Amritsar, Surabaya, dan Lahirnya Sebuah Negara
Kalau pertempuran Surabaya jadi tonggak penting bagi Indonesia yang baru seumur jagung, pembantaian Amritsar juga berperan penting untuk nasionalisme India. Peristiwa berdarah tersebut menggumpalkan semangat warga Negeri Anak Benua itu untuk melawan kolon
DI bawah komando Mahatma Gandhi, rakyat India bersatu karena pembantaian di Amritsar. Mereka tekun berdoa, berpuasa, sembari terus mengupayakan kemerdekaan dari tangan Inggris. Dibutuhkan waktu lama. Tapi, akhirnya cita-cita itu terwujud pada 1947, dua tahun setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia.
Pembantaian itu terjadi di Jallianwala Bagh, Kota Amritsar, Negara Bagian Punjab, pada 13 April 1919. Semuanya bermula dari Rowlatt Act alias Anarchical and Revolutionary Crimes Act.
Rowlatt Act lolos di parlemen pada 18 Maret 1919. Selanjutnya, perundang-undangan antikriminal itu berlaku dan memantik protes keras warga.
Sebab, lewat perundangundangan tersebut, aparat bisa bertindak semena-mena terhadap tersangka tindak kejahatan. Mulai menahan tersangka tanpa batas waktu tertentu sampai menjebloskan tersangka tindak kejahatan ke penjara tanpa sidang.
Rowlatt Act itulah yang menjadi dasar penahanan Satyapal dan Saifuddin. Dua tokoh Partai Kongres Nasional India itu diamankan dan lantas diinterogasi karena memimpin protes anti pemerintah di Punjab.
Penahanan mereka membuat warga berang. Mereka lantas berkumpul di Jallianwala Bagh dan menyampaikan tuntutan dengan damai. Itu selaras dengan imbauan Gandhi yang mengajarkan prinsip-prinsip damai untuk menyuarakan aspirasi.
Hari itu, massa anti pemerintah tersebut berkumpul bersama ribuan orang lain yang hendak merayakan Baisakhi. Massa berdatangan dari seluruh penjuru Amritsar dan beberapa kota di sekitarnya.
Kabar unjuk rasa di Jallianwala Bagh sampai ke telinga Kolonel Reginald Dyer, petinggi British Indian Army. Dia pun lantas membawa pasukannya ke lapangan luas yang dikelilingi tembok dengan satu akses keluar masuk tersebut.
Melihat banyaknya massa di sana, tanpa banyak tanya dan tanpa peringatan, Dyer memerintah para serdadunya untuk melepaskan tembakan ke kerumunan. Pertama-tama ke tengah lapangan, kemudian ke pinggir, dan akhirnya ke tanah.
’’Mereka yang ada di lapangan itu berkerumun. Dan, satu peluru yang dilepaskan dari senjata tentara Inggris bisa menembus tiga sampai empat tubuh korban,’’ terang Winston Churcill yang saat itu menjabat menteri keuangan.
Dia mengatakan bahwa penembakan itu berlangsung selama 8 sampai 10 menit. Akibatnya sangat tragis: sedikitnya 379 orang tewas.
Selain itu, tidak kurang dari 1.137 orang terluka. Tapi, versi India, jumlah korban tewas menembus angka 1.000. Pasca pembantaian itu, Inggris memecat Dyer. Dia lantas minta maaf atas insiden berdarah yang sampai detik ini masih selalu dikenang India tersebut.
Oleh pemerintah India, mereka yang tewas dalam peristiwa berdarah itu pun ditetapkan sebagai pahlawan dalam peringatan 9 dekade Pembantaian Amritsar pada 2009. Jadilah sampai kini Amritsar, sebagaimana Surabaya di Indonesia, dikenal sebagai Kota Pahlawan. ’’Saya sangat bahagia,’’ kata Nand Lal Arora, cucu Faqir Chand, salah seorang korban tewas dalam peristiwa tersebut.
Kesaksian Arora tentang sang kakek itu dituangkan Richard Attenborough dalam bukunya yang berjudul ’’Ayah dan kakek saya datang ke lapangan itu untuk mendengar kritik sejumlah aktivis terhadap pemerintah. Kakek saya berdiri di atas tangga ketika peluru menembus tubuhnya dan tewas seketika,’’ tutur Arora sebagaimana dikutip dalam (timesofindia/ theindependent/hep/c19/ttg)