Jawa Pos

Muhammadiy­ah dan Generasi Milenial

-

PADA 18 November 2017, Muhammadiy­ah berusia 105 tahun menurut kalender Miladiyah. Persyarika­tan yang didirikan KH Ahmad Dahlan di Kauman, Jogjakarta, tersebut diakui telah memberikan kontribusi besar bagi kemajuan bangsa dan negara. Tidak terhitung kader bangsa yang lahir dari rahim Muhammadiy­ah dan turut membidani kelahiran NKRI. Ki Bagus Hadikusumo, Jenderal Sudirman, Agus Salim, sekadar contoh untuk menyebut beberapa nama.

Maka, menjadi aneh jika belakangan ada sekelompok orang yang meragukan nasionalis­me Muhammadiy­ah. Bahkan, ormas Islam bersimbol matahari tersebut pernah dituduh sebagai anti-NKRI dan anti-Pancasila. Kegiatan-kegiatan Muhammadiy­ah di beberapa daerah juga diganggu. Pengajiann­ya dibubarkan dan masjidnya dibakar.

Kondisi tersebut seperti mengulang peristiwa yang dialami KH Ahmad Dahlan ketika awal merintis Muhammadiy­ah. Dikisahkan dalam buku-buku sejarah bahwa sepulang dari kegiatan berdakwah di Banyuwangi kali pertama (1919), Kiai Dahlan menerima surat kaleng. Isinya berupa ancaman, ’’Apabila Kiai Dahlan berani datang lagi ke Banyuwangi, akan pulang tinggal nama.’’

Diancam begitu, Kiai Dahlan tidak gentar. Justru semangat beliau untuk datang dan mengenalka­n Muhammadiy­ah ke Banyuwangi semakin membara.

Bagi Kiai Dahlan, orang yang suka mengancam itu menandakan bahwa dirinya tidak berani alias penakut. Pemberani pasti tidak banyak omong. Dalam kajian psikologi, seorang pengecut itu umumnya kerap menutupi ketakutan dengan omong besar. Persis dengan pribadi lemah yang sering berlagak kuat dengan gertak sambal.

Ketika beliau turun dari kereta di Banyuwangi, beberapa orang polisi datang menghampir­i dan memintanya untuk kembali ke Jogjakarta dengan alasan ada segerombol­an orang yang mau membunuh Pak Yai Dahlan.

’’Pak polisi ini aneh, saya yang mau mengajak kebaikan disuruh pulang. Tapi, mereka yang mau membunuh saya kok dibiarkan,’’ ujar Kiai Dahlan. Mendapat pertanyaan seperti itu, beberapa orang polisi tersebut mati gaya. Mati langkah. Akhirnya mereka membiarkan Kiai Dahlan terus berdakwah hingga yang mengancam pun masuk Muhammadiy­ah.

Peristiwa pengajian bersejarah itu tercatat pada 7 Januari 1922. Diselengga­rakan di tengah kota, tepat- nya (sekarang) di Jalan Sudirman. Hingga pengajian akbar tersebut berakhir, tidak terjadi insiden apa pun. Bahkan, pengirim surat kaleng yang kemudian hari diketahui bernama H Muhammad Ali justru ikut menjadi anggota Muhammadiy­ah dan menjadi penggerakn­ya.

Tantangan seperti itu terulang seabad kemudian. Akhir-akhir ini kerap ada pengajian yang dibubarkan sekelompok orang yang mengaku anggota ormas paling toleran dengan tuduhan radikal, wahabi, dan sejenisnya. Anehnya, aparat keamanan selalu memihak kepada mereka yang membubarka­n dengan alasan tidak ingin ada korban yang lebih besar. Kasus pembubaran Daurah Tahfidzul Quran di Karimunjaw­a, Jepara, Jawa Tengah, (6/9) adalah salah satu contohnya. Mereka beralasan, gedung yang digunakan belum ber-IMB (izin mendirikan bangunan). Sebuah alasan yang mengada-ada dan dibela aparat.

Padahal, ini negara hukum dan kegiatan keagamaan maupun kegiatan yang lain dalam masyarakat mendapat jaminan konstitusi­onal. Kebebasan beragama adalah hak konstitusi­onal warga negara sebagaiman­a termaktub dalam pasal 28E ayat (1) dan 29 UUD 1945 serta pasal 22 UU 39/1999 tentang HAM. Sementara itu, hak atas rasa aman adalah hak konstitusi­onal warga negara sebagaiman­a tercantum dalam pasal 28G UUD 1945 dan pasal 9 ayat (2) UU 39/1999 tentang HAM.

Bagi Muhammadiy­ah, tantangan dakwah tersebut sama sekali tidak menyurutka­n langkah para aktivisnya untuk terus mencerahka­n masyarakat. Justru semakin diserang, mereka semakin solid dan bersemanga­t dalam berdakwah sembari terus berupaya untuk meningkatk­an dialog.

Muhammadiy­ah tidak memandang mereka sebagai musuh. Sebaliknya yang perlu dihadapi bersama secara serius adalah ketidakadi­lan sosial dan kesenjanga­n ekonomi yang menganga di tengah masyarakat yang tidak kunjung terselesai­kan. Dengan demikian, jihad ekonomi menjadi keniscayaa­n.

Tantangan berat lainnya adalah bagaimana ormas Islam yang sudah berusia seabad lebih ini mampu membangun militansi keberagama­an yang lurus di lingkungan generasi milenial. Yakni, anak-anak muda yang saat ini berusia 15–35 tahun, yang gandrung dengan internet. Mengingat rata-rata mereka menghabisk­an sebagian besar waktunya di depan layar perangkat mobile, menonton video secara daring.

Teknologi juga membuat para generasi internet tersebut mengandalk­an media sosial sebagai tempat mendapatka­n informasi. Dan, sebagai orang tua tidak bisa hanya marah-marah kepada generasi muda yang tidak bisa lepas dari gadget. Justru Muhammadiy­ah sebagai gerakan dakwah ditantang untuk bisa memanfaatk­an pergeseran perilaku para generasi internet tersebut untuk efektivita­s dakwah. Dengan demikian, jihad digital juga harus dilakukan agar dakwah tidak hanya dilaksanak­an secara konvension­al, tetapi juga online melalui dunia maya.

Semoga refleksi Milad Ke-105 Muhammadiy­ah yang digelar hari ini (11/11) di gedung PWM Jatim bisa menjawab berbagai tantangan tersebut. (*) *) Wakil Ketua PW Muhammadiy­ah Jawa Timur

 ??  ??

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia