Jawa Pos

Sensasi Goyang saat Operasi

Mimpinya adalah menjangkau wilayah terpencil untuk memberikan pelayanan kesehatan. Maka, Rumah Sakit Terapung (RST) Ksatria Airlangga membawa misi sosial menyelesai­kan masalah kesehatan. Prioritasn­ya, pulau terpencil yang minim pelayanan.

-

MATAHARI sudah naik setinggi galah. Sinarnya pun cukup membakar kulit pada Sabtu (28/10). Tiga orang tampak sibuk di sebuah ruangan berukuran 4,5 x 7,2 meter.

Mereka berada di samping kiri dan kanan seorang perempuan yang sedang berbaring menelungku­p di sebuah tempat tidur

Posisi wajahnya berada di sebuah lubang di tempat tidur itu.

Perempuan berbaju hijau tosca tersebut ialah Fatimah. Dia pasrah. Tangannya hanya bersilang memangku keningnya. Sesekali matanya melirik ke sekeliling­nya.

Sementara itu, tiga tenaga medis yang terdiri atas satu dokter dan dua perawat berada di kiri dan kanan Fatimah. Mereka berbaju hijau lengkap dengan penutup kepala dan masker. Pandangan mereka fokus ke pundak kanan perempuan 43 tahun tersebut.

Ada benjolan sebesar telapak tangan di punggung Fatimah. Dia akan menjalani proses pembedahan untuk menghilang­kan bejolan itu. Benjolan yang disebut lipoma dalam dunia medis tersebut memang tidak berbahaya. Namun, jika dibiarkan, lipoma bisa menjadi ganas.

Beberapa kali para tenaga medis itu berpegang erat ke ranjang. Lututnya ditekuk sesuai irama lantai yang bergerak. Miring ke kanan dan ke kiri. Pisau stainless steel yang mereka pegang pun beberapa kali batal menyentuh kulit perempuan tersebut. Mereka menunggu ruangan tidak goyang. Proses operasi baru kembali dilanjutka­n saat semua sudah tenang.

Ruangan itu memang tidak banyak berbeda dengan kamar operasi pada umumnya. Ada tabung oksigen, dua tempat tidur operasi, serta alat pengatur napas yang terpasang rapi.

Meski demikian, perbedaan tetap terasa. Di sana ada empat jendela bulat dengan diameter 20 sentimeter. Dari lubang tersebut, terlihat jelas lautan luas.

Ruangan itu pun terus bergerak bukan karena gempa. Tetapi, ada empasan ombak yang membuatnya bergoyang. Suara lantai kayu berderit ketika ombak tiba. Pintu kamar pun sesekali bergeser terbuka karena posisinya miring. Perawat pun mengunci pintu agar hal-hal seperti itu tidak mengganggu saat operasi sedang berjalan.

Ya, kamar operasi tersebut berada di sebuah lambung kapal. Ruangan itu adalah bagian dari Rumah Sakit Terapung (RST) Ksatria Airlangga. Kapal berjenis pinisi tersebut berubah fungsi sebagai fasilitas kesehatan. *** Ksatria Airlangga didominasi warna putih. Ada aksen garis biru di lambungnya. Sejak Kamis (26/10), ia sedang bersandar di pelabuhan penyeberan­gan Bawean. Kapal tersebut memberikan pelayanan kesehatan di daerahdaer­ah terpencil. Terutama daerah yang belum memiliki fasilitas kesehatan memadai.

Pulau Bawean pun jadi destinasi pertama pengabdian sang Ksatria. Meskipun di Pulau Bawean sudah ada infrastruk­tur kesehatan yang cukup, tenaga kesehatan di sana masih kurang. Tidak ada dokter spesialis. Yang ada dokter umum. Saat membutuhka­n tindakan medis, pasien harus dirujuk ke pusat kota, Gresik, di Pulau Jawa. Pulau yang terdiri atas dua kecamatan, yakni Sangkapura dan Tambak, itu memang masuk wilayah administra­si Kabupaten Gresik.

Tidak sedikit kisah sedih mewarnai saat warga Pulau Bawean membutuhka­n tindakan medis. Untuk membawa orang sakit ke Gresik, mereka harus menggunaka­n kapal feri. Jadwalnya hanya dua kali dalam seminggu, Jumat dan Sabtu.

Pakai kapal cepat? Tidak semua orang sakit bisa naik. Kalau orangnya membutuhka­n ambulans, otomatis harus pakai kapal feri. Kalau sudah begitu, warga hanya bisa menunggu dan berharap kapal datang tepat waktu.

Maka, kisah meninggaln­ya orang di atas kapal pun jadi lazim. Maklum, kapal harus menempuh perjalanan selama 10 jam untuk sampai ke Jawa. Itu bisa terjadi kalau cuaca bagus. Kalau ombak lebih dari 3 meter, keberangka­tan terpaksa tertunda hingga cuaca baik.

Karena itu, kapal di bawah Yayasan Ksatria Media Airlangga bentukan Ikatan Alumni Universita­s Airlangga (Ika Unair) tersebut menjadikan Bawean sebagai tujuan perdananya. ’’Kami support tenaga medis ke Bawean,’’ kata Direktur Operasiona­l RST Ksatria Airlangga dr Agus Haryanto SpB.

Kapal dengan bobot mati sebesar 117 gros ton (GT) itu telah bersandar di Pelabuhan Gresik sejak kedatangan pertamanya pada 15 September. Kapal tersebut lalu meninggalk­an Gresik pada Rabu (25/10) tepat pukul 22.00. Kapal itu membawa logistik medis dan tenaga medis tambahan. Dibutuhkan waktu 10 jam untuk menuju Pulau Bawean yang berjarak 80 mil atau 120 kilometer. Mesin bertenaga 300 tenaga kuda jadi pendorong utamanya.

Total, ada 30 tenaga medis yang berangkat ke Pulau Bawean. Namun, tidak semua berangkat dengan RST Ksatria Airlangga. Keberangka­tan mereka dibagi jadi empat gelombang. Tim pertama berangkat pada Rabu (25/10).

Tim pionir berangkat dengan menggunaka­n kapal cepat. Ada empat tenaga medis yang berangkat bersama RST Ksatria Airlangga. Yakni, terdiri atas satu dokter spesialis dan tiga perawat. Hal itu harus dilakukan karena antrean pelayanan kesehatan di Bawean cukup panjang. Tercatat, ada lebih dari 120 tindakan operasi, baik minor maupun mayor.

Tujuan utama pelayaran perdana RST Ksatria Airlangga kala itu adalah membantu ketersedia­an tenaga medis spesialis. Di Pulau Bawean sebenarnya sudah ada rumah sakit. Namanya RSUD Umar Mas’ud. Namun, ada kekosongan tenaga medis. Akibatnya, pelayanan jadi terhambat, terutama bagi pasien yang membutuhka­n rujukan.

Kapal RST Ksatria Airlangga merupakan rumah sakit terapung ketiga di Indonesia. Dua lagi milik TNI-AL. Yaitu, RS Apung dr Lie Dharmawan dan KRI dr Soeharso milik TNI-AL.

Ksatria Airlangga dibuat oleh perajin kapal di Galesong, Kabupaten Takalar, Sulawesi Selatan. Pembuatann­ya menelan biaya sekitar Rp 3 miliar. Kapal itu pun dilengkapi berbagai fasilitas medis untuk menunjang pelaksanaa­n pelayanan kesehatan di pulau-pulau terpencil.

Kapal dengan panjang 30 meter dan lebar lambung 7,2 meter tersebut terdiri atas tiga dek. Dek paling bawah digunakan sebagai ruang oksigen sentral, ruang pascaopera­si, ruang operasi, dan ruang mesin.

Itu memang disengaja. Sebab, gerakan di dek paling bawah terbilang paling stabil. Saat ada gelombang, kemiringan­nya tidak ekstrem. Dengan demikian, operasi akan lebih mudah dilakukan di sana.

Pada dek dua ada ruang operasi mata, tiga ruang rawat inap pasien, serta ruang untuk tim medis dan anak buah kapal (ABK). Ruang tim medis dan ABK juga bisa beralih fungsi jika sewaktu-waktu dibutuhkan kamar lebih untuk pasien. Lantas, dek paling atas digunakan untuk anjungan kapal.

Kapal pinisi dipilih bukan tanpa alasan. Kapal dari kayu besi dan jati tersebut lebih ringan. Nah, keuntungan­nya, kapal itu bisa merapat ke wilayah perairan dangkal. ’’Ini ciri khas Indonesia, 100 persen karya anak bangsa,” ujar Ketua Yayasan Ksatria Medika Airlangga dr Christrijo­go Sumartono SpAn KAR.

Kapal tersebut juga mampu melaju hingga kecepatan 10 knot, setara dengan 18,52 kilometer per jam. Kalau ditambahka­n bentangan layar, kecepatann­ya bisa meningkat 1 knot. Sumber listriknya berasal dari dua genset berkapasit­as 15 kVA. Pasokan listrik yang stabil dibutuhkan untuk mendukung pencahayaa­n maksimal di ruang operasi.

Keandalan RST Ksatria Airlangga teruji saat perjalanan menuju Pulau Bawean. Kapal itu mampu berjalan stabil tanpa guncangan yang membuat perut mual. Klinometer (alat untuk melihat kemiringan kapal) menunjukka­n angka yang stabil. Kemiringan hanya berkisar pada 5 derajat.

Operasi mayor dan minor pun bisa dilakukan di kapal tersebut. Menurut Agus, kesiapan kapal itu terus ditambah untuk menunjang keperluan medis. Salah satunya, ruang oksigen sentral. Nantinya, untuk seluruh pasokan oksigen, tabung tidak perlu dibawa ke ruang operasi. Ada saluran dari ruang oksigen sentral yang terhubung ke ruang operasi.

Saat pelaksanaa­n operasi, kapal tersebut akan berpindah tempat. Kalau gelombang di dermaga tinggi, kapal akan bergeser ke tempat yang lebih tenang. Itu dilakukan agar operasi berjalan baik. Ketika proses tersebut, jangkar seberat 75 kilogram dilepas agar kapal tidak terbawa arus atau bergeser-geser.

Kemampuan dokter untuk melakukan operasi di kapal sangat diuji. Sebab, tinggi ruangan sangat terbatas, tidak sampai 2 meter. Otomatis, itu jadi tantangan tersendiri. Mereka harus berkonsent­rasi pada pasien sekaligus menahan gelombang dan menyesuaik­an kondisi ruangan.

Saat uji coba, proses operasi minor berlangsun­g mulus meski ada saja tim medis yang mengeluh pusing karena belum terbiasa di kapal. Namun, hal tersebut terbayar saat operasi selesai dilakukan.

Pelayaran ke Pulau Bawean juga menjadi evaluasi kapal terhadap perjalanan selanjutny­a. Dari situ, kapal akan terus disiagakan untuk menunjang dukungan medis di pulau terpencil yang membutuhka­n. (Galih Adi Prasetyo/c20/dos)

 ?? GUSLAN GUMILANG/JAWA POS ??
GUSLAN GUMILANG/JAWA POS
 ??  ??

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia