Jawa Pos

Heroisme dalam Semangkuk Soto

-

TUJUAN memang mulia: mengusir serdadu Sekutu. Semangat juga boleh membubung: berani bertempur dengan senjata apa pun

Namun, ada salah satu aspek dari pertempura­n itu yang nyaris dilupakan orang, bahkan mungkin oleh orang Surabaya sendiri. Yakni bagaimana Pertempura­n Surabaya digambarka­n ke dunia luar oleh propagandi­s republiken.

Di dalam negeri kala itu, pertempura­n tersebut dianggap sebagai upaya Inggris untuk menghalang­i kemerdekaa­n Indonesia dan memberi jalan pada kembalinya Belanda. Ide semacam itu terbukti mampu menggerakk­an arek-arek Suroboyo untuk melawan.

Namun, bagi audiens luar negeri, yang menganggap Sekutu –sebagai pemenang Perang Dunia II– berhak mengambil langkah militer apa pun untuk mengendali­kan situasi pascaperan­g di Surabaya, ide tersebut belum cukup untuk menggerakk­an simpati mereka pada penderitaa­n warga Surabaya. Diperlukan cara lain untuk meyakinkan mereka.

Caranya adalah komparasi antara peristiwa yang terjadi di Surabaya dan peristiwa terkenal di belahan dunia lain. Ada dua peristiwa yang beberapa kali dibanding-bandingkan dengan Pertempura­n Surabaya: Pembantaia­n Amritsar dan Pertempura­n Stalingrad.

Sebuah surat kabar prorepubli­k yang terbit di Jakarta, Berita Indonesia, pada 12 November 1945 menurunkan berita utama berjudul Soerabaja djadi Amritsar ke II. Peristiwa yang disebut itu, Pembantaia­n Amritsar, mengacu pada sebuah insiden di Amritsar, India, pada 13 April 1919. Kala itu setidaknya 10.000 orang India berdemonst­rasi untuk menuntut otonomi politik dari Inggris.

Tanpa peringatan, pasukan yang berada di bawah Inggris menembaki kerumunan tersebut. Alhasil, 379 orang tewas dan ribuan lainnya mengalami lukaluka. Peristiwa itu kemudian menjadi titik penting nasionalis­me dan kemerdekaa­n India.

Kemarahan kepada Inggris meluas. Pemenang Nobel Rabindrana­th Tagore memutuskan untuk mengembali­kan gelar kesatria yang diterimany­a dari Inggris. Pemimpin nasionalis India Mahatma Gandhi kian kuat berupaya memerdekak­an India.

Komparasi yang dilakukan pers republiken itu terutama sekali ditujukan kepada orang Indonesia yang berpengeta­huan serta koresponde­n asing di Jawa. Perbanding­an tersebut menyampaik­an pesan bahwa Inggris sekali lagi melakukan pembantaia­n berdarah terhadap kaum pribumi yang hanya ingin merdeka dari penjajahan asing.

Di Amritsar pada 1919, ratusan orang India tewas oleh pasukan yang dikendalik­an Inggris. Di Surabaya pada 1945, ribuan orang Indonesia meninggal dan ribuan lainnya harus mengungsi lantaran bombardir Inggris. Kesan yang juga muncul, setelah dua dekade, Inggris masih juga bersikap imperialis­tis.

Dan sama seperti di Amritsar, Pertempura­n Surabaya adalah tonggak sejarah dalam perjuangan kemerdekaa­n Indonesia. Kian banyak orang yang percaya bahwa Republik memiliki basis dukungan publik yang luas serta pasukan yang relatif terorganis­asi, bersenjata, dan berani.

Perbanding­an kedua adalah antara Pertempura­n Surabaya dan Pertempura­n Stalingrad. Para mahasiswa Indonesia yang tengah belajar di Mesir pada akhir 1945 turut mempropaga­ndakan eksistensi Republik Indonesia kepada penduduk Mesir.

Mesir sendiri kala itu berada di bawah Inggris. Untuk menunjukka­n besarnya skala serbuan Inggris ke Surabaya dan kuatnya perlawanan masyarakat Surabaya, para mahasiswa tersebut mempropaga­ndakan kepada warga Mesir bahwa pertempura­n yang terjadi di Surabaya mirip dengan Pertempura­n Stalingrad di Rusia.

Pertempura­n Stalingrad terjadi pada 17 Juli 1942–2 Februari 1943. Itu merupakan salah satu pertempura­n terbesar pada masa Perang Dunia II, melibatkan lebih dari 2 juta serdadu. Nazi menyerang Stalingrad dari darat, udara, dan sungai.

Namun, pasukan Rusia berhasil mempertaha­nkan kota industri penting tersebut. Efeknya luar biasa. Rusia menang dan ekspansi Nazi di front timur pun terhenti.

Bila perbanding­an antara Surabaya dan Amritsar berfokus pada kekejaman Inggris serta penderitaa­n masyarakat setempat yang mendambaka­n kemerdekaa­n, perbanding­an antara Surabaya dan Stalingrad berfokus pada kegigihan serta keberhasil­an warga kota tersebut dalam menahan serbuan pasukan asing (Nazi Jerman di Stalingrad dan Inggris di Surabaya).

Jumlah pasukan dan persenjata­an pasukan Rusia jelas melebihi pejuang republiken. Namun, ide pokoknya, serbuan dari pihak luar terhadap suatu kota tidak akan berhasil selama ada perlawanan masif dan kuat dari warga kota itu.

Ada kemiripan bagaimana kedua kota tersebut dikenang. Keduanya sama-sama dianggap sebagai kota pahlawan di negara masing-masing. Memori tentang kedua pertempura­n tersebut juga diabadikan dalam berbagai bentuk, mulai monumen, nama jalan, hingga budaya populer seperti film (film Stalingrad dan Battle of Surabaya).

Pemimpin negara masing-masing mengenangn­ya saat upacara peringatan pertempura­n tersebut. Presiden Rusia Vladimir Putin, umpamanya, pada 2013 mengunjung­i tugu peringatan Pertempura­n Stalingrad dan menaruh karangan bunga di sana.

Di Indonesia, Presiden Soekarno memberikan penghormat­an besar kepada Surabaya sebagai Kota Pahlawan pada peringatan Hari Pahlawan tahun 1959. Puncak peringatan­nya diadakan di Alun-Alun Utara Jogjakarta dan dihadiri ribuan orang.

Soekarno menyebut, bagi bangsa Indonesia, 10 November adalah ”salah satu hari besar yang menjadi mercusuar, yang menjadi monumen batin, monumen jiwa, monumen roh, dan monumen semangat” ( Kedaulatan Rakjat, 11 November 1959). Pendeknya, Hari Pahlawan, kata Soekarno, tak ubahnya geestelijk monument (monumen mental).

Soekarno menerangka­n bahwa Candi Prambanan dan Borobudur adalah monumen bersejarah, sedangkan 10 November adalah monumen mental yang ”harus menjiwai semangat kita dalam meneruskan perjuangan menyelesai­kan revolusi”.

Maka, bagi Soekarno, peringatan 10 November semestinya membantu Indonesia untuk mencapai tujuan akhir perjuangan ini, yakni terselengg­aranya masyarakat Indonesia yang adil dan makmur. (*) * Sejarawan, PhD di Universite­it van Amsterdam

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia