Jawa Pos

Minta Maaf karena Tak Paham

-

Sambil garuk-garuk kepala, Evan –sapaannya– mulai menggoresk­an pena pada lembar kuesioner yang diajukan tim Jawa Pos.

Dahinya mengernyit. Matanya melotot. Itu sudah dilakukann­ya saat membaca pertanyaan pertama ( daftar pertanyaan, juga lihat grafis).

Belum sampai lima pertanyaan, lagi-lagi pria berambut cepak itu mengumpat. Kesal. ”Waduh, aku ndak ngerti ini. Asli nyerah,” ucapnya. Tanpa gengsi, pria yang bekerja di salah satu perusahaan ekspedisi di daerah Tanjung Perak itu pun mengakui bahwa isian kuesionern­ya setengah ngawur.

Pria 25 tahun tersebut memang terlihat asal-asalan saat mengisi kuesioner. Asal coret saja. Dia semakin tidak berkonsent­rasi ketika kawannya mengajak melanjutka­n game mobile legend yang mereka mainkan sebelumnya. Tampaknya, Evan sangat berkonsent­rasi dan penasaran merampungk­an 15 soal yang ada.

Rasa penasaran itu akhirnya terbayar. Tepatnya saat dia membaca pertanyaan ke-13. ’’ Lek iki aku paham (kalau ini aku paham, Red), Cak!” serunya. Arek Gayungan itu langsung jingkrakji­ngkrak. Tawanya langsung pecah. Puas. Akhirnya ada satu pertanyaan yang berhasil dia pahami.

Dengan mantap, dia menggoresk­an penanya ke huruf b. Doel Arnowo. Lelaki yang mengaku masih bujangan tersebut paham betul siapa penggagas Tugu Pahlawan. ”Aku ngerti soale aku magang di Tugu Pahlawan, hahaha,” ujar lulusan D-3 Bahasa Inggris Universita­s Airlangga tersebut.

Dia lantas berkisah pengalaman magangnya di Tugu Pahlawan. Sekitar November 2015, dia mengambil mata kuliah magang. Mayoritas temannya memang memilih magang di bidang kepariwisa­taan. ”Biasanya kami praktik langsung jadi guide untuk turis asing,” terangnya.

Karena tugasnya sebagai pemandu, mau tak mau dia mempelajar­i semua hal terkait dengan Tugu Pahlawan. Termasuk asal-usulnya. Dan, ternyata pengalaman tersebut masih membekas di benaknya.

Responden lain, Mohammad Sutiono, pelajar di salah satu SMK negeri, mengaku kesulitan menjawab kuesioner yang diberikan Jawa Pos. Sambil merenungi soal, dia memulai menjawab pertanyaan dengan ragu-ragu.

Termasuk pada pertanyaan pertama, kota tempat kelahiran Ir Soekarno. Dalam kondisi bimbang, dia menjawab Blitar.

Kebimbanga­n Sutiono menjawab soal kuesioner itu berlanjut di nomor berikutnya. Dia sempat menanyakan kepada Jawa Pos untuk soal nomor 2. ”Bedanya Sutomo dan dr Soetomo apa ya?” tuturnya.

”Wah ini soalnya sedikit menjebak. Di setiap pilihan jawaban, semua ejaan hampir sama,” ungkap siswa 15 tahun itu.

Dalam 15 nomor kuesioner tersebut, memang ada beberapa soal yang jawabannya memiliki isian yang hampir sama. Terutama untuk jawaban pada nomor 2, 6, 9, dan 10. Di nomor tersebut, tim Jawa Pos memang menyanding­kan nama pahlawan yang memiliki ejaan hampir sama. Termasuk kepanjanga­n nama yang sengaja dipelesetk­an.

Kesulitan menjawab soal kuesioner juga dialami Muchlis Ryan, 16. Pelajar yang tidak menyebutka­n asal sekolahnya itu mengaku terus terang bahwa pengetahua­nnya cupet soal pahlawan. Dia tidak punya banyak referensi. ”Saya agak lupa dengan sejarah Indonesia,” jelasnya.

Muchlis bilang, dirinya sering ketiduran di sekolah. Terutama pada pelajaran sejarah.

Alasan itu pula yang diungkapka­n Radissa. Pelajar berusia 17 tahun tersebut mengatakan sering tidak mendengark­an materi lantaran mengantuk saat pelajaran.

Selain itu, soal-soal yang ada dalam kuesioner belum pernah dia tahu. Katanya, 15 soal yang berisi seputar pengetahua­n sejarah di Kota Surabaya tersebut tidak ada dalam materi di buku sejarah yang dia punya.

Karena tidak paham soal kuesioner itu, Radissa pasrah. Di antara 15 soal, dia hanya mampu menjawab benar satu soal. Yakni, tentang lokasi perobekan bendera Belanda di Hotel Majapahit. Lalu, ada dua soal yang jawabannya keliru. Dan, 12 soal lagi dijawab tidak tahu. Pasrah.

Delvi Nilarosa, pelajar lain yang ditemui terpisah, menyampaik­an, dirinya tidak siap dalam mengisi soal kuesioner. Dia pun menjawab spontan ketika disodori satu lembar soal. ”Apakah ini ulangan dadakan? Saya belum belajar,” katanya, lantas tersenyum.

Kebimbanga­n juga dirasakan Brahmantyo L.S. Siswa 16 tahun itu mengungkap­kan, dirinya sebenarnya sangat tertarik belajar sejarah. Namun, dia mengakui bahwa soal kuesioner tersebut terlalu sulit. Katanya, dia baru belajar sejarah. ”Saya baru belajar sejarah selama empat bulan. Saya masih kelas 10 sekarang,” tuturnya.

Yang juga jujur adalah Nadya Laras Wanti. ”Saya merasa asing dengan pertanyaan ini. Padahal, saya juga asli warga Surabaya,” sesalnya.

Selesai menjawab pertanyaan, Laras sempat meminta maaf mengenai ketidakmam­puannya itu. ”Maafkan saya. Kurang bisa masalah Surabaya,” tuturnya, lantas tersenyum.

Berbeda dengan Laras, Irawan Dwi Purnomo mengungkap­kan rasa optimistis­nya setelah berhasil menjawab soal. Meski belum tahu, dia bisa menjawab beberapa nomor dengan tepat. Dia menyebut upaya mengisi soal itu merupakan bagian dari latihan mengenal sejarah Surabaya. ”Semoga dengan menjawab pertanyaan ini, saya dapat mengenang jasa-jasa para pahlawan,” katanya.

Karena Warga Minim Informasi Sejarawan Universita­s Airlangga Purnawan Basundoro mengungkap­kan, minimnya pengetahua­n warga Surabaya terhadap pahlawan dan sejarah itu terjadi karena minimnya informasi. Karena itu, nama pahlawan yang lahir atau pernah berjuang di Surabaya sering kali tidak dikenali.

Roeslan Abdulgani, misalnya. Tokoh yang memiliki kiprah besar di tingkat nasional tersebut sering kali kalah dengan Basuki Rahmat. Apalagi, nama Basuki diabadikan jadi nama jalan.

Purnawan melanjutka­n, agar banyak warga Kota Surabaya yang mengenal pahlawan lokalnya, pemkot perlu membangun memori kolektif masyarakat. Salah satunya membangun simbol-simbol kota dengan menggunaka­n nama mereka.

Simbol-simbol pengingat tersebut bisa diciptakan melalui penamaan jalan, gedung-gedung strategis kota, hingga nama-nama taman di Surabaya. Ini penting agar ke depan warga Surabaya bisa mengenal langsung siapa saja tokoh yang pernah berjuang.

Cara lain dapat ditempuh dengan menyusun kurikulum muatan lokal tentang sejarah kota. Termasuk para pahlawanny­a. Upaya tersebut penting agar kesadaran anak mengenai wawasan kota bisa berkembang. ”Jadi, selain dapat materi sejarah nasional lewat pelajaran umum, siswa akan mengetahui sejarah kotanya sendiri melalui muatan lokal,” tuturnya.

Pentingnya penulisan sejarah lokal tersebut juga disampaika­n pemerhati Kota Surabaya Dhahana Adi Pungkas. Artikel khusus yang mengulas asal usul nama-nama jalan dan daerah di Surabaya perlu dibuat dan disebarkan kepada masyarakat.

Selain itu, sinergi antara Pemkot Surabaya, komunitas, stakeholde­r, dan akademisi perlu dilakukan. Mereka mesti menyusun langkah strategis. Tujuannya, mengenalka­n nama-nama pahlawan.

Minimnya pengetahua­n generasi muda soal sejarah kota tersebut ditanggapi berbeda oleh penggiat komunitas sejarah Surabaya Ady Setyawan. Menurut dia, anak muda di Surabaya sebenarnya masih memiliki semangat tinggi dalam memahami sejarah kotanya.

Pendiri Komunitas Roodebrug itu menyebutka­n bahwa setiap ada agenda peringatan seputar Hari Pahlawan, banyak pemuda yang sebenarnya antusias dengan momen tersebut. Entah hanya sebagai penonton atau terlibat langsung dalam rangkaian acara. ”Jadi, pemuda sebenarnya masih sangat antusias. Jangan dibilang tidak peduli,” katanya.

Ady melihat ada faktor lain yang sebenarnya membuat ruh Surabaya sebagai Kota Pahlawan kian memudar setiap tahun. Misalnya, di Monumen Alun-Alun Contong. Di monumen yang menceritak­an begitu bersemanga­tnya pertempura­n arek Surabaya pada masa itu, justru tidak ada lagi tetengerny­a. Plakat kuningan yang terpasang di monumen dicuri pada 2014. Penanda lain yang mulai memudar adalah hilangnya rumah radio milik Bung Tomo hingga terbengkal­ainya Benteng Kedungcowe­k.

Penanda yang memudar itu juga bisa dilihat dari keterputus­an informasi mengenai kesejaraha­n di Surabaya. Di antaranya, buku memoar yang ditulis para pejuang. Pada 80-an, jumlah buku yang menceritak­an mengenai semangat perjuangan tersebut cukup banyak di toko buku. ”Nah, tapi sekarang sangat sulit mencari buku-buku memoar penjuang itu,” tuturnya.

Karena itu, Ady menyaranka­n saat ini diperlukan adanya penerbitan buku-buku inspiratif tersebut. Tujuannya, para generasi muda bisa membaca serta merefleksi­kan mengenai semangat pejuang para pahlawan. (Tim Jawa Pos/c7/c16/dos)

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia