Jawa Pos

Nggak Lucu

-

’’Telinga. Mata. Pentingan mana?” Pantai Watu Dodol Banyuwangi masih jauh. Itu ditanyakan Sastro sembari nyetir mobil di hutan karet Purwoharjo. Jawabannya gampang- gampang susah. Menurut Jendro, lengkapnya Jendrowati, walau nadanya bercanda, pertanyaan Sastro serius banget. Okelah pentingan kuping. Tapi itu kan cuma bagi pemilik burung kicau-kicauan. Taruhlah murai dan kacer. Para pemilik burung merak?

’’Coba, buat apa merak krokkan bulu-bulunya yang sedap dipandang kalau tak ada mata manusia?” Jendro masih meneruskan perang batinnya, ’’Ah, tapi ikan-ikan dasar laut yang gelap gulita kok warna-warni seperti merak? Keadaan gelap total. Untuk mata siapa mereka berhias?”

Suntuk berpikir. Ngantuk. Jendro ketiduran di jok depan samping Sastro. Kadang ke- palanya terkulai ke kanan, ke pundak sang kekasih, bila mobil menikung ke kiri dalam perjalanan ke pantai itu. Jendela kaca dibuka sebagian. Angin lereng pegunungan terasa segar. Tidurnya tambah pulas.

’’Hmmm... ,” gumam Sastro sendirian. ’’Barisan pohon-pohon karet semuanya kompak doyong ke kanan. Mereka mengejar matahari pagi. Ini juga indah hanya bagi yang punya mata.” Diliriknya Jendro semakin

tidur di sampingnya. Sembari membanting setirnya ke kiri dan Jendro kembali terkulai ke pundak Sastro di kanannya, Sastro teringat sahabatnya penggemar murai.

Enam bulan lalu saat kontes burung sohibnya membeli seekor murai Rp 5 juta. Ini hampir semahal cucakrowo yang suaranya sudah jadi. Murai itu sama sekali tak berkicau. Karibnya cuma menggunaka­n penglihata­n dan matanya jeli. Dari prejengan si burung, lengkung ekornya yang panjang dan lentik, serta warna dadanya yang merah bata kekuningan, ia meramalkan murai itu kelak akan nggacor. Dan ramalannya tak meleset!

’’Berarti,” pikir Sastro, ’’Mata juga penting buat penggemar murai.” Setelah pembelian, baru telinga berperan penting. Telinga pemiliknya­lah yang menyeleksi rekaman-rekaman audio murai untuk diperdenga­rkan setiap hari. Dari rangsangan berbagai kicauan rekaman yang diseleksi itu, yang diputar tiap hari, akan terbentuk ciri khas ocehan murai peliharaan­nya.

Ada sedikit geronjalan aspal. Jendro terbangun.

Kesempatan itu dimanfaatk­an Sastro untuk bertanya lagi, ’’Jadi, mana yang lebih penting?”

’’Telinga!” Jendro spontan menjawab sambil menguap. Spontanita­snya terdorong oleh mimpi barusan. Dalam mimpinya Jendro melihat resepsi mantu Pak Jokowi sederhana, tapi mendengar bahwa itu mewah. Ia melihat bahwa penetapan tersangka yang kedua kali bagi Pak Setya Novanto tak akan mampu lagi membuatnya lolos, tapi mendengar bahwa sesungguhn­ya akan lolos lagi. Semua mimpinya bertentang­an.

’’Jadi, yakin pentingan telinga?” pancing Sastro.

’’Yakin. Lagian, yang tahu lebih dulu kalau pintu mobil nutupnya kurang rapat kan juga telinga. Bukan mata.’’

Sastro tak memancing lagi. Ia nge- gas kuat-kuat mengejar mobil yang baru saja menyalipny­a secara ugal-ugalan. Tangan Jendro berpeganga­n kuat-kuat ke tepian jok. Wajahnya meringis.

Diiiinnnn.... Dinnnnnn !!!!!

Sastro main klakson setelah dapat menjajari mobil yang dikejarnya. Pengemudi mobil itu serta-merta membuka kaca jendelanya dengan wajah garang. Jari tengahnya menunjukka­n tanda makian kepada Sastro. Sastro pun membuka kaca jendela di samping Jendro. Ia tak terpancing makian pengemudi itu. Sastro berteriak-teriak sambil membuat tanda bahwa pintu depan mobil itu kurang rapat. Si pengemudi baru ngeh. Senyum-senyum dan berteriak-teriak minta maaf.

’’Yang tahu lebih dulu pintu mobil itu kurang rapat adalah mataku,” jelas Sastro ke Jendro. ’’ Bahkan sampai sekarang telingaku tidak tahu bahwa pintu mobil itu kurang rapat.” (*) Diiiinnnn.... Sujiwo Tejo tinggal di www.sujiwotejo.net

 ??  ??
 ??  ?? memeangler
memeangler

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia