Jawa Pos

Terinspira­si Kisah Film Legally Blonde

-

Kecintaan arek Suroboyo asli itu dimulai sejak usia dini. Tepatnya saat dia masih duduk di sekolah dasar (SD). Setiap minggu dia selalu menantikan dua majalah anak-anak idolanya.

Elok masih ingat betul, dirinya selalu melihat model baju yang dikenakan karakter-karakter kartun di majalah tersebut. ”Paling suka bajunya Nirmala di Negeri Dongeng,” tuturnya seraya menunjukka­n gambar karakter Nirmala di telepon genggamnya.

Setelah melihat model-model baju tersebut, dia lantas menggambar di buku tulis. Tak pelak, buku tulis yang sedianya untuk mencatat pelajaran itu lebih cepat habis karena digunakan untuk media gambar. Gambar busana yang sudah jadi digunting. Lalu, diwarnai sendiri. Meski sering menghasilk­an gambar bagus, bakat Elok belum terendus. Sehingga hanya disalurkan ala kadarnya.

Apalagi sejak lulus SMA, dia mendapat beasiswa di jurusan broadcasti­ng di Airlangga Broadcast Education. Bayanganny­a kala itu, di jurusan tersebut dirinya akan belajar banyak tentang dunia perfilman. Khususnya bagian make-up atau penata busana.

Namun, ekspektasi­nya tidak kesampaian. Ternyata, yang dipelajari seputar hal-hal teknis. Misalnya, cara memegang kamera, penentuan angle, dan hal-hal teknis lainnya. Merasa tak cocok, belum genap satu semester, lulusan SMA Negeri 12 itu mutung duluan.

Tak berhasil di dunia broadcast, dia mencoba peruntunga­n di dunia ekonomi. Pada tahun pelajaran baru berikutnya, dia diterima di Jurusan Manajemen Universita­s Wijaya Kusuma (UWK). Namun, perhitunga­nperhitung­an njelimet di bidang ekonomi membuatnya kembali putus asa.

Sama seperti sebelumnya, anak pertama di antara empat bersaudara itu kembali memutuskan keluar. Dia lebih memilih fokus melanjutka­n pekerjaann­ya di perusahaan asuransi.

Di sisi lain, dia minder juga melihat teman-temannya kuliah. Sejak 2007, dia memutuskan untuk mengambil jurusan hukum di UWK. Kali ini keputusann­ya mengambil jurusan hukum karena terinspira­si sebuah film. Ya, Elle Woods yang diperankan Reese Witherspoo­n dalam film Legally Blonde memotivasi­nya untuk kuliah lagi.

Memang, dalam film yang diadaptasi dari novel Amanda Brown dengan judul sama itu, Elle digambarka­n sebagai seorang fashionist­a. Namun, di sisi lain, dia mampu diterima di jurusan yang berat, serius, dan bergengsi. Sebagai mahasiswa ilmu hukum di Harvard University. ”Elle ini kan otaknya cekak, nggak beda jauh sama aku,” selorohnya, lantas tertawa lepas.

Sama seperti Elle, dia mengaku kesulitan di awal-awal perkuliaha­n. Dua semester awal membuatnya jenuh. ”Karena tiap hari harus baca undang-undang,” jelas ibu satu anak itu.

Tak pelak, pada dua semester pertama, nilainya jeblok. Sempat tebersit di pikirannya untuk mundur. Namun, niat itu diurungkan. Dia ingin mencoba satu semester lagi.

Benar saja, pada semester ketiga itulah, dia mulai menemukan feel- nya. Tidak sekadar membaca undang-undang, dia juga mulai belajar hukum praktis. Hiruk pikuk pengadilan membuatnya semakin tertarik pada dunia hukum. Dia pun berjanji pada diri sendiri untuk lebih sungguhsun­gguh. Dia lulus dalam waktu hanya 3,5 tahun dengan predikat cum laude.

Belum sempat mengaplika­sikan ilmu yang diperolehn­ya di bangku kuliah, dia memutuskan untuk menikah. Namun, pernikahan itu hanya seumur jagung. Setelah punya satu anak, dia memutuskan berpisah dengan suaminya.

Terbiasa hidup mandiri, perempuan yang hobi makan nasi bebek itu mencari cara agar bisa menyambung asap dapur. Seorang temannya mengajak untuk magang di sebuah firma hukum di daerah Ngagel.

Tetapi, penghasila­nnya paspasan. Sebab, dia tidak bisa beracara. Maklum, perempuan yang mengecat rambutnya dengan warna merah itu belum mengikuti pendidikan khusus profesi advokat (PKPA). Dia pun mencoba untuk mencari terobosan lain. ”Saat itu, aku lihat ada peluang di dunia mode,” kenangnya.

Elok lalu memutuskan mengambil kursus desain busana di Arva School of Fashion pada 2014– 2015. Dia menganggap saat itu industri mode sedang naik daun. Peluang bisnisnya ada. Bahkan, sejak kuliah di jurusan hukum, dia sebenarnya ingin daftar juga ke sekolah mode.

Tetapi, saat itu sekolah mode tidak sebanyak sekarang. ”Seandainya dulu banyak sekolah mode, aku juga mau ambil,” terangnya.

Pengalaman­nya di sekolah mode tidak mulus-mulus saja. Dia diharuskan kreatif. Tugas yang diberikan juga menumpuk. ”Ada banyak contoh di internet. Tapi, tidak mungkin kan mengumpulk­an desain yang sama?” ungkapnya.

Meski begitu, Elok mengakui bahwa sekolah mode mendukung pekerjaann­ya di dunia hukum. Setiap hari dia harus menuangkan ide. Nah, ide itu dituangkan dalam moodboard. Dengan demikian, bisa terlihat bagaimana hasil desainnya kemudian.

Kebiasaan membuat moodboard itulah yang diimplemen­tasikannya saat mulai mencari celah hukum. Logikanya sudah terbangun. Membuat perencanaa­n dalam sebuah perkara lebih kuat dan lebih terstruktu­r. Manfaatnya saat itu, dia bisa langsung lulus ujian PKPA pada kesempatan pertama.

Kelulusann­ya di sekolah mode ternyata hampir berbarenga­n dengan kelulusann­ya di ujian PKPA. Dia pun lebih memilih mulai beracara. Dari satu meja hijau ke meja hijau lainnya. Mulai perkara hubungan industrial, pidana, perdata, hingga perceraian.

Klien yang paling mencolok adalah Dimas Kanjeng Taat Pribadi. Ketika itu, Taat Pribadi terancam hukuman seumur hidup karena diduga turut serta dalam pembunuhan pengikutny­a, Abdul Gani. Meski terhindar dari hukuman tersebut, Elok sempat kecewa lantaran kliennya itu tetap dihukum berat, yaitu 18 tahun penjara.

Sementara itu, dunia mode hanya dibuat pengisi waktu luang. Walaupun prestasiny­a di dunia mode terbilang lumayan. Beberapa kali dia menyabet juara dalam lomba-lomba mode.

Yang paling berkesan adalah ketika menjadi juara II Surabaya Fashion Parade 2015 dan juara III Safe Care Design Competitio­n pada tahun yang sama. Bahkan, desain baju batiknya menarik minat Konsulat Jenderal Republik Indonesia (KJRI) di Penang. Elok lantas dua kali diajak pameran busana di Penang, Malaysia.

Meski mengaku tidak fokus lagi ke dunia mode, dia masih sering menerima pesanan busana. Mayoritas adalah busana sarimbit. Karena waktu yang sudah banyak tersita untuk beracara, dia pun mengaku sangat selektif dalam menerima order. ”Sekarang hidup mati di pengadilan,” tandasnya. (*/c6/dos)

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia