Penyederhanaan Tarif dan Pemborosan Energi D
IPANDANG sekilas, rencana penyederhanaan daya listrik memang seolah-olah positif. Sektor UMKM yang biasa menggunakan daya 1.300 VA hingga 3.300 VA bisa diuntungkan dengan penghapusan golongan itu dan menjadi 4.400 VA. Toh, selama ini tarif nonsubsidi per kWh di golongan-golongan tersebut memang sama.
Pemerintah juga berangan-angan masyarakat bisa semakin mendayagunakan listrik untuk kepentingan lebih bermanfaat. Memasak misalnya. Jika menggunakan listrik, bisa mendorong pengurangan penggunaan elpiji bersubsidi. Atau penggunaan elpiji nonsubsidi yang harganya diatur pemerintah itu.
Namun, apakah itu bakal semudah yang diangankan pemerintah? Tentu saja tidak. Apalagi, masyarakat yang sudah bertahuntahun terbiasa menggunakan listrik murah dan bersubsidi telanjur terbiasa menggunakan listrik secara boros. Jika batasan daya dilonggarkan, bisa-bisa kebiasaan pemakaian listrik yang tak efisien makin langgeng. Jika itu terjadi, tentu malah kontraproduktif dengan budaya hemat energi yang dahulu pernah digaungkan.
Lagi pula, apakah PLN mampu menyediakan pasokan listrik secara mumpuni apabila terjadi perubahan pola konsumsi listrik? Di Jawa mungkin masih mampu. Bagaimana di luar Jawa yang kapasitas listriknya masih mengkhawatirkan?
Megaproyek pembangunan pembangkit 35 ribu megawatt yang tujuan utamanya untuk menjamin pasokan listrik itu saja sudah bikin keuangan PLN berdarah-darah. Masak iya jika proyek prestisius tersebut berhasil, malah disertai kebijakan yang menawarkan insentif pemborosan energi?
Memang benar, golongan tarif listrik kita sangat rumit. Ada puluhan golongan tarif. Kelas-kelasnya tak hanya dibedakan dari penggunaan daya maksimal, tapi juga segmen pelanggan. Bahwa perlu penyederhanaan golongan tarif itu untuk menghindari distorsi, memang bisa dimaklumi. Namun tentu tidak harus dengan menelurkan kebijakan yang justru merangsang pemborosan energi. (*)