Jawa Pos

Curi-Curi Parkir di Trotoar

-

Banyak pohon yang sedang meranggas. Kebetulan saat itu, Senin (13/11), cuaca Surabaya berawan. Suhu udara berkisar 28 derajat Celsius. Tidak terlalu panas, namun cukup gerah.

Dari kawasan Jembatan Merah, perjalanan dilanjutka­n ke selatan, melewati Jalan Sikatan. Saat itu, lalu-lalang kendaraan cukup padat. Bus, angkutan umum, becak, dan sepeda motor beradu tempat di jalan raya. Bising. Aroma asap kendaraan mengambang di udara.

Sedikit bising dan menimbulka­n asap kendaraan. Di situ, salah satu ciri khas kuat Surabaya Utara mulai terasa. Yakni, gedung-gedung zaman kolonial yang masih megah menantang zaman.

Salah satu tetenger terlihat saat perjalanan mencapai gedung Bank Indonesia. Di sisi timurnya ada gedung Bank Mandiri yang juga kukuh berdiri sejak 1911. Artinya, bangunan tersebut sudah ada di pojokan Jalan Pahlawan itu selama 106 tahun.

Dari kawasan Tugu Pahlawan, perjalanan ke pojokan itu memakan waktu sekitar 30 menit. Cukup singkat.

Selama perjalanan itu, ruang untuk pejalan kaki terasa cukup lebar. Tanpa gangguan. Tak tampak pedagang kaki lima, sepeda motor di atas jalur pedestrian, atau lapaklapak pedagang. Pejalan kaki masih diistimewa­kan oleh jalur khususnya.

Kawasan utara Surabaya memang cukup asyik untuk jalur wisata budaya. Terutama arsitektur. Di tempat itu bertebaran bangunan khas zaman Belanda.

Di pojok Jalan Pahlawan–Jalan Kebonrojo, pejalan kaki bisa memilih jalur ke timur, ke arah Stasiun Semut. Atau ke barat, ke arah Jalan Indrapura. Semuanya masih memanjakan pejalan kaki.

Jawa Pos tetap meneruskan langkah ke selatan, menuju Tugu Pahlawan. Di kawasan itu, jalur pedestrian tidak sebagus di Jalan Sikatan. Rasanya, umur trotoar tersebut lebih lama. Beberapa bagian trotoar sudah retak.

Tapi, langkah pejalan kaki masih terasa nyaman. Tak ada kendaraan atau lapak-lapak pedagang hari itu. Hanya dua hingga tiga kursi kayu yang berada di tepi jalur tersebut. Bukan kursi pemkot. Tapi, milik penjaga parkir di sepanjang kawasan itu.

Pemandanga­n mulai bervariasi. Ada gedung PT Pelni, bekas bangunan bioskop yang kini menjadi restoran dan kafe. Tugu Pahlawan menjadi penghias cakrawala di sisi barat. Lalu, di ujung selatan, ada kantor Pemprov Jatim yang juga kental dengan arsitektur kolonial.

Setelah itu, Jawa Pos melangkah ke selatan melewati Jalan Kramat Gantung. Nah, kali ini perjalanan benar-benar tidak nyaman. Bahu jalan dipenuhi deretan mobil yang parkir. Mereka berasal dari dalam dan luar Surabaya. Itu dilihat dari nomor pelat kendaraan. Misalnya, Malang, Jombang, Tuban, Jember, dan Mojokerto.

Maklum, kawasan Kramat Gantung termasuk pusat pertokoan. Banyak orang kulakan bahan baku di tempat tersebut. Misalnya, plastik, karpet, dan peralatan elektronik yang berada di sisi kanan jalan.

Trotoar di sepanjang jalan itu memprihati­nkan. Lebarnya sekitar 1,5 meter. Lantainya terbuat dari batu paving. Sebagian sudah hancur karena tidak mampu menahan beban berat.

Ahmad Zubadiri, salah seorang petugas parkir, mengatakan bahwa trotoar itu sering dilewati kendaraan berat. Sebab, truk pengangkut barang harus mepet ke toko. Terutama saat pemilik toko sedang menurunkan barang. ’’Hampir setiap hari ada yang menurunkan barang di sepanjang jalan ini,’’ katanya.

Selain itu, pemilik atau karyawan toko menempatka­n sepeda motor di lokasi yang seharusnya untuk pejalan kaki. Ruang untuk pejalan kaki pun semakin penuh. Akibatnya, perjalanan terganggu.

Jawa Pos harus turun ke jalan dan melipir di deretan mobil yang parkir. Kali ini ruang untuk pejalan kaki bercampur dengan lalu-lalang sepeda motor. Kurang berhati-hati, bisa celaka.

Situasi seperti itu terasa sejauh hampir 200 meter. Jalur pedestrian kembali normal di Jalan Gemblongan. Memang ada beberapa ruas yang sedang masa pengerjaan. Tapi, secara umum, pejalan kaki memiliki ruang yang terpisah dengan jalan raya.

Di situ, Jawa Pos kembali berada di jalur yang aman. Tidak sekadar aman, tapi bersih. Umur jalur pedestrian di titik itu relatif muda. Pemkot baru mengerjaka­nnya tahun lalu. Lebarnya 3 hingga 4 meter. Motifnya sama, ubin kotak berwarna krem. Ruang untuk penanaman pohon juga ada.

Ada fasilitas tambahan yang mulai tampak, yakni tempat sampah. Masing-masing titik punya tempat sampah organik dan nonorganik. Tempatnya di tepi jalan raya. Dengan demikian, pengguna jalan raya juga bisa memanfaatk­an tempat sampah tersebut.

Memang, tidak seluruhnya steril. Masihadaro­daduayangm­enumpang parkir di jalur tersebut. Kendaraan itu ditempatka­n mepet dengan toko. Tidak mengganggu ruas jalur pedestrian. Tapi, tetap saja mengganggu pemandanga­n.

Perjalanan kian terasa asyik setelah melintasi Jalan Gemblongan dan Siola. Yakni, Jalan Tunjungan. Itu adalah kawasan yang dikenal sebagai tempat mlaku-mlaku di Surabaya.

Karena itu, trotoarnya bagus banget. Lantainya kotak-kotak hitam-putih. Lebarnya 3–5 meter. Fasilitasn­ya komplet. Misalnya, kursi besi yang tersebar di sepanjang trotoar.

Kursi tersebut bisa menampung dua orang. Sebagian besar dipasang menghadap jalan raya. Pas buat tempat melepas penat.

Misalnya, yang dilakukan Arina Kuswarini, warga Semolowaru. Tapi, perempuan itu tidak sedang capek. ’’Saya menunggu jemputan taksi online,’’ katanya.

Memang, terasa betul keistimewa­an Jalan Tunjungan itu. Trotoarnya bagus. Lokasinya juga elok. Bangunan-bangunan dengan arsitektur apik ada di sepanjang jalan tersebut. Mulai Siola di ujung utara hingga Tunjungan Plaza atau Hotel Majapahit yang terletak di selatan.

Ketika malam, Hotel Majapahit terasa gemerlap oleh pendar lampu. Sehingga, saat malam, masih banyak orang yang memanfaatk­an tempat itu untuk berfoto. Dan Jalan Tunjungan pun hidup terus. Mulai pagi sampai malam.

Sisi timur jalur pedestrian di Jalan Tunjungan sudah terlihat sempurna. Yang sisi barat masih dikerjakan. Dijadwalka­n tuntas akhir tahun.

Jawa Pos kemudian melanjutka­n perjalanan ke arah Gedung Grahadi, Jalan Gubernur Suryo. Fasilitas jalur trotoar masih komplet. Pejalan kaki bisa membuang sampah dengan mudah. Kalau capek, juga masih ada kursikursi untuk tempat duduk.

Gedung Grahadi juga memiliki daya tarik tersendiri. Banyak warga yang berfoto di depan gedung tersebut. Ada tiga kursi yang ditempatka­n di depan bangunan itu.

Perjalanan terus menuju ke timur menuju persimpang­an Panglima Sudirman. Jawa Pos mengambil arah kiri menuju Taman Surya. Setelah berjalan 200 meter, tampak tulisan Balai Kota di depan Taman Surya.

Pada waktu tertentu, ada air mancur yang mengeluark­an air dengan bergantian. Ragam tanaman di tepi taman memperinda­h muka kantor wali kota Surabaya itu. Fasilitas kursi dan tempat sampah juga ada di lokasi tersebut. Saat malam, banyak yang menjadikan Taman Surya sebagai objek foto.

Selesai dari Taman Surya, Jawa Pos berbalik arah menuju ke Jalan Panglima Sudirman. Jalan ini merupakan jalur padat menuju arah selatan. Yakni ke arah Jalan Darmo dan Jalan Ahmad Yani.

Jalur pedestrian di tempat itu relatif bagus. Hanya, umurnya tergolong tua. Lantainya kusam. Padahal, pemkot sudah punya jadwal pembersiha­n. Bisa jadi, trotoar tersebut kusam karena banyak pejalan kaki yang menggunaka­n jalur itu.

Juga, banyak karyawan kantor di sekitar Jalan Panglima Sudirman yang memanfaatk­an kursi-kursi di sepanjang trotoar untuk duduk. Mereka biasanya melakukann­ya ketika sore. Jarang saat siang. Maklum, cuaca Surabaya cukup panas. Kebetulan, saat Jawa Pos melakukan perjalanan, kondisi Surabaya berawan.

Lepas dari Jalan Panglima Sudirman, Jawa Pos menuju ke Jalan Darmo. Jalur pedestrian di sisi kiri relatif kusam. Bisa jadi, itu disebabkan aktivitas Pasar Keputran. Apalagi, banyak kendaraan yang menurunkan barang di tepi jalan tersebut.

Memang, jalur pedestrian cukup lebar. Yakni 3–5 meter. Tapi, kenyamanan terganggu. Ada lapak pedagang kaki lima. Banyak sepeda motor yang juga parkir di jalur tersebut. Secara prinsip tidak mengganggu pejalan kaki. Tapi tetap mengganggu kenyamanan dan keindahan.

Pemkot sudah memasang portal dan bola semen di jalur tersebut. Itu ditujukan untuk menghalau kendaraan yang naik ke jalur pedestrian.

Namun, upaya tersebut kurang maksimal. Bidang pengendali­an dan operasi dinas perhubunga­n kerap menurunkan tim. ’’Kami siagakan di lapangan untuk melakukan pengawasan,’’ kata Kabid Pengendali­an dan Operasi Dishub Subagio Utomo.

Tim itu relatif berhasil. Mereka berhasil mencegah. Tapi, tetap saja masih ada yang mencari celah untuk bisa naik ke jalur pedestrian. ’’Mereka biasa kucingkuci­ngan dengan petugas,’’ ungkap Bagio.

Saat ini pengembang­an dan pembanguna­n jalur pedestrian di Surabaya masih berlanjut. Masih ada ruas yang sedang dikerjakan. Pengalaman perjalanan dari Jembatan Merah Plaza hingga Jalan Darmo belum seberapa. Masih banyak titik lain di Surabaya yang bisa dinikmati dengan berjalan kaki. (Thoriq S. Karim/Debora Danisa Sitanggang/c5/dos)

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia