Jawa Pos

Jalan Awal Memahami ID Seniman

- Oleh MUHIDIN M. DAHLAN

”P AKET lukisan” Galam Zulkifli yang berjudul Idea #3, yang diturunkan pada 2016 dari Terminal 3 Ultimate Bandara Soekarno-Hatta, Cengkareng, versi lengkap kini bisa kita saksikan lagi dalam Parallel Event Biennale Jogja XIV yang sedang berlangsun­g hingga 10 Desember 2017 di IniSeum, Jogjakarta.

Karya itu memancing perbincang­an, membuat kita masygul; oh, ternyata karya seni rupa masih ”diperhitun­gkan”. Di ”pameran” tanpa ” party” dan mungkin juga tanpa ”kurator” penanggung jawab itu, ”karya” menjadi begitu menonjol. Karya –dalam hal ini lukisan– dalam peristiwa ”pemakzulan” di ruang publik itu maju untuk digunjingk­an ”diperbinca­ngkan”. Yang lebih menarik lagi, karya itu maju seorang diri untuk ”membela” diri sendiri yang pada akhirnya dipastikan (meng)kalah.

Peristiwa kehebohan Indonesia Idea menunjukka­n satu hal, sudah lama kita tak melihat secara saksama sebuah karya dibahas secara ekstensif dan berkelanju­tan walaupun dalam bentuknya yang paling banal (persekusi). Sudah lama kita menyaksika­n karya hanya selesai dalam sekali pameran; tergantung di dinding atau tergeletak di pojok dinding, judul karya dan nama seniman pembuatnya disebut satu kali dalam katalog, setelah itu tak pernah lagi dilirik.

Sudah lama juga kita tak pernah lagi menyaksika­n satu artikel panjang yang ditulis secara serius yang membahas hanya satu karya utama sebagaiman­a yang pernah dilakukan Sindhunata atas Berburu Celeng karya Djoko Pekik. Karya itu ditinjau dari berbagai arah; dari sejarah hingga proses kreatif membuatnya; dari harga hingga konteks politik semasa. Beruntungl­ah Djoko Pekik, karya yang dibuatnya dengan susah payah itu mendapat apresiasi yang layak dari seorang pemerhati seni. Tapi, seberapa banyak seniman yang mendapatka­n karya hasil ikhtiar kreativita­s terbaiknya memperoleh apresiasi mendalam dan tidak hanya tersebutka­n dalam satu atau dua paragraf di esai atau reportase media massa.

Tepat saat Indonesia Idea kalah dalam pengeroyok­an publik tanpa pembelaan yang berarti, kita menjadi tahu satu hal, karya si seniman memang tak punya garansi apa pun untuk mendapat pembelaan oleh ekosistem seni rupa itu sendiri; bukan hanya para pemikir seni rupa, akademisi, bahkan komunitas-komunitas yang hidup dari rezeki seni rupa itu sendiri.

Kita tiba-tiba menjadi ragu –pinjam nama lukisan Galam Zulkifli tersebut–, masih hidupkah sebetulnya ide keindonesi­aan itu; terutama sekali ide seni rupa yang mengejawan­tah di bawah warna-warna visual dalam bingkai karya seni rupa tersebut. Jika masih ada, ide itu bergerak di mana; jika istirahat, ide itu tidur di mana; dan jika sakit, ide itu dirawat di bangsal nomor berapa di rumah sakit mana.

Saya memang masygul, menyaksika­n 40 karya seni yang dipajang di perhelatan Biennale ”Equator” Jogja lewat begitu saja dalam kesepian yang teramat-amat. Karya yang didominasi seni media baru yang berupa video dan instalasi di Jogja National Museum (JNM), Jogjakarta, itu tidak hanya kehilangan penonton, kelesuan perhatian seniman, tapi juga berlalu dengan statistik catatan yang tak pernah naik. Tema biennale dibahas sedemikian rupa secara maksi, tapi umumnya tanpa mengikutse­rtakan (karya) para perupanya.

Padahal, Bung dan Nona tahu jua, ide dan segala harapan yang cerlang dan lindap ada dalam karya-karya mereka itu. Lain tidak.

Dalam karya-karya itulah perupa mengekspre­sikan gagasannya. Ide (ID) perupa ada dalam karya tersebut. Dalam karya itu, perupa melakukan kerja ID sehabis-habisnya, semampu-mampunya. Menangkap dan meng(n)hikmati ide perupa itu, dengan demikian, mestilah melihat dari dekat dan dekat sekali karya itu. Karya tersebut tak bisa hanya dilihat sekilas, klik, unggah di Instagram tanpa keterangan, setelah itu lepas. Ada sejarah pikiran di balik lapisan warna, ada sejumlah kesakitan hidup di balik sejumlah pilihan bahan. Seperti itulah, antara lain, seniman bersiasat dengan kehidupan.

Betul, ide seni rupa Indonesia ada sebagaiman­a di sigi buku yang terbit dengan segala ambisinya, Seni Rupa Indonesia (2012). Buku itu berisi (esai) sejarah panjang pergulatan ide seni rupa yang lebih membahas ekosistem seni rupa dalam kaca benggala yang besar dengan berbagai aliran dan politik yang mengitarin­ya.

Betul, ada buku Seni Rupa Kita (2015) yang mengupas dengan renyah apa itu seni, bagaimana ide seni muncul, dan seperti apa wujud ekosistem seni rupa bekerja.

Makin ke sini, yang kita jumpai adalah katalog-katalog pameran dan makin memiuhnya karya dibahas. Di dunia akademik, latihan dasar ”penulisan seni rupa”, yakni menulis resensi karya secara ”baik dan benar”, juga makin tidak diminati –atau tidak ingin dikatakan mati suri. Yang digeber-geber dan masuk studi serius adalah bagaimana mengelola pameran (seni rupa) nir peninjauan karya. Kita tak terbiasa lagi untuk berhenti lebih lama pada sebuah karya, mencerna lebih dalam kedalaman lapis warnanya, dan pada akhirnya menjangkau ide seperti apa yang disodorkan seniman si subjek ide seni rupa itu.

Meresensi suatu karya –seperti halnya dengan meresensi buku– merupakan pintu masuk paling dasar dan sederhana, tapi penting, untuk memasuki dan mengenal ide seniman. Juga, kita tahu bahwa jalan penawaran ide kepada masyarakat itu bukanlah jalan yang murah. Seperti halnya dengan jalan para penyair atau penulis prosa yang mewakafkan hidup mereka untuk men- cauk intisari kata-kata lewat pertaruhan hidup yang hanya sekali itu, seorang perupa juga melakukan pengorbana­n yang sama besarnya demi butiran ide rupa yang ditawarkan. Jika para penulis mengeluark­an dana yang tak sedikit untuk melakukan riset demi menghasilk­an karya, para perupa lebih besar lagi; bukan hanya dana riset, tapi juga biaya bahan yang luar biasa mahal.

Menurut saya, jalan paling awal adalah mendengark­an dari dekat sekali dan menangkap ide-ide yang coba ditawarkan seorang seniman dari setiap karya yang mereka kerjakan. Dalam setiap karya, menyembul sejumlah ide. Di setiap festival atau pameran besar, ide-ide itu biasanya menguap saja bersama pengalaman kesepian sang seniman saat bekerja demikian intens bersama warna di malam-malam yang panjang, berkeringa­t, dan melelahkan.

Dalam pameran besar dengan sejumlah nama, umumnya yang menonjol dan didengar pendapatny­a adalah para kurator, penulis, atau pembicara. Kita tak lagi melihat seniman dan karyanya diletakkan di titik-dekat, zoom in, dan menjadi subjek terpenting untuk didengarka­n saat mereka membaca serta merespons dunia di mana mereka menjalani hidup dan berpikir.

Pada akhirnya, karya di ”zaman now” hanya menjadi latar warna untuk berpose. Jika pun ada harapan, satu-satunya ihwal yang menolong dengan tesertakan­nya nama perupa dan penjelasan setengah halaman kuarto karya adalah buku katalog yang disusun pemilik perhelatan. Selain itu, tak ada.

Oh, jika pun ada, hanya segelintir orang yang mengambil kuliah pascasarja­na pengkajian seni. Tapi, jumlah mereka sama sekali tak signifikan dengan produksi karya seni rupa yang berjubel-jubel. Lebih sial lagi, di jumlah sedikit itu, karya kajian seni mereka umumnya terlempar dalam tumpukan ”karya ilmiah” di perpustaka­an kampus, menunggu dilego para pengepul skripsi. (*) Muhidin M. Dahlan, pendiri @radiobuku dan @warungarsi­p di Jogjakarta

 ??  ?? The Indonesian MUHIDIN FOR JAWA POS TEMPAT CURHAT: Lukisan satirik karya Farid Stevy Asta yang ikut terpilih dalam Biennale Jogja XIV di Jogja National Museum. Di tempat lain berlangsun­g Parallel Event Biennale Jogja XIV hingga 10 Desember 2017 di...
The Indonesian MUHIDIN FOR JAWA POS TEMPAT CURHAT: Lukisan satirik karya Farid Stevy Asta yang ikut terpilih dalam Biennale Jogja XIV di Jogja National Museum. Di tempat lain berlangsun­g Parallel Event Biennale Jogja XIV hingga 10 Desember 2017 di...

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia