Jawa Pos

YangTerind­ah Adalah Perjalanan­nya

-

GUNUNG Nanga Parbat berlokasi di Diamer, Provinsi Gilgit-Baltistan. Dengan ketinggian mencapai 8.126 mdpl, ia adalah gunung tertinggi kesembilan di dunia dan masih menjadi bagian dari barisan Pegunungan Himalaya yang membentang sampai Pakistan. Julukannya ngeri-ngeri. Ada yang menyebutny­a The Man Eater atau Killer Mountain lantaran banyak pendaki yang meninggal ketika mencoba meraih puncaknya. Perjalanan saya dan sekelompok teman dimulai dari Islamabad, ibu kota Pakistan. Kami menuju sebuah tempat yang bernama Raikot Bridge di wilayah Provinsi Punjab di bagian utara Pakistan. Secara khusus, tempat itu disebut sebagai gerbang untuk memasuki wilayah Gunung Nanga Parbat.

Ada transporta­si khusus bernama NATCO yang disediakan bagi penumpang yang akan bepergian ke wilayah tersebut. Dengan membayar INR 1.500 (sekitar Rp 312 ribu), kami bakal bersafari melintasi jalan yang membelah gunung. Jalan raya itu dikenal dengan sebutan Karakoram Highway yang tersambung sampai ke Provinsi Xinjiang di Tiongkok. Waktu yang diperlukan sekitar 12 jam.

Dari Raikot Bridge, jip adalah satu-satunya alat transporta­si yang dapat diisi sampai enam orang. Jip ini akan membawa pengunjung ke perkampung­an terakhir di kaki gunung. Jalan yang dilalui sangat berbahaya dan sempit. Di kedua sisinya menganga jurang terjal. Diperlukan keahlian khusus untuk mengemudik­an jip di sana.

Jip berhenti di satu titik yang tidak mungkin lagi dilewati kendaraan. Kami harus berjalan kaki selama empat jam. Namun, segala perjuangan itu terbayar saat kami tiba di Fairy Meadows, padang rumput yang berhadapan langsung dengan Nanga Parbat. Para pendaki sering beristirah­at dan mendirikan tenda di situ. Kami pun begitu. Fairy Meadows adalah pemandanga­n sempurna. Sangat, sangat, sangat indah. Seperti lukisan yang

tanpa ce- la. Padang rumput yang superhijau dikeliling­i pepohonan pinus yang seolah berbaris menjadi pagar yang melindungi kami. Di baliknya, terlihat perbukitan hijau yang tampak kukuh. Di latar belakang, berdirilah Nanga Parbat yang berselimut salju menjulang dengan segala kebesarann­ya. Dengan membawa secangkir teh di tangan, saya sangat bersyukur bisa menikmati keindahan tersebut.

Esok pagi, perjuangan yang lebih berat telah menunggu. Untuk menuju base camp, kami harus mendaki sekitar lima jam. Pagi-pagi, kami sudah berangkat. Di sepanjang perjalanan, mata dimanjakan hutan pinus dan padang rumput. Makin mendekati tujuan, kami menemukan sebuah gletser. Tiba-tiba saja, sungai yang terbentuk dari lelehan es itu memacu adrenalin. Berarti tidak lama lagi! Akhirnya, sebuah batu besar berbentuk kubus menjadi tanda bahwa kami telah tiba di base camp.

Dari titik ini, Nanga Parbat dapat disaksikan secara langsung dari jarak sangat dekat. Tidak banyak orang di sana. Hanya ada rombongan kami. Maklum, Nanga Parbat kurang populer bagi traveler Indonesia. Padahal, namanya tersohor di kalangan traveler dunia.

Jangan bayangkan ada warung makan atau fasilitas lain di sini. Satu-satunya hal yang bisa kita lakukan adalah menikmati pemandanga­n Nanga Parbat yang luar biasa indah. Rerumputan dan pepohonan hijau membentang di depan mata. Oh ya, pemandanga­n itu hanya bisa didapat saat musim panas. Meski begitu, suhu di tempat masih sangat dingin, yakni sekitar 2 derajat Celsius.

Di base camp, kami kerap mendengar suara unik yang berasal dari sekelompok hewan. Kami tidak tahu namanya, tetapi bentuk dan ukurannya menyerupai tupai. Mereka mengeluark­an suara beberapa menit sekali. Tidak berisik, tetapi cukup bikin penasaran. Berjalan sekitar 15 menit dari base camp, kami bisa menyentuh ’’dinding’’ Nanga Parbat yang dilapisi salju abadi. Sayangnya, kami tidak sempat singgah ke sana.

Bagi para pendaki, tempat ini merupakan awal dari pendakian yang sebenarnya. Bagi kami, inilah tujuan akhir perjalanan sebelum kembali pulang. Memandang Nanga Parbat yang megah menyadarka­n betapa kerdilnya kami sebagai manusia. Genap sehari di sana, kami meninggalk­an base camp dengan perasaan puas dan gembira. Selamat mencoba bertualang di Pakistan. (*/adn/c14/na)

 ??  ??
 ??  ?? TITIK TERAKHIR: Pondok-pondok kayu berjajar di tepi sungai yang membelah Fairy Meadows. Padang rumput ini menjadi tempat peristirah­atan para pendaki sebelum mulai menaiki Gunung Nanga Parbat.
TITIK TERAKHIR: Pondok-pondok kayu berjajar di tepi sungai yang membelah Fairy Meadows. Padang rumput ini menjadi tempat peristirah­atan para pendaki sebelum mulai menaiki Gunung Nanga Parbat.
 ??  ??

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia