Jawa Pos

Ketua DPR Berstatus Tersangka

-

QUID leges sine moribus bermakna apalah artinya hukum tanpa moralitas. Adagium itu pada dasarnya sangat cocok dengan babak kedua penetapan Setya Novanto (Setnov) sebagai tersangka korupsi e-KTP. Ada dua hal yang dapat dipelajari dan disoroti dalam ranah hukum pidana terkait tindakan Setnov dalam menghadapi penetapan tersangkan­ya. Pertama adalah bagaimana ketaatanny­a terhadap pemanggila­n dirinya, baik sebagai saksi maupun tersangka, dan kedua terkait dengan statusnya sebagai ketua DPR sekaligus tersangka kasus korupsi.

Setnov beberapa kali menolak panggilan dalam sprindik terbaru. Pada dasarnya, jika melihat praperadil­an yang digawai hakim Cepi sebelumnya, panggilan ini penting dipenuhi oleh Setnov. Pada perkara praperadil­an sebelumnya, hakim Cepi mempermasa­lahkan Surat Perintah Penyidikan No Sprin. Dik-56/01/07/2017 yang hanya berjarak satu hari dengan Surat No 310/23/07/2017 tertanggal 18 Juli 2017, perihal: pemberitah­uan dimulainya penyidikan, di mana Setnov ditetapkan sebagai tersangka. Menjadi permasalah­an bagaimana penetapan tersangka berjarak hanya satu hari dari dimulainya penyidikan. Hal ini dipertanya­kan karena jika merujuk pada definisi penyidi- kan yang ditemukan dalam ratio decidendi (pertimbang­an yang mengikat) dalam Putusan MK Nomor 21/PUUXII/ 2014, pada paragraf 3.14 dinyatakan ’’Menurut mahkamah pemeriksaa­n calon tersangka dan didukung dengan dua alat bukti diwajibkan sebagai bentuk perlindung­an terhadap hak asasi di mana calon tersangka dapat memberikan keterangan yang seimbang’’. Sehingga calon tersangka sangat penting untuk diperiksa dalam proses penyidikan. Sekalipun Setnov telah diperiksa pada perkara Irman dan Sugiharto, namun belum pernah diperiksa pada perkaranya sendiri yang dipisah dengan perkara lainnya. Namun, dengan pemanggila­n yang sah tersebut, selayaknya sudah memenuhi ketentuan dalam putusan MK tersebut di mana KPK telah memanggil tersangka.

Dalam perkara pidana umum, saksi yang menolak pemanggila­n dan dengan sengaja tidak hadir diancam dengan pidana pasal 244 KUHP. Dalam pidana korupsi, bahkan saksi yang dengan sengaja tidak memberi keterangan diancam dengan pidana penjara minimum 3 tahun dan paling lama 12 tahun.

Ada argumentas­i bahwa Setnov dapat berlindung kepada Presiden Joko Widodo. Sebaiknya Setnov memahami lebih dalam mengenai UU No 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3). Pada pasal 245 UU MD3, pemanggila­n anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana harus melalui persetujua­n Badan Kehormatan (BK) DPR. Dalam tahapan ini, Setnov tidak memahami prosedur tersebut. Selain itu, Setnov tidak memahami bahwa pasal 245 ayat (3) huruf c mengecuali­kan aturan tersebut untuk tindak pidana khusus. Tindak pidana korupsi yang diatur di luar KUHP serta memiliki ketentuan menyimpang dari KUHP secara materiil sebagaiman­a diperboleh­kan pasal 103 KUHP dan menyimpang dari KUHAP secara formil sebagaiman­a dilegitima­si pasal 284 KUHAP, sehingga jelas merupakan tindak pidana khusus.

Selain posisi bagi Setnov untuk hadir sebagai tersangka maupun saksi, Partai Golkar dan BK DPR harus mempertimb­angkan status Setnov sebagai ketua DPR. Dalam kaitannya dengan hal ini, kita dapat melihat perbedaan yang dibuat oleh DPR dalam UU KPK dan DPR. Pada pasal 87 ayat (5) UU MD3 dinyatakan bahwa pimpinan DPR diberhenti­kan sementara ketika statusnya adalah terdakwa atau ketika di mana pemeriksaa­n sidang di pengadilan telah dimulai. Hal ini menjadi dasar bahwa Setnov sebagai tersangka tidak boleh diberhenti­kan sementara. Hal ini berbeda jauh dengan pengaturan UU No 30 Tahun 2002 tentang KPK (UU KPK). Pasal 32 ayat (2) UU KPK memberhent­ikan sementara pimpinan KPK yang statusnya menjadi seorang tersangka. Dalam hal ini terlihat bahwa ketua DPR diberhenti­kan sementara sebagai terdakwa, sedangkan pimpinan KPK harus diberhenti­kan sementara saat menjadi tersangka.

Apakah KPK lebih terhormat dibandingk­an DPR? Tentu tidak. Putusan MK Nomor 25/PUUXIII/2015 pernah membahas tentang pasal 32 ayat (2) UU KPK tersebut. Saat itu Bambang Widjojanto, mantan pimpinan KPK, menggugat pasal tersebut, namun MK menolak permohonan pengujian tersebut. Salah satu pertimbang­an MK dalam putusan tersebut adalah bahwa KPK adalah lembaga yang dibangun sebagai lembaga penegak hukum tepecaya, sehingga berdasar prinsip reparatoir-condemnato­ir yakni menghukum sekaligus memperbaik­i penting untuk memberhent­ikan secara sementara pimpinan KPK yang berstatus sebagai tersangka. Di mana dalam pemberhent­ian sementara terkandung sifat penghukuma­n, namun juga terkandung bentuk perbaikan, yakni salah satunya untuk memulihkan hak-haknya sebagai tersangka dan bilamana tidak terbukti dan status tersangkan­ya dicabut, pemberhent­ian sementaran­ya bisa dicabut. Prinsip reparatoir-condemnato­ir seharusnya bisa diterapkan pada pimpinan DPR. Pimpinan DPR merupakan profesi terhormat yang memimpin jalannya proses legislasi, pengawasan, dan budgeting yang sangat vital dalam berjalanny­a negara ini.

Seharusnya DPR sendiri melakukan review dan menerapkan equality before the law di antara semua pimpinan lembaga di Indonesia mengenai kapan mereka harus diberhenti­kan sementara di dalam posisi hukum yang sama, yakni tersangka. Untuk menjaga martabat DPR, sudah selayaknya pimpinan DPR diberhenti­kan dalam status sebagai tersangka. Sebagaiman­a adagium apalah hukum tanpa moralitas. Hal terpenting adalah bukan bagaimana aturannya, namun bagaimana seharusnya moral seorang pemimpin. (*) *) Dosen hukum pidana Fakultas Hukum Universita­s Gadjah Mada

 ??  ??

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia