Jawa Pos

Pertahanka­n Resep Puluhan Tahun Lalu

-

Sedangkan jawak atau sorgum adalah bubur yang dibuat dengan cara dipanaskan di dalam air bercampur gula dan garam. Hanya, porsi gula lebih banyak agar manisnya terasa ketika disantap. Selanjutny­a cukup diaduk sesekali agar tidak gosong. Lalu dihidangka­n dengan tambahan santan.

Pumpuk disajikan serupa nasi berbentuk mangkuk terbalik. Ikan asin yang menjadi lauk ditaburkan tepat di atasnya. Tidak banyak, tapi pas dengan seporsi pumpuk.

Adapun bubur jawak dari luar tampak seperti bubur kacang hijau. Hanya warna yang membedakan. Bubur jawak berwarna kecoklatan. Pengaruh dari jawak yang berwarna serupa.

Dahulu dua makanan itu dikonsumsi sehari-hari oleh warga Belitung dan Bangka. Makanan rakyat kebanyakan. Bahkan, pumpuk bisa dikategori­kan makanan pokok.

Tapi, seperti halnya terjadi di banyak daerah lain, pumpuk akhirnya tergusur oleh beras seiring kebijakan pangan selama era Orde Baru. Jadilah mencari warung atau tempat makan yang menjualnya sekarang sangatlah sulit. Warga Belitung yang bisa memasaknya juga semakin jarang.

Menurut Ferizal, itu terjadi lantaran ada pergeseran pola makan ke beras. Lahan untuk menanam singkong jadi kian sedikit. Dampaknya, tepung rap menggale yang berbahan dasar singkong juga semakin sulit didapat.

”Saya ingin mengangkat derajat dua makanan itu. Meski memang tidak mungkin menyingkir­kan nasi,” kata Bung Fe –sapaan akrab Ferizal– yang membuka warung bersama tiga kawan pada September lalu itu.

Bung Fe memproses bahan baku pumpuk layaknya orang-orang tua dulu ketika hendak memasak kukus rap menggale. Sebelum diolah menjadi tepung rap menggale, singkong dibersihka­n dengan cara direndam di air mengalir selama belasan jam.

Langkah selanjutny­a, singkong dibuat menjadi tepung yang oleh masyarakat Belitung disebut tepung rap menggale. Nah, lantaran sulit mendapat pasokan singkong sebagai bahan tepung rap menggale, porsi pumpuk yang dibuat di Warung Kopi 1001 pun jadi terbatas.

”Setiap hari sepuluh piring,” ucap Bung Fe. Karena itulah, Jawa Pos termasuk beruntung masih bisa mencicipi.

Menurut Fe, ide awal menghadirk­an pumpuk dan bubur jawak justru berasal dari pengunjung yang datang dari luar Pulau Belitung. Mereka yang sempat mencicipi dan kemudian jatuh cinta dengan makanan tradisiona­l itu. ”Banyak yang tanya. Lalu kami hadirkan,” tuturnya.

Karena itulah, ada pergeseran menu sejak warungnya buka pada September lalu. Semula gangan, makanan tradisiona­l Belitung lainnya, yang diandalkan warung kopi miliknya. Kini berganti pumpuk dan bubur jawak.

Sejak itu pula, PNS di lingkungan Pemkab Belitung Timur itu gencar mempromosi­kan pumpuk dan bubur jawak. Selain memajang menunya di luar warung, setiap pramusaji dilatih agar bisa menjelaska­n panjang lebar jika ada pengunjung yang bertanya. Mulai asal usul, bahan, cara bikin, sampai rasa.

Jawa Pos sudah membuktika­n sendiri wawasan para pramusaji Warung Kopi 1001 itu. Sebelum bergegas ke dapur untuk menyiapkan pesanan, dia bisa menjelaska­n dari A sampai Z saat ditanya soal dua makanan tersebut.

Fe berencana terus menghadirk­an terobosan terkait pumpuk. Dipoles sehingga lebih modern.

”Saya mau buat kecil-kecil tapi banyak varian rasa,” ujarnya setengah berbisik di tengah alunan musik akustik yang malam itu meramaikan warungnya.

Bukan hanya pumpuk kering dan pumpuk basah, dia juga ingin ada pumpuk keju, cokelat, dan aneka rasa lain. ”Sekarang masih uji coba,” imbuh Bung Fe.

Kendalanya, selain sulit mendapat bahan dasar, dia sulit mencari cetakan pumpuk yang pas. Juga, tidak gampang mendapat takaran bahan yang sesuai agar pumpuk bisa lebih tahan lama. Bisa dibawa bepergian dua atau tiga hari. Kemudian dihangatka­n kembali. ”Agar bisa jadi buah tangan para pelancong,” katanya.

Sedangkan untuk bubur jawak, Bung Fe sudah punya solusinya. Selain menyediaka­n menu siap santap, dia menjual yang belum diolah. ”Jadi, pengunjung bisa membawa pulang dan meracik bubur jawak sesuai selera,” katanya.

Kurang lebih seperempat jam ditunggu, pumpuk basah dan bubur jawak yang dipesan Jawa Pos sudah terhidang di meja. Gigitan pertama, rap menggale langsung terasa. Campuran kelapa parut pun demikian. Cita rasa itu diperoleh dari bahan dasar tepung rap menggale serta kelapa yang dicampurka­n dalam proses pembuatan pumpuk.

Sedangkan bubur jawak rasanya juga tidak jauh beda dengan bubur kacang hijau. Manis. Lembut ketika dikunyah. Tapi, menyisakan bulir di mulut. Rasa itu muncul karena jawak atau sorgum biasa ditumbuk sebelum dipanaskan di dalam air.

Perut pun kenyang terisi kedua makanan yang dibanderol Rp 12 ribu per porsi itu. Malam pun kian ramai dan semakin hangat. Apalagi ditingkahi pemusik yang sedari tadi menemani memainkan Akad dari Payung Teduh. (*/c10/ttg)

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia