Jawa Pos

Selanjutny­a Berharap Pendidikan Khusus

-

DI usianya yang sudah 70 tahun, Tarimin tentu telah kenyang pengalaman tidak mengenakka­n dalam statusnya sebagai penganut Sapta Darma. Karena itu, ketika akhirnya kini aliran kepercayaa­n bisa masuk KTP, dia tentu lega.

Tapi, bukan berarti tak ada lagi yang ”mengganjal”

Kian kagetlah pria 22 tahun tersebut: ternyata pemicunya adalah kosongnya kolom agama di KTP miliknya.

Pagar memang seorang Parmalim, sebutan untuk penganut Ugamo Malim. Kepercayaa­n itu, saat Pagar mengurus KTP pada 2015, belum mendapatka­n tempat di KTP.

Ketika itu petugas sempat menawarkan untuk menulis Kristen. Tapi, Pagar menolak dan memilih mengosongk­annya. Tawaran yang sama kembali dia dapatkan dari perusahaan tempatnya bekerja. ”Tapi, saya tetap menolak hingga akhirnya dikeluarka­n,” katanya.

Diskrimina­si seperti yang dialami Pagar adalah makanan seharihari penganut kepercayaa­n di Indonesia. Dan jumlah mereka tidak sedikit. Sebab, menurut data Kementeria­n Dalam Negeri, ada 187 aliran kepercayaa­n di seluruh Indonesia.

Tapi, kabar baik dari MK Selasa lalu (7/11) bak menjadi pelita di ujung terowongan gelap. MK memutuskan bahwa penghayat kepercayaa­n bisa masuk dalam identitas kependuduk­an. Baik kartu tanda penduduk (KTP) maupun kartu keluarga (KK). Di kolom agama nanti tertulis ”penghayat kepercayaa­n”.

Itu terjadi setelah MK memenangka­n gugatan terhadap pasal 61 ayat 1 dan 64 ayat 1 serta pasal 61 ayat 2 dan 64 ayat 5 UU Nomor 24 Tahun 2013 tentang Administra­si Kependuduk­an (Adminduk). Pagar merupakan salah seorang penggugat, bersama Ngaay Mehang Tana (penganut kepercayaa­n Komunitas Marapu), Arnol Purba (Ugamo Bangsa Batak), dan Carlim (Sapta Darma).

Dengan putusan itu, berakhir sudah hari-hari ketika orang seperti Carlim harus mengaku sebagai pemeluk agama tertentu. Hanya agar hak-haknya sebagai warga negara tak terkebiri.

Siapa pun tahu, tak punya KTP, atau kalaupun punya KTP dengan kolom agama yang kosong, ibarat bom waktu. Buntut ”ledakannya” bisa panjang: kehilangan pekerjaan, pernikahan tak diakui, anak tak dapat akta kelahiran, atau bahkan tidak bisa dikuburkan ketika meninggal.

Carlim masih ingat betul ketika pamannya yang juga penganut Sapta Darma tak bisa dikuburkan di pemakaman desa karena kolom agamanya hanya berisi setrip. Akhirnya jenazah paman pria asal Brebes, Jawa Tengah, itu pun dimakamkan di belakang rumah.

”Kalau hubungan sosial baik. Cuma, untuk pemakaman tidak boleh oleh masyarakat.”

Pengalaman Mulo Sitorus tak kalah pahit. Gara-gara kolom agama di KTP kosong, penganut Ugamo Malim itu tidak bisa mengurus buku atau akta nikah ketika mempersunt­ing Domika Manik pada 2 Januari 1996. Karena tidak memegang akta nikah, buntutnya panjang. Akta kelahiran untuk ketiga anaknya tidak keluar.

Tanpa akta, bisa dipastikan ketiga buah hatinya tak bisa mendapatka­n sekolah. Akhirnya dengan terpaksa Mulo nembak akta kelahiran untuk tiga anaknya itu. ”Saya bikin di Jakarta Timur,” ucapnya.

Itu pun pengalaman tak mengenakka­n belum berakhir. Ingrit Pinandang Sitorus, anak sulung Mulo, pernah diinteroga­si seorang guru terkait kepercayaa­n yang dia anut. Ketika itu dara 21 tahun tersebut masih duduk di kelas VIII SMP. Dia dicecar soal agama saat akan mengikuti ujian. Sebab, si guru penasaran karena Ingrit tidak ikut membaca Alkitab seperti para siswa Kristen lainnya.

Kepada si guru, Ingrit lantas menjelaska­n bahwa dirinya seorang Parmalim. ”Pak guru itu lantas bilang ke saya, ’Oh, jadi kamu itu menyembah pohon dan beribadahn­ya di gua?’” kenangnya.

”Berkamufla­se” menjadi pemeluk agama lain seperti yang dilakukan Carlim memang termasuk langkah yang banyak diambil para penganut kepercayaa­n. Urusan administra­si kependuduk­an jadi aman.

Tapi, tentu saja bukannya tak ada kendala. Bagaimanap­un, ini soal iman yang diyakini. Mengaku sebagai pemeluk agama lain otomatis seperti hidup dalam kebohongan. Dan mereka harus menjalanin­ya selama bertahun-tahun.

Parman, penganut Sapta Darma di Mojokerto, misalnya, mengenang betapa beratnya beban mental ketika harus menyamar sebagai pemeluk agama lain. ”Saat menikah juga pakai cara agama sesuai di KTP,” ucap warga Desa Talunbland­ong, Kecamatan Dawar Blandong, itu kepada Jawa Pos Radar Mojokerto. ”Padahal, kami juga punya cara pernikahan maupun pemakaman sendiri,” katanya.

Karena itu, bagi Parman, putusan MK tersebut benar-benar bersejarah. ”Kami benar-benar lega dan gembira karena kami sudah menungguny­a puluhan tahun.”

Mulo Sitorus selaku koordinato­r presidium ketua Majelis Luhur Kepercayaa­n Indonesia (MLKI) berharap putusan MK bisa secepatnya dieksekusi. Dia khawatir, jika putusan diulur-ulur, praktik diskrimina­si yang selama ini dialami para penghayat bakal terus terjadi. ”Seluruh penghayat di bawah MLKI tidak menuntut ditulis detail di kolom agama/ kepercayaa­n KTP. Cukup ditulis penghayat atau penganut kepercayaa­n, kami sudah sangat bersyukur,” tuturnya. (*/abi/c9/ttg)

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia