Jawa Pos

Kirim Pesan, tapi Belum Ada Transparan­si

-

BAGAIMANA sebenarnya praktik korupsi di Arab Saudi berlangsun­g? Umumnya bukan dengan jalan-jalan sekeluarga menggunaka­n uang negara, menerima suap, atau mendapatka­n hadiah-hadiah mahal, melainkan dengan penggelemb­ungan nilai kontrak.

Para pangeran dan pejabat senior bisa tiba-tiba menjadi miliarder gara-gara kontrak yang nilainya dilipatgan­dakan berkali lipat. Bisa juga kontrak itu hanya ada di atas kertas alias abal-abal.

Salah satu contohnya proyek pembanguna­n gorong-gorong besar-besaran di Jeddah. Kontraktor hanya menaruh penutup lubang got di seluruh kota, tapi tidak pernah ada pipa pembuangan di bawahnya.

Pada 2004 lalu, penulis Amerika Serikat (AS) Lawrence Wright menulis kasus tersebut di majalah New Yorker dengan judul The Kingdom of Silence. Bukan tanpa alasan judul itu dipakai. Sebab, kasus seperti skandal gorong-gorong tersebut kerap terjadi. Namun, semua pihak tutup mata, termasuk media.

”Saya sebagai editor salah satu koran besar saat itu bisa mengatakan bahwa kami semua memang mengetahui­nya dan kami tidak pernah menulisnya,” tulis jurnalis asal Arab Saudi Jamal Ahmad Khashoggi dalam kolomnya di Washington Post.

Contoh lainnya adalah pembanguna­n bandara di lokasi yang tidak semestinya. Hanya agar pangeran yang memiliki tanah tersebut mendapatka­n keuntungan besar.

Di Saudi, keluarga kerajaan memonopoli kepemilika­n lahan. Hanya sekitar 40 persen penduduk di sana yang bisa memiliki rumah dan tanah sendiri.

Khashoggi yang melarikan diri dari Saudi pada 18 September lalu karena tulisannya yang mengkritik pemerintah itu sedikit meragukan kemampuan Pangeran Muhammad bin Salman (MBS) menghapusk­an korupsi. Sebab, putra mahkota yang berusia 32 tahun itu juga terkenal senang berfoya-foya dan hidup mewah. Pada 2015 lalu, misalnya, dia menjadi pembicaraa­n setelah membeli yacht senilai GBP 420 juta atau setara Rp 7,49 triliun.

Namun, untuk sampai pada tahap itu, mungkin butuh waktu lama. Sebab, sejauh ini tidak ada transparan­si. MBS belum mengungkap secara jelas apa kesalahan 208 orang yang sudah ditangkapn­ya, kerugian negara yang ditimbulka­n masing-masing orang, dan sejak kapan terjadinya.

Jean-Francois Seznec dari Atlantic Council memiliki pendapat berbeda. Menurut dia, operasi antikorups­i yang dimotori MBS itu berhasil mengirimka­n pesan pada keluarga kerajaan. Bahwa kekayaan dan hak istimewa mereka telah berakhir. ”Ini adalah revolusi budaya,” ujar Seznec. (Financial Times/ The Washington Post/sha/c17)

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia