Berlari Liar Melampaui Fiksi
MASIHKAH kita perlu menonton pertunjukan wayang kulit untuk mendapatkan kisah-kisah fiksi yang tak dapat dijumpai dalam realitas kehidupan nyata? Masihkah wayang mampu menyampaikan nilai-nilai keadiluhungan dan tuntunan bagi kehidupan manusia di zaman ini? Di kala halamanhalaman rumah telah terampas menjadi gedung-gedung bertingkat, di kala generasi milenial telah membentuk ruang baru dengan gaya bahasa dan perilaku yang juga baru, akankah wayang masih mampu bertahan?
Pertanyaan-pertanyaan itu menjadi penting dilontarkan saat perayaan Hari Wayang Dunia, 7–9 November 2017, yang digelar di Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta. Narasi tentang wayang di hari ini tidak saja mencerminkan kisah hidup manusia Indonesia, tapi juga menjadi satire dari ketakutan atas kebangkrutan eksistensinya.
Dahulu kala kita melihat wayang kulit untuk mendapatkan kisah-kisah yang tak mampu dijangkau secara nalar dalam kehidupan nyata? Kisah-kisah itu berbicara tentang perang, kekuasaan, keculasan, dan kepongahan. Masyarakat Indonesia dan Jawa pada khususnya dengan kehidupannya yang adem ayem merasa perlu menyaksikan kisah wayang bukan saja sebagai hiburan (tontonan), tapi juga tuntunan tentang baik buruk hidup.
Mereka menggapai asa lewat tokohtokoh berbudi baik dalam pertunjukan wayang. Mereka menamakan anak cucunya Rama, Parto (Arjuna), Bimo, Pandu, Tetuko (Gatotkaca), Yudi (Yudistira), Abi (Abimanyu), Sudarsono, dan sejenisnya. Tokoh protagonis wayang memberi hasrat peniruan serupa dalam kehidupan nyata. Sebaliknya, mereka tak hendak menamakan anaknya Sengkuni, Duryudana, Dursasana, dan para Kurawa lainnya. Cerita pun demikian, kita tidak mungkin menyaksikan perang sedahsyat Baratayuda dengan berbagai intrik, kekejaman, dan kengeriannya.
Kisah-kisah fiksi dalam wayang itu menyebar menjadi dongeng-dongeng pengantar tidur. Memberi rasa takut yang begitu dalam bagi diri anak pada zamannya, seperti membicarakan nenek sihir dengan sapu terbangnya. Namun, apa jadinya di kala yang fiktif itu telah benar-benar terjadi di hari ini? Ketika segala fakta telah berlari liar melampaui fiksi itu sendiri. Apakah kita perlu melihat keculasan Sengkuni lewat wayang? Bukankah hal itu telah jamak terjadi di hari ini? Sengkuni-sengkuni bermunculan, mengadu domba satu dengan yang lain? Apakah kita masih perlu melihat banyolan Semar, Petruk, Gareng, dan Bagong untuk tertawa di kala tingkah polah para politikus sudah membikin tertawa terbahak-bahak?
Lakon-lakon wayang menjadi kenyataan. Bahkan, kenyataan di hari ini terasa lebih fiktif jika dibandingkan dengan fiksi itu sendiri. Dengan demikian, sekali lagi, masihkah kita perlu menyaksikan pertunjukan wayang?
Persoalan itulah yang menyebabkan pertunjukan wayang di hari ini terasa terlalu hambar. Kisah fiksi yang ada di dalamnya tak lagi baru. Akibatnya, pertunjukan wayang berubah menjadi pertunjukan musik dangdut, lawak picisan, serta berpamer wajah dan kemolekan tubuh para sinden. Sementara itu, lakon-lakon yang dibawakan tak lagi penting.
Generasi milenial masa kini tak lagi dapat mengerti bahasa rumit dalam wayang. Mereka memerlukan keringkasan dan kecepatan, tak kuat jika harus berlarut-larut menyaksikan wayang sambil terkantuk-kantuk sampai pagi. Lebih asyik melihat gawai, YouTube, dan perang status di media sosial.
Lahan kosong menjadi barang langka, pertunjukan wayang semakin tak memiliki ruang. Diskursus tentang persoalan wayang itu menguap saat Hari Wayang Dunia hanya diisi dengan selebrasi pementasan tanpa diskusi dan perenungan. Seratusan dalang dan seribuan pengrawit menyemarakkan Hari Wayang Dunia di Solo itu. Mereka datang dari penjuru benua, hadir dan berpamer kemampuan mendalang.
Masyarakat dimanja dengan suguhan berbagai lakon, tapi kursi-kursi penonton masih terlihat kosong, tak banyak mata yang datang. Beberapa di antaranya sibuk bermain gawai, berfoto, dan bercakap-cakap gaduh. Sementara sang dalang serius melakonkan wayang selayaknya televisi yang dibiarkan menyala tanpa dilihat. Lewat Hari Wayang, kita dapat melihat bahwa pertunjukan wayang telah memasuki babak persoalan yang serius.
Syukur, di Hari Wayang Dunia itu kita masih menyaksikan anak-anak bermain wayang dan menabuh gamelan. Ike Nur Kumalasari, siswa SMKN 12 Surabaya, dengan terampil mempertontonkan olah wayang. Ike adalah anak dari generasi milenial yang mencoba membuat warna baru dalam pertunjukan wayang. Dalam lakonnya, dia mengisahkan percintaan atau asmara ala generasi masa kini. Tubuhnya yang mungil dan suaranya yang melengking menjadikan peringatan Hari Wayang lebih berwarna.
Sementara itu, sanggar anak-anak dari berbagai daerah lain membawakan kisah-kisah kancil dan binatang. Ekspresi mereka mencerminkan wayang di zaman sekarang ( now). Sedangkan generasi lama sibuk mempersoalkan keadiluhungan wayang tanpa mau mengubah dan membuat wayang lebih segar.
Di hari ini, kita masih suka melihat penyanyi dangdut di panggung wayang, lewat rok pendek sesekali terlihat celana dalamnya. Atau kemolekan tubuh dan kecantikan para sinden yang dipajang di samping dalang layaknya barang dagangan. Kita menikmati wayang tidak lagi dalam lakon-lakon fiksi yang dibawakannya, tapi secara fisik-ketubuhan dari apa yang dilihat dan dipelototi. Maklum, lakon-lakon fiksi dalam pertunjukan wayang hari ini terasa kalah jika dibandingkan dengan kenyataan yang liar.
Dengan demikian, menyaksikan pertunjukan wayang tak lagi memikat, kalah oleh ”pertunjukan” realitas yang lebih menggoda, menghibur, serta mengundang tawa, tangis, juga tragedi. Meski begitu, Hari Wayang Dunia menjadi penting sebagai ruang untuk memecahkan masalah-masalah itu. (*) Aris Setiawan, dosen di Jurusan Etnomusikologi Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta