Bentuk Ekosistem Pengembangan Start-up
SURABAYA – Start-up bidang teknologi di Surabaya sebenarnya tidak kalah oleh kota lain seperti Jakarta dan Bandung. Namun, diperlukan ekosistem untuk mendorong perkembangan start-up tersebut.
Deputi Infrastruktur Badan Ekonomi Kreatif Indonesia (Bekraf) Hari Sungkari menyatakan, Surabaya bisa menjadi ekosistem sebagaimana kota-kota lain jika melihat animo yang besar. ’’Karena itu, perlu ditunjang dengan akademisi, bisnis, komunitas, pemerintah, dan media. Semua harus bekerja sama,’’ katanya di sela-sela Business Matching & Focus Group Discussion 2017 yang diadakan lembaga inkubator Gerdhu kemarin (9/11).
Tugas lembaga inkubator adalah menjaga jejaring dengan lima pihak tersebut. Sebab, kendala utama start-up adalah talenta. ’’Hampir 50 persen karena faktor talenta. Kalau tidak ada talenta, tentu pemilik modal tidak mau,’’ jelasnya. Talenta tersebut bisa berupa mental sebagai pengusaha maupun skill atau kemampuan.
Bekraf memiliki program berupa Bekraf for Pre-Startup (Bekup) yang menjaring 3.000 startup. Program pendampingan selama tiga bulan itu dilakukan di sepuluh kota. Di antaranya, Surabaya dan Malang. ’’Mereka digembleng. Tiap akhir pekan diadakan pertemuan,’’ ujar Hari. Targetnya, 5 persen dari peserta tersebut bisa sukses menjadi pengusaha.
Prospek start-up pada masa mendatang cukup terbuka lebar. Indonesia sebagai negara ekonomi digital membutuhkan start-up dalam jumlah besar. ’’Yang dibutuhkan yang bisa berikan solusi terhadap persoalan lokal,’’ tutur Hari. Misalnya, solusi di bidang pertanian, perkebunan, transportasi, sampah, dan pemerintahan.
Hingga saat ini, sudah ada beberapa startup yang mengembangkannya. ’’ Yang belum tersentuh itu health dan pendidikan, tapi fokus sekarang ke sektor pertanian dulu,’’ ungkapnya.
Staf Asesor Asosiasi Inkubator Bisnis Indonesia (AIBI) Harry Jusron menjelaskan, perkembangan start-up tidak terlepas dari peran inkubator. Saat ini Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Kemenristek- dikti) menggodok regulasi tentang akreditasi bagi lembaga inkubator. Selain untuk lembaganya, disiapkan aturan sertifikasi bagi pengelola inkubator. ’’Apalagi, hasil akhir dari inkubator adalah bisa berbisnis. Jadi, berbeda dengan lembaga pendidikan,’’ terangnya.
Kemenristekdikti juga terus mendorong jumlah start-up melalui pendampingan bagi inkubator. Tahun ini ada 19 inkubator. Perinciannya, 17 inkubator berasal dari perguruan tinggi dan dua dari inkubator swasta. (res/c14/fal)