Jawa Pos

Apa Hal Paling Keren yang Pernah Anda Lakukan?

-

TERIMA kasih Tuhan, saya diberi kesempatan melakukan begitu banyak cool things selama hidup ini. Yang paling keren adalah… ***

Teman saya pernah bilang, kalau saya ini sangat beruntung. ’’ Tidak banyak orang punya hidup seperti Mas. Tidak banyak juga yang bisa menceritak­an hidupnya seperti Mas,’’ katanya.

Ya, saya sangat bersyukur bisa menjalani banyak hal-hal keren. Mungkin lebih banyak dari kebanyakan orang seumur hidupnya. Saya juga bersyukur dapat kesempatan menceritak­an kisah-kisah itu, dengan harapan bisa menghibur atau bahkan memberi inspirasi.

Walau masih banyak lagi cerita-cerita superkeren yang rasanya tidak mungkin bisa ditulis atau disampaika­n. Karena alasan kesopanan, kepantasan, dan ketersingg­ungan. Wkwkwkwk…

Banyak juga yang bertanya, apa hal paling keren yang pernah saya lakukan dalam hidup saya

Ternyata, menjawabny­a sulit sekali.

Setelah berhari-hari berpikir, saya memilih satu kejadian sebagai hal paling keren tersebut. Bukan di luar negeri, bukan saat bersama orang-orang terkenal. Bukan pula sesuatu yang menghasilk­an piagam-piagam penghargaa­n atau piala yang kini tak lagi cukup dipajang di satu ruangan.

Kejadianny­a juga tidak terlalu lama terjadi. Pada Juli 2015 lalu di sebuah kawasan di Surabaya Timur. Hanya beberapa hari setelah ulang tahun saya sendiri.

Waktu itu saya menjalani salah satu dari sejumlah tantangant­antangan ’’gila’’ yang pernah saya lontarkan dan jalani. Kali ini, balapan sepeda dengan sistem handicap.

Tujuan saya waktu itu memotivasi teman sendiri dan teman-teman lain yang kebetulan kelebihan berat badan. Berat badan saya 70 kg, sedangkan teman saya itu di atas 100 kg. Dia tidak mau mengaku berapa pasnya, tapi dengan mudah di atas 100 kg.

Kalau balapan, berat badan saya tentu menguntung­kan. Karena itu ada sistem handicap. Dia boleh naik sepeda balap normal, yang beratnya tak sampai 8 kg. Jadi, dia dan sepedanya berbobot tak lebih dari 115 kg.

Saya harus membawa beban lebih. Saya harus naik sepeda tandem, dan istri saya harus membonceng di belakang. Tapi, istri saya tidak boleh ikut mengayuh. Kakinya harus naik di atas frame. Berat saya 70, sepeda tandemnya 19, dan istri saya 45 kg. Jadi, total berat yang harus saya bawa adalah 134 kg. Hampir 20 kg lebih berat.

Belum lagi karakter handling sepeda tandem yang pasti lebih berat.

Untuk sepedanya, saya harus berterima kasih kepada teman baik saya Anne Sekita. Dia pemegang merek Cannondale di Indonesia, dan saya bisa membeli senjata keren dari dia. Sebuah Cannondale T1 alias Tandem 1, sepeda tandem model balap de- ngan komponen balap.

Apa hadiahnya? Yang kalah harus membayari istri-istri (istri kami dan istri teman-teman) berlibur ke Jepang. Termasuk uang belanjanya.

Saya menambahka­n tantangan untuk diri sendiri: Andai menang, saya juga akan menyumbang­kan uang ke panti asuhan dengan nilai yang sama. Kan tujuan balapannya untuk memotivasi, bukan cari uang.

Ternyata, balapan kami heboh luar biasa. Rasanya seperti semua teman ikut datang untuk menonton dan menyoraki. Bahkan, temanteman dari luar kota ikut datang pagi itu untuk menonton. Jalanan di Surabaya Timur itu berubah menjadi sirkuit sepanjang 3 km yang dikeliling­i begitu banyak penonton.

Lombanya lima lap alias total 15 km. Saya tahu, untuk menang, saya harus tancap gas dari awal, meninggalk­an lawan sejak awal, dan tidak boleh membiarkan dia menempel di belakang dan ’’mencuri angin’’ (di balap sepeda, kalau di belakang, kita bekerja jauh lebih ringan).

Ada mobil teman memandu di depan, satu teman lagi memotret sepanjang balapan. Di belakang banyak teman lagi ikut bersepeda, menjadi penyemanga­t sekaligus ’’wasit’’.

Alhamdulil­lah, strategi saya berhasil, saya tancap gas habis-habisan di awal. Walau sepeda berat dan panjang, dan istri saya terus goyang di belakang (karena dia pasti sulit menjaga posisi duduk dengan kaki di atas wkwkwkwk), pada dua lap pertama, saya mampu meninggalk­an lawan. Speed sering di atas 40 km/jam. Setelah saya lihat data komputer usai lomba, ternyata pada dua lap pertama itu saya terus memasuki red zone (zona merah) tanda memaksa maksimal.

Saya akhirnya menang setengah lap. Teman-teman bersorak-sorak ramai. Saya yakin mereka dapat hiburan seru hari itu.

Yang saya salut, teman saya yang kalah itu sportif. Hadiah memang direvisi. Menjadi duit Rp 100 juta. Kami lantas memutuskan tidak menggunaka­n uang itu untuk istri- istri ke Jepang. Kami memilih weekend ke Bali, jauh lebih murah, dan uang sisanya disumbangk­an.

Jadi, balapan hari itu tidak hanya menghibur, tapi juga menghasilk­an uang banyak untuk mereka yang membutuhka­n…

Dan saya tahu, sejak saat itu, banyak teman yang makin semangat bersepeda atau berolahrag­a. Termotivas­i untuk tidak kelebihan berat badan. Saya yakin, saya berhak mengklaim pahala atas hal tersebut. Wkwkwkwkwk…

Sampai hari ini, saya masih sesekali melihat foto-foto seru hari itu. Lebih mengasyikk­an daripada pengalaman saya bertemu LeBron James, Michael Schumacher, Valentino Rossi, atau presiden berbagai negara!

*** Bicara soal hal-hal keren, menulis kolom Happy Wednesday ini juga termasuk pengalaman paling mengasyikk­an. Tidak terasa, sudah sampai edisi 150.

Kalau Anda tahu bagaimana kolom ini ditulis, Anda mungkin geleng-geleng kepala. Karena jadwal yang tidak keruan, berkalikal­i teman-teman redaksi berdebar menantikan kiriman tulisan. Beberapa kali ada risiko tidak memenuhi deadline. Wkwkwkwk…

Pernah saya harus menuntaska­nnya di bandara, hanya satu jam sebelum terbang jauh. Pernah juga baru ditulis pukul 21.30 Selasa malam, dan harus saya tuntaskan dalam 30 menit.

Maklum, agak seniman. Harus pas mood dan suasana hati. Wkwkwkwk…

Saya juga bersyukur ternyata ada banyak orang yang menyukai tulisan-tulisan ringan ini. Entah berapa kali sudah saya bertemu orang, di mana pun, yang menyampaik­an kalau mereka suka tulisan saya. Ada beberapa pula yang secara langsung menyampaik­an keberatan dan masukan.

Tapi, menjelang tulisan ke-150 ini, saya banyak berpikir. Dan akhirnya saya memutuskan. Ini adalah tulisan Happy Wednesday terakhir.

All good things must come to an end.

Saya khawatir, saya jadi terlena jadi penulis. Jadi besar kepala. Apalagi di lingkungan saya, ada banyak contoh penulis hebat yang kehebatann­ya ya cuman satu: Menulis.

Bahkan, ada yang sudah puluhan tahun menulis, dan terkenal sekali karena itu. Padahal, dia belum tentu menghasilk­an karya atau kerja nyata yang benar-benar bermanfaat bagi masyarakat.

Dari dulu, saya selalu mengutamak­an ’’ Do Show’’, bukan ’’ Talk Show’’. Percayalah, orang yang sukses berbicara belum tentu sukses beneran kalau disuruh bekerja. Dan menulis adalah bentuk lain berbicara.

Jadi, kadang saya heran melihat pembicara-pembicara atau penulis-penulis hebat itu menjadi begitu ’’penting’’. Bahkan kemudian berlanjut menjadi sombong, karena mereka merasa diakui sebagai orang yang paling mengerti tentang segalanya. Padahal, mereka belum tentu bisa bekerja beneran!

Dan walau diberkati dengan bakat dan kesempatan untuk menulis, pada akhirnya nanti saya ingin lebih dikenal sebagai orang yang berkarya nyata. Saya takut, saya lebih dikenal karena menulis daripada karya-karya beneran yang bisa dinikmati dan bermanfaat untuk orang banyak.

Saya ingin mendapat pertanyaan, ’’Apa hal paling keren yang pernah Anda lakukan?’’, daripada pertanyaan, ’’Apa hal paling keren yang pernah Anda tulis?’’.

Ini bukan berarti saya akan berhenti menulis. Seperti ayah saya, saya mungkin dilahirkan dengan bakat menulis. Tapi, paling tidak mulai sekarang saya tidak lagi ’’terkekang’’ oleh rutinitas menulis setiap Rabu.

Terima kasih pembaca telah menolerans­i tulisan suka-suka saya ini hingga 150 edisi. Menulis Happy Wednesday telah menjadi salah satu bab paling asyik dari hidup saya, yang semoga masih berlangsun­g panjang.

Au revoir! Ayo jangan sekadar jadi orang yang pintar bicara atau menulis! Ayo kita bikin atau lakukan hal-hal keren! (*)

 ??  ??
 ??  ??

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia