1.300 Orang Disekap di Papua
Akses Tertutup, Sulit Pasok Makanan
TEMBAGAPURA – Gangguan kelompok bersenjata di Papua memasuki babak baru. Untuk kali pertama, kelompok bersenjata menyekap 1.300 orang dari dua kampung di Mimika, Papua. Mereka tetap bisa keluar rumah dan beraktivitas, tapi dilarang keluar kampung. Jika melanggar, mereka bisa ditembak.
Model gangguan keamanan seperti itu adalah yang pertama di Papua. Kelompok bersenjata memang sering mengganggu, tapi biasanya menembak aparat atau menyerbu objek-objek vital. Tidak pernah ada ratusan orang disekap, dilarang meninggalkan kampung.
Kapolri Jenderal Tito Karnavian mengungkapkan, penyanderaan itu terjadi di Kampung Kimbely dan Banti di Kecamatan Tembagapura, Kabupaten Mimika, Papua.
Tito menyebut penyekapan yang terjadi sejak Senin lalu (6/11) itu bermotif ekonomi. Bukan sebuah gerakan separatis. ”Pelakunya adalah satu kelompok kriminal bersenjata (KKB),” kata Tito kemarin. ”Ini bukan separatis. Motifnya lebih pada masalah ekonomi, ketidakpuasan dan lain-lain,” lanjutnya.
Tito menjelaskan, 1.300 orang yang menjadi korban penyekapan adalah para pendulang emas ilegal. Mereka mendulang di daerahdaerah yang sebelumnya menjadi lokasi pertambangan PT Freeport Indonesia (FI). Jadi, mereka mendulang untuk mencari sisa-sisa logam mulia dari aktivitas PT FI.
”Di antara mereka ada beberapa penduduk asli, ada juga pendatang. Saya hafal betul karena pernah jadi Kapolda Papua,” ujar Tito.
Kabidhumas Polda Papua Kombespol A.M. Kamal mengungkapkan, di Kampung Kimbely sekitar 300 warga disekap. Mereka adalah pendatang. ”Sedangkan di Kampung Banti yang berdekatan dengan Kampung Kimbely, terdapat sekitar 1.000 orang asli Papua yang juga dilarang bepergian oleh KKB,” ungkapnya.
Jumlah kelompok pendulang ilegal itu, menurut Tito, cukup besar, 8 hingga 10 ribu orang. Mereka tersebar di banyak kampung di kawasan yang pernah menjadi wilayah tambang PT FI.
Nah, KKB yang sekarang melakukan penyekapan, menurut Tito, sebelumnya membaur dalam masyarakat itu. ”Jumlah mereka diperkirakan 20 orang. Namun, mereka bersenjata, ada 5 sampai 10 (pucuk, Red) senjata,” papar Tito.
KKB itu tinggal membaur dengan masyarakat. Setelah melakukan penembakan, mereka kabur dan membaur kembali dengan masyarakat setempat. ”Mereka pakai warga sekitar sebagai tameng,” kata Tito.
Saat ini Polda Papua dan Kodam Cenderawasih tengah berkoordinasi untuk melakukan penguatan dan pengamanan di sekitar area pertambangan PT FI. Juga membentuk tim untuk mengejar KKB. ”Kekuatan TNI-Polri di sana sekitar 1.000 orang, dari utara Timika, sampai daerah pelabuhan,” kata Tito.
Sejak Senin, 200 personel disiagakan di Tembagapura. Personel itu berbeda dengan Satgas Amole yang selama ini melaksanakan pengamanan objek vital PT FI.
”Hingga saat ini, satgas terus berupaya melakukan langkahlangkah persuasif dan preventif agar masyarakat bisa terbebas dari intimidasi dan ancaman KKB ini. Kondisi masyarakat di kedua kampung, yakni Kampung Banti dan Kampung Kimbely, masih cukup baik,” papar Kamal.
Selain bersiap melakukan penyerbuan dan pengejaran, polisi melakukan langkah-langkah persuasif. Mereka menggandeng pemuka-pemuka gereja setempat, tokoh agama, dan tokoh adat untuk menyelesaikan masalah dengan cara-cara damai.
Namun, Tito menegaskan akan melakukan tindakan tegas jika KKB tidak segera menyelesaikan permasalahan dengan damai. ”Kalau terpaksa, akan kami lakukan penegakan hukum dengan sangat terukur,” tegasnya.
Sementara itu, Wakil Ketua II DPR Papua Fernando Yansen Tinal meminta polisi mengedepan- kan upaya damai untuk menyelesaikan. Operasi militer akan membuat keselamatan warga Papua yang tidak berdosa terancam.
Sampai sejauh ini, menurut Yansen, kondisi masyarakat di Banti baik. Hanya, mereka membutuhkan pasokan bahan makanan. Sayang, hal itu sulit dikirimkan karena akses menuju Banti dan Kimbely tertutup. (sun/ tns/ale/tau/lyn/c10/c9/ang)