Mengapa Sekolah Dokter Begitu Lama
Buku ini bukan hanya jendela bagi masyarakat yang awam terhadap pendidikan kedokteran. Tapi, juga dapat menjadi refleksi bagi seseorang yang berkecimpung dalam dunia pendidikan kesehatan.
BAGI masyarakat kita, ada satu kata yang mungkin dianggap menggambarkan pendidikan kedokteran: lama. Seorang calon dokter harus menempuh pendidikan kurang lebih enam tahun hingga memperoleh gelar dokter. Setelah lulus, seseorang yang bergelar dokter tidak lantas bebas melakukan praktik kedokteran secara mandiri.
Mereka harus menjalani periode ’’praktik dalam pengawasan” selama setahun di rumah sakit daerah sebelum dapat berpraktik sendiri. Jika dibandingkan dengan sekolah pada jurusan lainnya yang rata-rata dapat diselesaikan dalam empat tahun, pendidikan kedokteran memakan waktu hampir dua kalinya.
Lantas, mengapa perlu waktu yang sedemikian panjang untuk mencetak lulusan setara S-1 dengan kemampuan profesional seorang dokter? Jika Anda bertanya demikian, buku yang ditulis Profesor Djoko Santoso ini mungkin dapat memberikan gambaran dan jawaban.
Buku ini merupakan jendela kecil bagi pembaca yang penasaran dengan njelimet- nya mencetak dokter yang profesional. Buku ini bercerita bagaimana dalam waktu enam tahun, suatu sistem pendidikan mampu mentransformasikan seorang lulusan sekolah menengah atas (SMA) hingga menjadi dokter.
Memiliki kemampuan untuk mendiagnosis berbagai penyakit, menganalisis masalah kesehatan yang kompleks, dan menggunakan teknologi pengobatan untuk menyelesaikan masalah yang dialami pasien.
Pada akhirnya, lulusan yang dihasilkan dapat memenuhi Standar Kompetensi Dokter Indonesia (SKDI). Seorang dokter tidak hanya harus berpengetahuan dan terampil menangani suatu kondisi medis, tapi juga memiliki keunggulan dalam komunikasi efektif dan interpersonal skill.
Proses pendidikan yang rumit dapat digambarkan Djoko Santoso dalam bahasa sederhana yang mudah dipahami pembaca dari semua kalangan. Dengan menyajikan pengalaman nyata yang dialami ahli ginjal ini sebagai pengajar di Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga.
Pembaca dapat menyelami keseharian dan tuntutan pendidikan seorang calon dokter. Contohnya, buku ini menjabarkan secara terperinci mengenai apa yang dilakukan calon dokter ketika belajar di poliklinik dan ruang rawat inap.
Tak banyak sumber lain yang menggambarkan secara komprehensif liku-liku pendidikan calon dokter, sebagaimana yang dituangkan dalam buku ini. Beberapa buku terjemahan seperti Komplikasi karya ahli bedah Amerika Serikat Atul Gawande menjabarkan isu populer dalam dunia kedokteran, meski tidak secara komprehensif membahas proses dan sistem pendidikan dokter.
Sepengetahuan penulis, buku ini memiliki kesamaan tujuan dan pendekatan dengan buku Understanding Medical Education: Evidence, Theory, and Practice yang ditulis Tim Swanwick. Keduanya menyentuh aspek filosofis hingga aspek praktis dari pendidikan kedokteran. Buku karya Djoko Santoso ini menjabarkan latar belakang teori berkembangnya kurikulum pendidikan kedokteran modern dengan pendekatan integrasi.
Karena itu, buku ini tidak hanya menjadi jendela bagi masyarakat yang awam terhadap pendidikan kedokteran, tapi juga dapat menjadi sebuah refleksi bagi seseorang yang berkecimpung dalam dunia pendidikan kesehatan.
Dalam salah satu bagian, buku ini berusaha mendefinisikan dan memerinci karakteristik luaran yang ideal dari pendidikan kedokteran. Salah satunya, memiliki kemampuan untuk memperbaiki sistem layanan kesehatan. Bahasan tersebut sangat relevan untuk direfleksikan bersama penyelenggara dan praktisi pendidikan kedokteran, mengingat banyaknya kasus tuntutan medikolegal akhir-akhir ini.
Beberapa fase penting dalam pendidikan kedokteran seperti fase praklinik dan fase klinik digambarkan secara jelas oleh Djoko Santoso. Pada fase praklinik, mahasiswa kedokteran mempelajari berbagai ilmu dasar seperti anatomi dan fisiologi dengan beberapa pengenalan dini mengenai permasalahan klinis. Sementara itu, pada fase klinik, seorang calon dokter mulai berinteraksi dengan pasien dan mengamati tanda maupun gejala penyakit pada pasien secara langsung.
Dengan membaca buku ini, kita diajak menyelami sistem pendidikan yang kompleks dan mungkin misterius bagi sebagian orang. Bahkan, bagi seorang pendidik di fakultas kedokteran seperti penulis, buku ini mampu menghadirkan perspektif baru. (*)