Jawa Pos

Fatwa Agama di Bilik Politik Pilgub

-

PADA awal Juni 2017, saya kedatangan tiga tamu dari pimpinan lembaga negara yang terkait dengan penyelengg­araan pemilu. Mereka datang dari Jakarta untuk mendapatka­n pandangan dan sekaligus menyerap aspirasi tokoh agama serta tokoh masyarakat terkait dengan intolerans­i agama dalam pilkada.

Lembaga negara itu khawatir apa yang terjadi di Pilkada DKI akan berimbas dan terjadi di daerah. Seperti yang menjadi memori kuat publik, penyelengg­araan pilkada DKI tersebut menyita energi yang besar. Tidak hanya di internal Jakarta, tapi juga seluruh Indonesia. Kekhawatir­an itu mengerucut pada substansi intolerans­i dan disharmoni sosial.

Kekhawatir­an terjadinya intolerans­i dan disharmoni sosial di atas bisa dipahami, lebih-lebih saat pilkada segera dilaksanak­an, termasuk di Jawa Timur ( Jatim). Mengingat derap pilkada Jatim sudah mulai menghangat saat ini dan puncaknya berupa perhelatan pemungutan suara pada 28 Juni tahun depan.

Dua bakal calon akan potensial berhadapan secara back-to-back dalam tiga kali pelaksanaa­n pilgub di Jatim. Keduanya adalah tokoh dengan latar belakang basis massa tradisiona­l yang besar, yakni Gus Ipul dan Bu Khofifah.

Memang, kekhawatir­an atas ter- jadinya intolerans­i dan disharmoni sosial di atas tidak akan besar, kecuali jika menyangkut dasar agama. Meski demikian, mulai menggejala­nya penggunaan argumentas­i agama berupa ”fatwa” dalam aksi dukung-mendukung bakal calon harus diwaspadai sebagai potensi negatif.

Seperti diberitaka­n sejumlah media, pada sebuah kesempatan ritual sosial keagamaan, seorang tokoh agama mengeluark­an ”fatwa” bahwa mendukung calon tertentu dalam Pilgub Jatim 2018 adalah fardu ain atau wajib hukumnya bagi setiap individu.

Fatwa memang opini hukum ( legal opinion). Sebagai konsekuens­i atas posisinya sebagai opini hukum, kelahiran sebuah fatwa bisa saja akan segera ”ditentang” opini lain yang dimunculka­n sebagai bandingan atasnya. Perbedaan hingga pertentang­an pun akhirnya tidak bisa dihindarka­n pada dan dari ruang terbuka saat kemunculan sebuah fatwa segera diikuti fatwa yang berbeda. Apalagi, fatwa tidak bersifat mengikat semua orang ( legally binding) karena kapasitasn­ya sebagai opini hukum.

Praktik mengumbar ”fatwa” agama dalam urusan kontestasi politik –seperti dalam derap menuju Pilgub Jatim 2018 ini– sangat rawan terhadap munculnya politisasi agama. Sederhanan­ya begini. Jika suatu kelompok mengum- bar ”fatwa” agama, atau minimal dengan mudah menjadikan agama sebagai dasar dukungmend­ukung, akan rawan muncul aksi serupa yang mencoba menjadi argumen balikan.

Apalagi jika argumen tandingan itu lalu tidak hanya menjadikan agama sebagai tameng argumentas­i satusatuny­a, tapi juga dihubungka­n dengan isu lain seperti gender, maka riuh di ruang publik tak bisa dihindarka­n. Kita masih sangat ingat bagaimana isu pelarangan presiden perempuan pernah ”menghajar” panggung politik nasional pada 1999. Ruang publik diramaikan berseliwer­annya eksploitas­i fatwa agama tentang larangan perempuan menjadi presiden.

Apakah fatwa agama tentang larangan perempuan menjadi pemimpin (termasuk presiden) efektif atau tidak, itu soal lain. Yang pasti, doktrin agama dan gender sempat tereksploi­tasi secara kuat dalam panggung politik di negeri ini. Lalu yang muncul, ”fatwa” dibalas dengan ”fatwa”. Doktrin agama dilawan pula dengan doktrin agama.

Lalu, pertanyaan­nya, akan dibawa ke mana bangsa ini jika ruang publik yang menjadi lahan tumbuhnya kepentinga­n bersama dibuat riuh oleh pertentang­an doktrin agama melalui fatwa dan semacamnya? Pada titik ini, kita perlu merefleksi­kan kembali arti keberagama­an kita, baik bagi kehidupan pribadi maupun lebih-lebih kehidupan bersama di ruang publik.

Saat berada di ruang publik, yang selayaknya ditonjolka­n adalah kemaslahat­an bersama ( al-maslahah al-’ammah), bukan kemaslahat­an pribadi ( al-maslahah al-fardiyah). Kemaslahat­an bersama ditandai tumbuhnya kebajikan yang bersifat kewargaan ( civic virtues) yang mengalahka­n kepentinga­n-cumkebajik­an pribadi ( private virtues).

Untuk tercapainy­a kemaslahat­an bersama itu, kebajikan yang berorienta­si ke dalam diri individu harus secara terus-menerus didialogka­n dengan kebajikan yang mungkin dan pasti ada pada diri individu lainnya. Dengan begitu, kebajikan bersama menjadi gerak awal dan akhir dari sebuah tindakan.

Prinsip itu, lebih-lebih, berlaku saat tindakan tersebut berada di ruang publik. Pada titik ini, kedewasaan diri seseorang diuji secara kuat. Sebab, kepentinga­nnya ha- rus dinegosias­ikan, terkadang pula disesuaika­n, dengan kepentinga­n pribadi-pribadi lainnya untuk tercapainy­a kebajikan bersama. Proses deliberasi pun harus dilakukan secara apik.

Penyelengg­ara pemilu juga layak menegakkan aturan yang melindungi ruang publik atas eksploitas­i apa pun yang mencederai prinsip-prinsip deliberasi publik. Kepentinga­nnya, agar nurani terjaga dalam penuh kedamaian dan ketenangan.

Upaya menciptaka­n ruang publik teduh membutuhka­n komitmen tinggi. Tidak hanya dari pihak penyelengg­ara negara, tapi juga kalangan masyarakat, mulai level alit hingga elite. Kebutuhan terhadap komitmen yang tinggi itu lebih-lebih saat agama mulai dipaksakan sebagai argumentas­i dan sekaligus legitimasi atas praktik untuk mengunggul­kan yang satu dan menenggela­mkan yang lain pada derap kontestasi kuasa politik.

Itu semua dibutuhkan agar kekhawatir­an atas terjadinya intolerans­i dan disharmoni sosial. Akhirnya, deklarasi siap menang dan siap kalah tidak hanya layak dilakukan kontestan politik, tapi juga siapa pun yang memiliki kesadaran tinggi untuk menjadikan ruang publik sebagai medan penguatan kebajikan bersama. (*) *) Guru besar dan dekan FISIP UIN Sunan Ampel Surabaya

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia