Koreksi Tulisan dengan Tulisan
Terkadang, nilai menjadi yang utama dalam pembelajaran. Makin tinggi nilai siswa, siswa dianggap makin pintar. Padahal, belum tentu demikian. Apalagi untuk mata pelajaran (mapel) bahasa Indonesia.
MARIA Yuneri Eflianti punya metode tersendiri untuk mengajak siswa belajar bahasa Indonesia. Guru di SMA IPH Surabaya itu merasa kurang pas jika penilaian dalam pembelajaran bahasa Indonesia hanya dari angka. ”Kok rasanya ada yang kurang,” katanya.
Bagi dia, mengajarkan mapel bahasa Indonesia memiliki tantangan tersendiri. Terutama dikaitkan dengan upaya meningkatkan proses berpikir anak. Apalagi jika bahasa Indonesia bukan bahasa utama di sebuah sekolah. ”Kosakatanya dianggap kurang bisa dipahami, dianggap mbulet, macam-macam,” tuturnya.
Agar siswa memahami pelajaran bahasa Indonesia, Maria memiliki solusi. Caranya memberikan teks eksposisi. Teks eksposisi memang lazim digunakan para guru. Teks tersebut mengajak siswa untuk mau membaca dan merangkumnya.
Bedanya, kata Maria, ada pada penilaiannya. Perempuan kelahiran Ende, 28 Februari 1982, itu tidak melakukan penilaian dalam angka. Melainkan melalui komentar. ”Jika sudah bagus, saya katakan bagus. Saya sampaikan melalui tulisan,” ujarnya.
Memberikan penilaian dalam bentuk komentar, terang dia, bukan tanpa alasan. Menurut Maria, tidak adil rasanya jika siswa diminta menulis, tetapi gurunya tidak menulis. ”Maka, saya juga menulis,” katanya. Siswa pun bisa lebih nyaman dan tidak merasa tertekan. Dalam hal ini, guru dan siswa punya peran sama.
Maria menyatakan, permasalahan yang dihadapi siswa ketika belajar bahasa Indonesia pada umumnya sama. Mereka kurang suka menulis ataupun membaca. Karena itu, dia mengajak para siswa untuk menulis. Pada awalnya, itu memang tidak mudah. ”Saya minta siswa menulis pengalaman sehari-hari,” bebernya.
Maria mengoreksi tulisan masing-masing siswa. Dia lantas memberikan komentar. Misalnya, memberi tanda ketika penulisan kata depan kurang tepat, memberi tahu ketika ide pembicaraan yang ditulis kurang fokus, serta ketika ada kalimat yang meng- ulang-ulang. Demikian juga ketika jumlah kata yang disyaratkan Maria kurang. ”Benar-benar saya hitung,” tegasnya.
Jika tulisan mereka sudah baik, Maria akan memberikan pujian dan masukan. Semua komentar itu dituliskan Maria di bawah tulisan siswa dalam buku jurnal.
Menurut Maria, komentar atau penilaian lewat tulisan dianggap lebih efektif. Jika disampaikan secara verbal, siswa akan merasa bahwa diri mereka selalu salah. Jika penilaian hanya berupa angka, pesan yang ingin disampaikan Maria sulit tersampaikan kepada mereka. ”Karena tiap siswa kan bisa bedabeda koreksinya,” jelasnya.
Setelah dikoreksi atau dikomentari, mereka menerima kembali buku jurnal tersebut. Siswa bisa membacanya dan mengetahui letak kekeliruannya. Dengan begitu, proses belajar berjalan lebih efektif. Peserta didik bisa memberikan komentar lagi. Untuk dialog antara siswa dan guru dalam tulisan itu, Maria menyebutnya Jurnal Dialog.
Maria mengakui, metode penilaian itu memang terkesan panjang dan repot. Apalagi jika guru mengampu di banyak kelas. Para pendidik harus menyempatkan diri membaca satu per satu naskah siswa. ”Memang butuh kemauan dan niat,” ungkapnya.
Dia harus mengatur waktu agar tetap bisa mengoreksi dengan baik. ”Terkadang butuh jeda supaya bisa memberi umpan balik yang positif,” terangnya. (puj/c6/nda)