KPK Siap Hadapi Laporan Setnov
Kapolri Minta Penyidik Berhati-hati Tangani Kasus Pemalsuan Surat
JAKARTA – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) siap menghadapi perlawanan kubu pengacara Ketua DPR Setya Novanto terkait dugaan pemalsuan surat. Bahkan, lembaga superbodi itu siap dipanggil Bareskrim Polri untuk kasus yang dilaporkan pengacara Setnov, Sandy Kurniawan, tersebut
Tapi, laskar yang terlibat dalam pertempuran 10 November 1945 di Surabaya tetaplah manusia: butuh makan, butuh minum.
Karena itu, yang tak boleh diabaikan perannya dari Pertempuran Surabaya itu adalah pasokan makanan. ”Jangan lupa, pedagang soto serta pedagang tahu dan tempe juga disebut Bung Tomo dalam pidatonya,” kata Fadly Rahman, sejarawan Universitas Padjadjaran sekaligus pakar kuliner, kepada Jawa Pos.
Maksudnya, mereka yang berada di garis belakang itu juga pahlawan. Dari merekalah kebutuhan para anggota laskar akan protein, lemak, dan karbohidrat terpenuhi.
Fadly menjelaskan, ketika Pertempuran Surabaya terjadi, Kampung Maospati yang berada di kawasan Bubutan merupakan dapur umum. Dari kampung yang sekarang menjadi kawasan cagar budaya itu, distribusi logistik untuk arek-arek Suroboyo di medan laga dijalankan.
Pada masa perang, kebutuhan tertinggi para laskar adalah asupan protein dan lemak. Karbohidrat berada di bawah keduanya. Dan, daging merupakan sumber protein tertinggi
”Tapi, karena salah tata kelola wilayah selama pendudukan Jepang, protein hewani ini sulit didapatkan (saat Pertempuran Surabaya terjadi). Jepang lebih fokus dengan eksploitasi sumber alam dan melupakan aspek lain seperti pertanian atau peternakan,” jelas Fadly.
Dalam arsip perang maupun sumber-sumber kolonial era 1940an yang ditemukan penulis buku Rijstaffel: Budaya Kuliner di Indonesia Masa Kolonial 1870-1942 itu, protein hewani adalah barang mewah ketika itu. Dari sanalah dimulai substitusi konsumsi hewani menjadi nabati.
Fadly menyebut, tahu dan tempe merupakan sumber protein nabati paling jamak ditemui ketika pendudukan Jepang (1939–1945) hingga era revolusi Indonesia (1945–1949). ”Bahkan di kalangan orang Belanda sendiri. Karena krisis pangan di era perang, mereka beralih ke sumber-sumber protein nabati ini,” tutur Fadly.
Kebiasaan mengonsumsi protein nabati lewat tahu-tempe itu terbawa sampai Pertempuran Surabaya. Tak hanya di kalangan arek-arek Suroboyo, tapi juga di pihak musuh: serdadu Sekutu.
Fadly menambahkan, kedua kubu yang berperang juga mengonsumsi susu kedelai sebagai tambahan protein. Menu ”mahal” dalam ransum pasukan Sekutu adalah daging rendang. ”Olahan rendang dipilih karena bisa bertahan lama sampai berhari-hari,” ucap Fadly.
Rendang di pihak sana, di kubu sini alias laskar, ada soto. Soto pun, menurut Fadly, mengalami substitusi. Pada awalnya, soto berisi daging, tanpa jeroan. Jeroan yang berisi usus dan babat dibuang karena kurang sehat dan kadar kolesterolnya tinggi. Namun, karena situasi darurat perang, jadilah jeroan bagian dari soto. Dan, itu bertahan sampai sekarang.
Sejarawan Universitas Airlangga Purnawan Basundoro juga membenarkan soal krisis pangan yang terjadi di Surabaya periode 1940an itu. Dalam bukunya, Merebut Ruang Kota, Aksi Rakyat Miskin Kota Surabaya 1900-1960an, Purnawan menuliskan bagaimana sengsaranya kehidupan rakyat era Jepang sampai era pasca kemerdekaan.
”Jepang membuat Jawa krisis makan serius. Dan, di awal kemerdekaan, krisis itu sama sekali belum membaik,” tutur Purnawan ketika ditemui kemarin (9/11).
Pada masa Jepang tersebut, terjadi degradasi bahan pangan. Beras digantikan jagung dan singkong. Sayur lompong (tangkai daun talas) yang di era kolonial Belanda sama sekali tak dikenal pada masa Jepang bisa ditemui.
Juga tempe bongkrek yang kadang ditumbuhi bakteri Pseudomonas cocovenenans tidak dilarang dikonsumsi oleh pemerintah Jepang. Mereka hanya memberi peringatan bahaya tempe bongkrek dan cara-cara pencegahan ditumbuhi bakteri. Propaganda itu ditulis dalam selebaran yang dibagi-bagikan secara luas. (dra/c17/ttg)