Mengawal Defisit Anggaran
MENDEKATI tutup tahun, nada pesimisme bermunculan menanggapi target penerimaan pajak 2017. Banyak kalangan yang ragu target penerimaan pajak Rp 1.283,6 triliun yang ditetapkan dalam APBNP 2017 bisa tercapai. Paling banter, penerimaan pajak sampai akhir tahun diprediksi hanya 85–90 persen. Padahal, tak tercapainya penerimaan pajak membawa konsekuensi serius pada anggaran negara. Defisit anggaran terancam membengkak.
Sejumlah ekonom memperkirakan defisit anggaran bakal tembus 2,7–2,9 persen dari produk domestik bruto (PDB). Bahkan, bukan tak mungkin defisit anggaran bisa bengkak tembus 3 persen melebihi batasan yang ditetapkan undang-undang. Angka itu jauh lebih tinggi dari proyeksi yang ditetapkan 2,67 persen dan melonjak dari target awal 2,41 persen dari PDB yang ditetapkan sebelumnya. Lalu, dari mana pemerintah mesti menambal kekurangan penerimaan pajak?
Seperti yang kerap dilakukan, yaitu efisiensi melalui pemangkasan belanja kementerian/ lembaga dan menambah utang. Tapi, karena waktu yang tersisa hanya satu setengah bulan, yang paling memungkinkan adalah mengerem belanja pemerintah. Memaksa menambah utang lewat penerbitan surat berharga negara (SBN) sepertinya kurang efektif. Apalagi, jumlah utang pemerintah sudah menggunung.
Terlepas dari itu, kita patut prihatin lantaran dalam beberapa tahun terakhir target penerimaan pajak selalu tak tercapai. Beberapa ekonom menilai, hal itu terjadi karena target pajak dipatok cukup tinggi. Di tengah perlambatan ekonomi global dan lokal, target penerimaan pajak sangat ambisius. Meski ada sejumlah terobosan seperti kebijakan pengampunan pajak alias tax amnesty, ternyata target itu tetap sulit terealisasi.
Padahal, untuk mempercepat akselerasi pertumbuhan ekonomi, semestinya ada relaksasi di sektor pajak. Agar kejadian seperti ini tidak terulang tiap tahun, penyusunan anggaran sebaiknya dilakukan lebih terukur. Dengan begitu, pemanfaatan anggaran untuk memacu pertumbuhan bisa berjalan maksimal. (*)