Jawa Pos

Minta Buka Rekaman CCTV

Keluarga Tetap Laporkan RSA Siti Fatimah

-

SIDOARJO – Niat Tetty Rihardini untuk menempuh jalur hukum atas meninggaln­ya Ahmad Ahza Zaadit Taqwa, putra semata wayangnya, belum surut. Dosen kebidanan di Universita­s PGRI Adi Buana Surabaya itu akan melaporkan Rumah Sakit Aisyiyah (RSA) Siti Fatimah, Tulangan, ke Polresta Sidoarjo pada Senin (6/11).

”Kalau mau jelas siapa yang benar, ayo buka rekaman CCTV. Saya yakin mereka tidak akan berani,” katanya kemarin (4/11). Semula, pihak keluarga dengan didampingi kuasa hukum berencana melaporkan kasus tersebut kemarin. Namun, rencana itu terpaksa batal karena Tetty harus menghadiri acara sumpah bidan di kampusnya.

Perempuan 36 tahun tersebut bersikukuh melanjutka­n kasus ini ke jalur hukum. Sebab, dia menilai sampai sekarang belum melihat ada niat baik dari rumah sakit. Tetty juga tidak terima dengan penjelasan rumah sakit. Banyak dari pernyataan itu yang berbelok dari kenyataan yang sebenarnya. Misalnya, soal keluarga mangkir dari pertemuan pada 30 Oktober. ”Pukul 10.29 tanggal 30 Oktober itu saya ditelepon pihak RS. Kata mereka, ka- lau saya datang pun belum bisa mengambil rekam medik karena masih dirapatkan komite. Tapi, mereka malah klaim saya yang ingkar janji,” jelasnya.

Menurut dia, pihak rumah sakit seakan-akan menyederha­nakan masalah. Padahal, yang menjadi permasalah­an bukan hanya soal munculnya alergi setelah Adit, panggilan akrab Ahmad Ahza Zaadit Taqwa, mendapatka­n antibiotik Taxegram melalui injeksi. Melainkan juga bagaimana respons tim medis terhadap gejala awal alergi tersebut.

Kronologi yang disampaika­n pihak rumah sakit, lanjut dia, berbeda dengan ingatan keluarga. ”Saya ini tenaga kesehatan juga,” ujarnya.

Salah satunya adalah pernyataan bahwa gejala alergi Taxegram yang dialami Adit baru muncul dua jam setelah disuntikka­n. Padahal, dia sudah melihat ada benjolan di bibir sang anak yang berusia 1 tahun 9 bulan tersebut sesaat setelah disuntik pada pukul 16.00. ”Saat itu sudah saya laporkan ke- pada perawat minta disuntik antidot (antialergi). Tapi, jawabannya tunggu dulu mau dikonsulta­sikan ke dokter,” terangnya.

Gejala itu berlanjut pada pukul 17.00. Anaknya mengeluh gatalgatal. Lagi-lagi, mereka tidak merespons dengan alasan sedang menunggu dokter. Sampai-sampai, dia sendiri menggendon­g Adit untuk bertemu dr Medy Prijambodo SpA di polis spesialis pada pukul 21.00. ”Saat saya datang pun, dokter dengan enteng bilang anak saya hanya mengigau. Baru saat anak saya tiba-tiba membiru dan menggigit lidah, mereka panik. Dibawa ke HCU ( high care unit) pun, belum ada alat bantu yang siap,” ungkapnya.

Ketika alat bantu napas dipasang, Tetty tidak melihat adanya prosedur pembukaan jalan napas. ”Saya sampai dengar ada suara cairan yang terdorong di kerongkong­an. Saya teriak-teriak baru mereka memasang alat vakum,” ujarnya.

Dia menegaskan, semua detail penanganan di HCU terekam dalam ingatannya dengan jelas. Sebab, dia akhirnya melakukan penanganan sendiri. Dia secara manual menghisap lendir dari tenggoroka­n sang anak. Bahkan, setelah ditinggal dokter, dia masih sempat melakukan upaya resusitasi jantung. ”Saya marah karena dokter langsung menyerah saat (melihat, Red) hasil monitoring jantung. Padahal, grafik lainnya masih bergerak,” tuturnya.

Kuasa hukum RSA Siti Fatimah Masbuhin menghormat­i langkah pihak keluarga bila tetap berkeingin­an membawa persoalan ini ke jalur hukum. Namun, lanjut dia, meninggaln­ya pasien murni sebagai risiko medis. ”Persoalan ini, baik dalam perspektif yuridis maupun sosiologis, sudah tuntas. Karena due diligence mengeluark­an hasil, tidak ada anasir atau unsur perbuatan melawan hukum,” kata Corporate Lawyer Jaringan RS Muhammadiy­ah Jatim itu. (bil/c16/pri)

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia