Exit Strategy pasca Penutupan
GUBERNUR DKI Jakarta Anies Baswedan menyatakan, izin usaha Hotel Alexis tidak diperpanjang karena ada sejumlah indikasi yang mengisyaratkan tempat itu melanggar norma asusila. Meskipun, bukti-bukti hukum, misalnya transaksi antara pelanggan dan mucikari, rekaman atau foto-foto yang membuktikan di Hotel Alexis, konon sulit didapat. Tetapi, temuan di lapangan dan masukan dari berbagai pihak, tampaknya, menjadi pertimbangan kuat Pemprov DKI Jakarta mengapa izin perpanjangan tidak dikeluarkan.
Ibarat kentut, bukti-bukti nyata praktik prostitusi terselubung memang sulit diperlihatkan. Namun, bagi orang yang terbiasa dalam kehidupan malam, niscaya segera bisa merasakan hal-hal yang tidak wajar dari kondisi dan fasilitas di lantai 7 Hotel Alexis.
Berdasar kesaksian sejumlah pihak, di lantai 7 Hotel Alexis tidak hanya menawarkan layanan spa, tetapi di sana juga mengelar berbagai cara khusus untuk orang dewasa, antara lain stripteaase, sex show, dan juga jasa layanan seksual yang menawarkan perempuan seksi dari berbagai negara.
Sebagai gubernur, Anies Baswedan tentu tidak akan bertindak gegabah, tidak memperpanjang izin usaha Hotel Alexis kalau tidak merasa yakin bahwa telah terjadi pelanggaran asusila. Sesuai dengan janji yang diucapkan ketika kampanye, penutupan Hotel Alexis adalah salah satu langkah yang memang ditunggu masyarakat.
Cuma, masalahnya, perlukah buktibukti hukum yang dimiliki dan menjadi dasar Pemprov DKI Jakarta tidak memperpanjang izin Hotel Alexis dibuka untuk umum? Sebagai sebuah keputusan politik, sikap pemprov yang tidak memperlihatkan ke publik buktibukti pelanggaran Hotel Alexis tentu sah-sah saja dilakukan.
Tetapi, lain soal jika pihak Hotel Alexis berani melawan dan membawa kasus yang merugikan mereka itu ke pengadilan. Ketika sebuah keputusan politik digugat dan kemudian disidangkan di meja hijau, mau tidak mau Pemprov DKI Jakarta harus siap dengan segala bukti dan memerlihatkannya di depan pengadilan.
Memberantas prostitusi dan mencegah agar para perempuan tidak menjadi korban eksploitasi di industri jasa layanan seksual komersial memang sudah seharusnya menjadi concern Pemerintah Daerah mana pun –tidak terkecuali DKI Jakarta. Bagi saya, isu tentang perlu tidaknya bukti pelanggaran yang dilakukan Hotel Alexis dibuka itu adalah persoalan di ranah hukum –yang bergantung kepada sikap Hotel Alexis itu sendiri.
Bagi Pemprov DKI Jakarta, justru hal yang lebih penting adalah apa langkah exit strategy yang dipersiapkan pasca penutupan aktivitas prostitusi yang ditengarai terjadi di Hotel Alexis? Pertanyaan ini penting dikaji lebih jauh. Sebab, keberanian Pemprov DKI Jakarta menutup Alexis harus dipahami sekadar sebagai langkah simbolik untuk pintu masuk memberantas praktik prostitusi yang bersebar di berbagai tempat di Jakarta.
Paling tidak ada dua agenda yang harus menjadi concern Pemprov DKI Jakarta ke depan. Pertama, memastikan agar orang-orang yang terlibat dalam aktivitas asusila mendapat kesempatan untuk me- recovery pekerjaan dan kehidupannya. Kedua, memastikan agar prostitusi lain juga memperoleh sanksi yang sama agar tidak dikesankan masyarakat telah terjadi kebijakan yang tebang pilih. Keberanian Anies Baswedan menutup Alexis perlu ditindaklanjuti dengan langkah-langkah yang konsisten dan menyelesaikan akar masalah prostitusi. (*)