Kubu Setnov Polisikan Pimpinan KPK
Kasus Pemalsuan Surat, Polri Memproses Cepat
JAKARTA – Setya Novanto (Setnov) tidak tinggal diam atas langkah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menerbitkan surat perintah penyidikan (sprindik) baru dalam kasus korupsi pengadaan e-KTP. Tim pengacara Setnov melakukan perlawanan
Mereka mengadukan dua pimpinan KPK Agus Rahardjo dan Saut Situmorang ke Mabes Polri.
Sandy Kurniawan, anggota tim pengacara Setnov, menjadi pelapor. Isi laporan adalah pimpinan KPK dianggap memalsukan surat untuk menjerat Setnov dalam kasus e-KTP. Yang mengejutkan, polisi memproses cepat pengaduan tersebut. Selasa lalu (7/11) polisi mengeluarkan surat perintah dimulainya penyidikan (SPDP) terhadap Agus dan Saut.
Kemarin (8/11) pukul 10.00 Sandy dan Fredrich Yunadi (juga pengacara Setnov) mendatangi kantor Bareskrim Polri. Keduanya tampak terburu-buru masuk ke kantor. Tiga jam kemudian mereka keluar dengan membawa amplop cokelat berisi SPDP.
Fredrich sempat menunjukkan isi SPDP yang baru diambilnya tersebut. Dalam surat bernomor B/263/XI/2017/Dittipidum itu, tertulis nama Agus dan Saut.
Keduanya diduga melakukan pelanggaran pasal 263 juncto pasal 55 dan atau pasal 421 KUHP tentang pembuatan surat palsu dan penyalahgunaan wewenang. ”Surat ini sudah diserahkan juga ke Kuningan (kantor KPK),” ucapnya.
Fredrich mengaku senang karena laporannya ditindaklanjuti dengan cepat. Pihaknya pun berharap dalam waktu dekat perkara dapat dilimpahkan ke kejaksaan. ”Agar bisa segera disidangkan,” ujarnya.
Pimpinan KPK, tuduh Fredrich, selama ini melakukan pelanggaran atas kliennya. ”Surat dari imigrasi, sprindik, SPDP, banyak suratnya yang tidak benar,” tukasnya. Sayang, dia menolak saat diminta menyebutkan lebih detail surat yang menurut pihaknya telah dipalsukan. ”Saya sudah mengatakan bahwa ada kasus pelanggaran yang dilakukan oknum KPK. Sekarang betul,” katanya.
Ketika disinggung mengapa hanya Agus dan Saut yang dipolisikan, Fredrich beralasan bahwa dua orang itu yang membubuhkan tanda tangan pada surat- surat yang dianggap palsu tersebut. ”Kalau nanti pimpinan itu bilang ada pimpinan lain yang ikut tanda tangan, silakan dikembangkan penyidik,” imbuhnya.
Sementara itu, Juru Bicara KPK Febri Diansyah menyatakan, pimpinan KPK sudah menerima salinan SPDP tersebut. Dia menegaskan, Agus dan Saut selama ini hanya berstatus terlapor, bukan tersangka. ”Isinya itu ada dua pimpinan KPK sebagai pihak terlapor. Jadi, perlu ditegaskan di sini, dua pimpinan KPK sebagai pihak terlapor,” terangnya di gedung KPK kemarin.
KPK masih akan mempelajari lebih lanjut SPDP tersebut. Berikutnya, baru diputuskan apa lang- kah hukum yang bakal diambil. Kendati demikian, KPK yakin kepolisian bakal bersikap profesional dalam menangani setiap proses hukum. Terutama yang menyangkut lembaga superbodi itu.
”Ini kan bukan terjadi kali ini saja. Jadi, kami pastikan KPK akan menghadapi hal tersebut. Kami percaya polisi akan profesional dalam menanganinya,” tegas mantan aktivis Indonesia Corruption Watch (ICW) itu.
Di sisi lain, KPK tetap melanjutkan agenda pemeriksaan para saksi terkait kasus e-KTP. Kemarin, misalnya, penyidik komisi antirasuah tersebut memeriksa mantan Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Gamawan Fauzi. Gamawan diperiksa untuk Anang Sugiana Sudihardjo dan Setnov. Dia menegaskan Setnov sebagai tersangka dalam pemeriksaan kemarin. ”Ya (tersangka) Anang, Novanto, Irman, dan seterusnya,” ucap dia. Gamawan diperiksa selama 40 menit.
Dalam pemeriksaan itu Gamawan diminta menjelaskan hubungan dengan Anang dan Setnov. ”Saya ditanya dua hal. Pertama kenal nggak sama Pak Anang. Saya bilang saya nggak kenal dan belum pernah ketemu orangnya. Kedua tentang Pak Novanto. Saya bilang saya nggak pernah bicara sama Pak Novanto. Ketemunya paling di paripurna,” ungkapnya.
Sementara itu, koordinator Masyarakat Antikorupsi Indonesia (Maki) Boyamin Saiman mengatakan, polisi semestinya tidak buru-buru menerbitkan SPDP atau meneruskan laporan kubu Setnov. ”Kalau tindakan KPK dianggap salah karena menyalahgunakan wewenang atau tindakan penyidikan lainnya, maka ada sarana yaitu praperadilan,” ujarnya.
Selain itu, polisi seharusnya paham dengan ketentuan di pasal 50 KUHP yang menyebutkan bahwa barang siapa yang melakukan perbuatan untuk melaksa- nakan undang-undang, tidak dipidana. ”Jadi, jelas dalam KUHP orang yang sedang menjalankan tugas undang-undang maka tidak bisa dipidana, contoh lain penembak eksekusi mati,” ungkapnya.
Boyamin menambahkan, keputusan pimpinan KPK dalam menerbitkan surat umumnya merupakan usulan dari penyidik yang disampaikan lewat Direktur Penyidikan KPK Brigjen Aris Budiman. Artinya, terbitnya SPDP atau dokumen lain yang berkaitan dengan bidang penindakan bukan hanya kesalahan pimpinan. Tapi juga bagian penindakan, khususnya direktorat penyidikan.
”Tindakan pimpinan KPK pasti usulan dan permintaan dari penyidik,” terangnya. Boyamin pun berharap kasus pemalsuan dokumen itu tidak diteruskan polisi. Sebab, tindakan itu bisa dimaknai publik sebagai bentuk kriminalisasi dan pelemahan KPK.