Benarkah Daya Beli (Tidak) Melemah?
BANYAK survei dan analisis terkait tiga tahun pemerintahan Jokowi-JK pada Oktober lalu. Dari beberapa survei, kepuasan pada kinerja ekonomi sering kali mendapat nilai rapor lebih rendah dibanding sektor lain.
Secara makro, pertumbuhan ekonomi 7 persen yang dijanjikan saat kampanye memang hampir pasti tak tercapai. Imbasnya, penurunan angka kemiskinan dan pengangguran pun tak sesuai target. Kenaikan Setoran Pajak Presiden Jokowi bereaksi keras terhadap santernya isu melemahnya daya beli. Dia menuding, isu itu diembuskan orang yang punya kepentingan politik menggembosi kinerja pemerintah. Presiden pun menyebut data setoran pajak pertambahan nilai (PPN) yang naik 12,1 persen. Karena itu, presiden meyakini turunnya omzet penjualan ritel disebabkan cara belanja masyarakat yang beralih dari offline ke online. Untuk mendukung analisis itu, presiden menyebut bisnis jasa kurir yang melonjak hingga 130 persen.
Pertama, pernyataan itu perlu diluruskan. JNE mengakui, tahun ini omzetnya naik, tapi hanya 25– 30 persen. Dirjen Pajak akhirnya mengonfirmasi, yang disebut naik 130 persen oleh presiden bukan omzet perusahaan kurir, melainkan setoran pajak perusahaan kurir.
Fakta naiknya setoran pajak memang nyata. Sepanjang Janu- ari–Agustus 2017, setoran PPN dalam negeri yang mencerminkan aktivitas perdagangan domestik naik 13,4 persen. Lantas, mengapa pelaku usaha ramai-ramai bilang pertumbuhan omzetnya turun?
Kita bisa analisis dengan teori naiknya tingkat kepatuhan pajak seiring makin ketatnya pengawasan dan pemberlakuan faktur online. Analoginya, tahun lalu, pengusaha menjual 100 barang, namun yang dilaporkan dan dibayar pajaknya hanya 50. Tahun ini, pengusaha menjual 80 barang, tapi 70 atau 75 di antaranya dilaporkan ke aparat pajak. Jadi, meski secara volume omzet penjualan turun, tapi setoran pajaknya tercatat naik. Fakta Penjualan Ritel Riset Nielsen menunjukkan, hingga Agustus 2017, omzet penjualan barang cepat konsumsi ( fast-moving consumer goods/ FMCG) untuk 55 kategori turun 2,3 persen dibanding tahun sebelumnya. Penjualan mi instan bahkan turun sampai 11,6 persen. Jika dicermati, yang penjualannya turun adalah produk yang banyak dikonsumsi masyarakat menengah ke bawah.
Sedangkan yang masih tumbuh adalah produk yang biasa dikonsumsi masyarakat menengah ke atas. Tren mirip juga terlihat di sektor otomotif. Penjualan sepeda motor Januari–Agustus 2017 turun 3,8 persen dibanding periode sama 2016. Sedangkan pen- jualan mobil naik 3,5 persen.
Bagaimana dengan analisis lesunya penjualan ritel terjadi karena cara transaksi yang bergeser dari offline ke online? Pertumbuhan transaksi online memang pesat. Namun, nilainya masih di kisaran 3 persen dari total transaksi ritel. Sehingga, belum bisa dikatakan bahwa perpindahan transaksi online ini jadi sebab utama lesunya pasar ritel secara keseluruhan. Uangnya Disimpan di Bank? Analisis lain menyebut lesunya sektor ritel karena masyarakat lebih suka menyimpan di bank. Sehingga, daya beli sebenarnya masih kuat, tapi masyarakat menahan konsumsi. Buktinya, nilai simpanan perbankan melonjak. Sekilas argumentasinya masuk akal. Tapi, mari lihat data Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Nilai simpanan per akhir Agustus 2017 tercatat Rp 5.142,2 triliun. Artinya, sepanjang Januari– Agustus naik Rp 242 triliun.
Tapi, milik siapakah simpanan yang melonjak itu? Rupanya, simpanan kelompok dengan nilai saldo Rp 0–100 juta yang jumlahnya 98 persen dari total seluruh rekening hanya naik Rp 3 triliun. Sedangkan kelompok dengan nilai simpanan di atas Rp 5 miliar dan jumlahnya hanya 0,04 persen dari total jumlah rekening mencatat lonjakan nilai simpanan hingga Rp 205,7 triliun. Jelas, lonjakan simpanan ini terjadi di kelompok nasabah kaya ataupun badan usaha. Artinya, melemahnya belanja kelompok menengah ke bawah ini bukan karena mereka lebih senang menyimpan uangnya di bank, melainkan karena memang benar-benar tidak punya uang lebih untuk dibelanjakan. Apa sebab daya beli melemah? Beberapa pelaku usaha kompak menyebut faktor pencabutan subsidi listrik.
Tahun ini pemerintah mencabut subsidi 18,8 juta pelanggan listrik 900 VA. Ini menghemat subsidi hingga Rp 22 triliun. Itu berita bagus untuk pemerintah. Tapi, itu berarti beban Rp 22 triliun pindah dari kantong APBN ke kantong 18,8 juta rumah tangga.
Sehingga, tahun ini, dana Rp 1,83 triliun per bulan yang sebelumnya bisa dibelanjakan masyarakat menengah ke bawah, kini harus dialihkan untuk membayar listrik. Respons Kontraproduktif Beberapa pelaku usaha mulai waswas. Pasalnya, sampai saat ini, pemerintah masih yakin tidak ada pelemahan daya beli. Karena itu, alih-alih memberi insentif agar daya beli kembali naik, pemerintah justru dikhawatirkan mengeluarkan kebijakan yang berpotensi tambah menggerus daya beli.
Misalnya, Juli 2017 lalu, Menkeu melontarkan rencana menurunkan batas penghasilan tidak kena pajak (PTKP) dari Rp 54 juta (Rp 4,5 juta per bulan) menjadi sesuai dengan upah minimum provinsi (UMP).
Beruntung, rencana itu dibatalkan karena ditentang banyak pihak. Bayangkan, jika saja rencana itu dilaksanakan, Ditjen Pajak mungkin bisa meraup tambahan setoran Rp 60 triliun setahun. Tapi, harus diingat, uang sebesar itu sebenarnya diambil dari kantong jutaan pekerja sehingga kian menggerus daya beli.
Lantas, apa yang bisa dilakukan? Sejujurnya, mengingat sempitnya ruang fiskal APBN, praktis tidak banyak lagi yang bisa dilakukan pemerintah untuk mendongkrak daya beli. Karena itu, pemerintah tinggal berharap pada investasi pelaku usaha untuk mendorong roda ekonomi.
Bagaimana agar pelaku usaha yang menahan ekspansi mau berinvestasi? Beri kemudahan. Karena insentif pajak tidak lagi memungkinkan, setidaknya beri kemudahan perizinan. Kita butuh terobosan agar roda investasi bergerak. Itulah kunci memperkuat daya beli sekaligus mendorong pertumbuhan. (*)