Fokus Perbaikan Drainase Pinggiran
PONOROGO – Buruknya drainase di beberapa ruas jalan utama Ponorogo menjadi pemicu munculnya genangan air saat hujan deras turun. Meski genangan air tidak berlangsung lama, pengguna jalan yang melintas harus lebih berhati-hati.
Kepala Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (DPUPR) Ponorogo Jamus Kunto saat dikonfirmasi menjelaskan, saat ini masih ada beberapa saluran air yang bermasalah. ”Kebanyakan salurannya sudah mengalami pendangkalan,” katanya kemarin (14/11).
Ruas jalan yang tergenang air saat hujan deras mengguyur antara lain adalah Jalan Soekarno-Hatta sisi utara dan Jalan Bhayangkara. Untuk Jalan Soekarno-Hatta sisi utara, Jamus mengakui, drainase di wilayah tersebut seharusnya sudah dinormalisasi. Sebab, lanjut dia, selain mengalami pendangkalan, terjadi penyempitan dan bahkan ada yang tersumbat. ”Sudah ada rencana selain normalisasi sekaligus perbaikan trotoar,” tambahnya.
Tapi, langkah itu belum bisa dilakukan tahun ini. Menurut Jamus, anggaran perbaikan trotoar dan drainase, khususnya di wilayah kota, diusulkan pada APBD 2018. Sedangkan tahun ini fokus perbaikan drainase adalah wilayah pinggiran yang rawan banjir.
Sementara itu, hujan deras yang mengguyur wilayah Ponorogo Senin malam lalu mengakibatkan beberapa wilayah terendam banjir. Berdasar laporan BPBD Ponorogo, sedikitnya ada tiga desa yang terdampak banjir hingga menggenangi jalan dan beberapa rumah warga. Yakni sebagian wilayah Desa/Kecamatan Kauman; Desa Bangunrejo, Kec Sukorejo; dan Desa/Kecamatan Sukorejo. Kendati tidak ada korban jiwa dan kerugian materiil, kejadian itu tetap harus diwaspadai.
”Wilayah tersebut memang sering dilanda banjir. Apalagi jika hujan turun dengan intensitas tinggi,” kata Kabid Rehabilitasi dan Rekonstruksi BPBD Ponorogo Setyo Budiono.
Penyebabnya, lanjut Budi, sapaan karib Setyo Budiono, ada pendangkalan dan penyempitan sungai yang melintasi tiga desa tersebut. Kondisi itu sudah dilaporkan BPBD kepada pihak yang berwenang, yakni Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (BPDAS) Solo. (tif/irw/c9/diq)
Memasuki musim tanam November ini, sejumlah petani di Nganjuk mengeluh sulit mendapatkan pupuk. Petani di Desa Kedung Malang, Kecamatan Prambon, harus mengantre selama tiga hari untuk mendapatkan pupuk. Itu pun mereka harus membeli pupuk dengan sistem paket.
Misalnya, yang dikeluhkan Samadi, 58. Dia harus membiarkan tanaman padinya yang baru ditanam belum dipupuk selama seminggu. ”Mencari pupuk susah sekarang,” keluhnya.
Sebenarnya, kata Samadi, di pasaran tersedia pupuk organik yang melimpah. Tetapi, dia tidak terbiasa menggunakan pupuk organik pada tanamannya. ”Dulu pernah pakai pupuk organik, hasilnya tak sebaik kalau pakai pupuk kimia,” ujarnya.
Karena itu, pria yang rambutnya sudah memutih tersebut tetap menunggu pupuk kimia. Rupanya, Samadi tak bisa langsung membeli pupuk kimia yang diinginkan, yaitu jenis urea dan ZA.
Dia harus membeli satu paket pupuk berisi urea, ZA, phonska, dan pupuk organik. ”Harga pupuk paketnya Rp 500 ribu. Saya juga harus memesan dulu. Tiga hari baru bisa diambil,” terangnya sembari menyebut paket pupuk itu harus dibeli melalui kelompok tani.
Bagaimana jika tidak membeli paket? Samadi menuturkan, dirinya bisa membeli pupuk eceran. Namun, harganya lebih tinggi. Satu sak pupuk urea harus dibeli Rp 110 ribu–Rp 115 ribu. Sedangkan phonska mencapai Rp 120 ribu.
Walaupun harga eceran jauh lebih tinggi daripada harga normal, Samadi tidak keberatan membeli. Sebab, dia hanya membutuhkan beberapa jenis pupuk.
Dikonfirmasi tentang sulitnya pupuk bersubsidi saat musim panen November ini, Kabid Bina