkiprah di Washington, Amerika Serikat.
Ketika itu Rachmat masih menjabat gubernur Bank Indonesia (BI) di periode pertama (1973– 1978). ”Pertemuan pertama dengan Pak Arifin itu saat dia pe- ngantin baru. Saya diajak makan di rumahnya,” beber dia.
Kelak anak muda cerdas tersebut akhirnya menduduki berbagai jabatan yang sama dengan yang pernah diduduki Rachmat: gubernur BI. Selain itu, pria kelahiran 11 Februari 1934 tersebut pernah menjadi menteri perdagangan periode 1988–1993.
Jabatan-jabatan penting di tanah air itu termasuk yang termaktub dalam otobiografi Arifin bertajuk
Diluncurkan di Jakarta kemarin, buku tersebut secara umum menceritakan kilas balik perjuangan Arifin muda dari kampungnya di Medan hingga bisa berkarir di PBB. Sebelum kemudian kembali ke tanah air untuk membenahi perekonomian dalam negeri.
Peluncuran buku yang dilakukan di Gedung The Energy, SCBD Jakarta, itu juga menjadi ajang reuni Arifin dengan para kolega dari kalangan ekonom dan pengusaha. Ada B.J. Habibie, Emil Salim, Kwik Kian Gie, Arifin Panigoro, Aburizal Bakrie, Sri Mulyani, dan banyak pengusaha lainnya. Di mata Kwik Kian Gie, Arifin adalah sosok tangguh. Kwik mengenang, suami Hadiati dan ayah tiga anak itu sempat bekerja di kantor pos untuk mencukupi kebutuhan hidup saat berkuliah di Belanda.
”Dia menyortir surat, saya kuli kapal. Setiap sore kami bertemu dengan teman yang cerdas dalam bidang ekonomi. Kami belajar,” tutur Kwik.
Setelah menjadi gubernur BI 1983 hingga 1988, Arifin menjabat menteri perdagangan periode 1988–1993. Sebelum berkarir di dalam negeri, pria kelahiran Medan itu tercatat pernah menjadi ekonom Departemen Asia di IMF (Dana Moneter Internasional).
Dalam buku yang ditulisnya tersebut, Arifin juga menceritakan bagaimana dirinya pernah menjadi wakil IMF di Laos. Bahkan, sebelum bekerja di Indonesia, Arifin sempat menjadi penasihat keuangan/ moneter pemerintah Laos.
Arifin memang dikenal cerdas sejak belia. Dalam buku itu diceritakan hari-hari dia bersekolah di Hogere Burger School (HBS) Medan. Saat itu hanya ada dua orang berdarah Indonesia di sekolah tersebut. Sisanya orang Belanda. Arifin menceritakan bahwa saat di HBS itu dirinya tidak memiliki sahabat. Sebab, saat itu siswa Belanda di sekolah tersebut tidak mau berteman dengan orang Indonesia. Perlakuan para siswa Belanda tersebut tak membuat Arifin patah semangat.
Pada 1953 Arifin memilih berkuliah di Nederlandsche Economische Hogeschool, Rotterdam, Belanda. Lulus tiga tahun berselang, Arifin bekerja untuk PBB.
Dua tahun kemudian, pada 1958, dia kembali menuntut ilmu. Kali ini di Westfalische Wilhelms-Universitat Munster, Jerman Barat (kini Jerman). Di perguruan tinggi itu pula gelar doktornya diraih pada 1960.
Dia juga aktif menulis hingga menerbitkan 11 jurnal skala nasional dan internasional. Karena itu, buku ini pun digarapnya sendiri selama sekitar setahun.
Arifin berharap bukunya itu dapat memotivasi anak muda. ”Harusnya generasi sekarang jauh lebih baik daripada saya,” tuturnya. (*/c9/ttg)